Hutang para pengkaji sosial di belahan bumi timur pada sosok Edward Said kiranya sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Bukunya, Orientalism, yang terbit pada tahun 1978 itu, meski membuat jurang pemisah Timur-Barat semakin dalam, tapi memberikan sumbangsih besar pada pertautan intelektual dan gerakan sosial masyarakat paska-kolonial, di mana gelar itu disandang oleh umumnya negara di wilayah benua Asia serta Afrika yang pada abad 20 satu persatu melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan negara-negara Eropa beserta turunannya (Amerika dan Australia). Edward Said berhasil menambah gairah kritik yang sedari awal sudah menggebu-gebu pada ‘Barat’.
25 September ini, pada tahun 2003 lalu, ialah hari saat intelektual Palestina-Amerika itu berpulang, setelah dua belas tahun bergulat dengan leukimia. Ia meninggal di New York di usia ke 67, setelah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pergumulan intelektual.
Dan di tahun yang sama, Amerika mengirim pasukan-pasukannya ke Iraq dengan ‘tujuan’ melucuti ‘senjata pemusnah massal’ yang tidak pernah ditemukan hingga saat ini, karena memang tidak pernah ada. Saya membayangkan, barangkali Edward Said masih ingin menunda kematiannya untuk sekedar mencaci maki kebijakan politik luar negeri Amerika itu.
Said sudah memprediksikan dalam Ahram Weekly bahwa ‘Perang Teluk Kedua’ yang sejatinya adalah invasi satu arah itu. Di tengah sakitnya, ia menulis:
“Pendapat saya, meski saya belum memiliki bukti, jelasnya adalah, mereka (Amerika) ingin mengubah peta Timur-tengah, dan dunia Arab. Boleh jadi akan meluluh-lantakkan beberapa negara, menghancurkan beberapa kelompok yang mereka anggap teroris, dan menginstal rezim yang ramah untuk AS. Ini mimpi mereka yang pendasarannya di kenyataan sangat lemah. Pengetahuan mereka tentang Timur-tengah, didapat dari putusan yang didasarkan dari rekomendasi yang, menurut saya, ketinggalan zaman dan sangat spekulatif…”
‘Ramalannya’ terbukti benar, atau paling tidak hampir mendekati kebenaran. Sampai hari ini, dengan berbagai skema yang barangkali mirip-mirip dengan yang sering kita lihat dan dengar dari ‘Teori-teori Konspirasi’, sebagian besar negara Timur-tengah selalu disibukkan dengan perang saudara yang tak habis-habis. Dan ilustrasi Said barangkali dalam hal ini lebih akurat dibanding Fukuyama.
Di Indonesia, sebagaimana ditulis oleh Hasan Basri, sosok Edward Said dikenalkan oleh (salah satunya) Amien Rais. Namanya menjadi perbincangan karena ide-idenya memberikan pengaruh kritisisme pada pengetahuan modern yang berkembang di Barat. Dari aspek kesusastraan, nama Said diusung sebagai pioner pembacaan sastra ‘paska kolonialistik’ dan mengartikulasikan dirinya di karya-karya yang memiliki unsur perlawanan terhadap wacana yang hegemonik, utamanya dari Barat.
Pada kenyataannya, sosok Said, atau Edward (sebagaimana panggilan sang ibu kepadanya), memang tidak bisa dilepaskan dari polemik. Satu sisi ia memberi andil dalam menggerakkan roda pemikiran di Timur, namun di sisi yang lain, tak jarang pernyataan-pernyataannya memancing keributan tersendiri.
Pernah dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Edwar Said membuat pernyataan bahwa ia adalah warga Palestina yang terusir karena invasi Israel. Tapi pada tahun 1999, Justus Reid Weiner membuka data investigasinya terkait latar belakang Said, bahwa ia bersama orang tuanya tinggal di Kairo sebelum Israel merangsek ke Palestina. Perdebatan mengenai ‘Latar Belakang’ sempat ditayangkan oleh BBC. Sisi lain dari Edward Said juga sempat dikupas oleh Joshua Muravchik dalam World Affair Journal.
Terlepas dari itu, kepedulian Said terhadap negara-negara paska-kolonial, terlebih wilayah Timur-tengah, memang tidak bisa dipungkiri. Sangat besar. Dari karya-karyanya—yang poin utamanya bisa dirunut ke buku utamanya, Orientalism, itu ia sudah mengambil sikap. Perkembangan (serta pengembangan) pengetahuan memang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan kekuasaan. Terinspirasi dari Gramsci, Foucault, juga Adorno, ia memandang curiga pengetahuan Barat, terutama jika pengetahuan itu menilai apa-apa yang berasal dari Timur.
Nemesis dari pemikir semacam Said adalah mereka yang memuja ‘Barat’ sebagai satu-satunya peradaban yang adiluhung. Bernard Lewis, tak pelak lagi termasuk mereka yang dicecar habis dalam kajian-kajian paska-kolonialnya. Dan yang menarik dari Said adalah ia tidak membedakan ruang intelektual dengan ruang ‘kenyataan’. Kritik-kritik sosialnya tidak hanya melulu soal wacana bahwa secara keilmuan Barat telah mengerdilkan dunia Timur dan dengan jumawa menganggap keilmuannya adalah paripurna, yang dalam bahasa Fukuyama disebut End of History, atau puncak peradaban.
Kritik Said mewujud dalam kenyataan. Ia mengambil posisi yang tidak main-main. Ia memihak ‘Timur’ yang dilecehkan itu. Ia menghujat Zionisme Israel yang melenggang kangkung di bumi Palestina hanya karena diberi izin oleh Inggris sebagai ‘polisi dunia’ sebelum jabatan itu dipegang Amerika.
Ia mengikut sertakan dirinya dalam organisasi nasional Palestina (PNC) meski sebagai anggota independen pada tahun ’70-an hingga ’90-an. Akibat aktivismenya di bidang politik, terutama yang menyangkut masalah Timur-tengah, lebih spesifik lagi konflik Palestina-Israel, gerak-gerik Said selalu diawasi oleh FBI, informasi ini dikuak oleh David Price, seorang antropolog, pada tahun 2006.
Said tidak sendirian dalam ketidaksukaannya terhadap Israel sebagai negara. Banyak ‘Para pemikir dari Timur’ yang memperoleh ilmu pengetahuannya dari Barat namun juga mengerti sejarahnya, yang mengutuk kekejian yang dilakukan Israel terhadap orang Palestina. Bisa disebut nama-nama seperti Gayatri Spivak, Tareq Ali, bahkan termasuk orang-orang keturunan Yahudi-Amerika seperti Noam Chomsky, serta kawan Said sesama musisi, Daniel Barenboim.
Said di samping seorang intelektual memang juga pianis yang handal. Bersama Barenboim ia membentuk grup Orchestra yang kumpulannya adalah pemain musik Arab, Palestina, juga Israel sendiri, sebagai wujud bahwa konflik utama yang terjadi di ‘Tanah Suci’ itu utamanya adalah masalah kekuasaan.
Memang dalam beberapa pernyataannya yang memicu polemik, Said sering terbawa emosi sehingga kadang pendapatnya sering kekurangan data. Ini juga dikemukakan oleh kawannya yang memiliki ideologi yang sama dengan Said sendiri, Daniel Martin Varisco, antropolog yang juga intens di bidang orientalisme. Namun terlepas dari itu, gairah Said menular ke para pemikir dan pengkaji, bahkan tidak terbatas di Timur saja.
Paska kematiannya banyak pemikir Barat sendiri yang menulis esai dan buku sebagai tribute atas kerja intelektual yang dilakukannya, salah satunya membongkar hipokrasi yang dilakukan oleh banyak orientalis. Agaknya, dikotomi Timur-Barat dalam dunia intelektual, sejak munculnya Said justru malah mengendur, meski dalam dunia riil, pertentangan itu masih menggejolak. Ataukah justru semakin menggejolak?