Ada yang aneh dengan cara pandang keagamaan orang-orang muslim urban di Indonesia. Dari sekian informasi yang masuk ke otak kita dari media belakangan ini. Kasus demi kasus yang melibatkan, atau paling tidak menyerempet, ajaran-ajaran Islam atau tokoh-tokoh yang dijunjung oleh beberapa kalangan muslim, selalu menjadi topik pembicaraan yang ironis, dan komikal di sisi yang lain. Jadi, saya kira lumrah jika saya menyebutnya demikian.
Ada yang aneh dengan perilaku masyarakat muslim urban di Indonesia. Sebut saja mulai dari kasus Riziq sampai Buni Yani. Dari skandal sodaqoh sampai penipuan jama’ah umrah. Ditambah persoalan-persoalan yang tak habis ditambah oleh ustad-ustad televisi. Saya kira kawan-kawan muslim—yang sepemahaman dengan saya tentunya— akan merasa geli dan pada saat yang sama juga merasa malu. Itu baru sekian peristiwa yang muncul satu dua tahun terakhir ini.
Ada yang aneh dengan masyarakat muslim urban di Indonesia. Saya tidak bermaksud menggeneralisir. Tapi karena mayoritasnya demikian, mau tidak mau saya harus menyebutnya dengan ungkapan yang umum. Meskipun sebenarnya hal ini tidak meliputi keseluruhan umat islam di lingkungan perkotaan. Bahkan boleh jadi kaum muslim yang hidup di lingkungan perkotaan dengan cara pandang yang tidak setipikal sebagaimana yang saya paparkan di awal lebih banyak ketimbang mereka yang saya katakan. Dan bukan rahasia bahwa cita rasa keberagamaan yang aneh ini sebenarnya juga diidap oleh sebagian penganut ajaran keimanan lainnya. Tapi jika pembaca keberatan dengan klaim yang saya gunakan, anggap saja tulisan ini sebagai refleksi.
Dalam tulisan yang ruangnya terbatas ini, saya tidak akan membicarakan problem ‘keanehan’ yang saya sebut berulangkali itu dari segala ranahnya. Di samping kajian untuk itu terlampau luas cakupannya—dan bagi saya juga menghabiskan energi, membicarakan hal ini kadang tidak semudah membandingkan aspek normatif dari ajaran agama dengan apa yang terjadi di lapangan.
Sudut pandang yang saya ambil lebih berputar di persoalan gaya hidup, yang anehnya, bagi mereka yang sedang saya bicarakan, seakan menjadi identitas keberagamaan itu sendiri. Jadi harap maklum jika sesekali ada nuansa ‘kenyinyiran’ dalam tulisan ini.
Agaknya lebih tepat jika saya secara spesifik menyebutnya gaya hidup muslimin kelas menengah ke atas yang tinggal di lingkungan perkotaan. Ini karena saya masih menganggap bahwa mereka yang hidup dengan penghasilan ekonomi rendah, pemikiran agama —begitupun cara beragama— mereka tidak macam-macam. Adakalanya ‘keawaman’ itu membuat mereka tidak terobsesi dengan ‘cara berislam yang baik dan populer’ ala ustad-ustad televisi (dan seleb!), begitu pula tidak terjebak dalam pergulatan antar wacana keislaman yang sedang marak. Tapi tak jarang mereka menjadi korban dari ‘dakwah-dakwah’ yang berseliweran di lingkungan sekitar. Karena keberadaan mereka yang seringkali menjadi objek itulah maka arah tulisan ini lebih membidik golongan yang secara ekonomi berkecukupan.
Terkait dengan ulasan-ulasan yang sering dilontarkan kalangan cendekia bahwa belakangan ini (yang sejak kapan kemunculannya belum dapat dipastikan) masyarakat muslim terjebak dengan—katakanlah—simbol-simbol keagamaan, pada dasarnya gaya hidup merupakan salah satu bentuk pengejewantahan simbol identitas kegamaan tersebut.
Perdebatan usang yang terjadi antara orang-orang tradisionalis dengan mereka yang menyebut dirinya salafi (yang sebenarnya mempunyai arti tradisionalis juga) terkait masalah jenggot atau niqab dan sejenisnya berkisar di seputar hukum; mana yang wajib, yang sunah dan seterusnya, pada waktunya akan surut seturut isu yang sedang berkembang, terutama ketika politik sedang memanas. Tapi mendiskusikan gaya hidup yang cikal bakalnya juga berasal dari pemaknaan terhadap simbol identitas agama itu, suara-suara yang radikal jarang menjadi isu mengemuka. Ironisnya justru ketika sudah menjadi kasus dan membesar, baru kemudian dianggap menjadi persoalan yang harus diselesaikan.
Sebut saja terkait Haji dan Umrah. Saya kira apa yang pernah diwacanakan oleh Masdar F. Mas’udi, yaitu palaksanaan haji yang bisa dilakukan di bulan-bulan lain selain Dzulhijjah guna menghindari kecelakaan yang terjadi akibat membludaknya jama’ah, masih belum menyentuh pada akar persoalan. Itupun beberapa kalangan langsung mengecam, bahkan ada yang sampai mengkafirkan. Termasuk kawan-kawan senior yang belajar di Mesir.
Jika dipandang dari aspek formal agama, haji bagaimanapun adalah rukun Islam ke lima. Sebagai rukun, ia menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. Tapi sudah jelas bahwa syarat-syarat yang harus ditunaikan untuk itu adalah Kemampuan (dengan K besar). Dari segi finansial juga fisik. Dalam arti bahwa rukun kelima ini bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan pelaksanaannya. Apalagi umrah yang sedari awal merupakan ibadah tambahan, sunah. Ditambah lagi, ia adalah kewajiban yang cukup dilaksanakan satu kali.
Menjadi persoalan ketika masyarakat Indonesia, yang adalah negara dunia ketiga secara ekonomi, berupaya memaksakan diri agar bisa melaksanakan ibadah ini, justru menghilangkan aspek ekonominya itu sendiri. Dan dalam rangka merayakan pelaksanaan ibadah ini berramai-ramai ia difasilitasi oleh pemerintah, agen-agen perjalanan dan media, dalam hal ini iklan-iklan dan perilaku publik-publik figur. Film “Emak Ingin Naik Haji” mencontohkan bagaimana keinginan masyarakat kelas bawah untuk bisa pergi ke Baitullah ini. Lantas menjadi miris ketika kenyataan yang timpang ini ditopang oleh orang-orang kaya yang, entah demi prestise atau hal lain, pergi haji sampai berkali-kali.
Pada akhirnya, karena keberadaannya sendiri yang membutuhkan biaya besar, dan di sisi lain mewadahi limpahan dana umat, ia menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Dan karena banyak dari masyarakat kita masih ‘belum pandai mengelola duit umat’ yang terjadi adalah penipuan dan penggelapan. Kasus First Travel hanyalah puncak dari gunung es. Jika kita melihat ironi yang ada dalam daftar panjang antrean jama’ah haji yang ada di Depag, kita bisa melihat angka-angka yang menunjukan tahun orang-orang yang baru bisa melaksanakan haji. Dari satu hingga puluhan tahun.
Memang, benar belaka bahwa setiap umat islam yang taat beragama, dengan segala upaya akan merasa diri kurang jika tidak melaksanakan ibadah haji. Mereka akan merasa tidak beragama jika tidak bersafari ke tempat pertama kali agama Islam lahir. Sebagai orang beragama (walaupun jauh dari ketaatan), saya juga mempunyai perasaan itu. Barangkali umat Kristiani yang memiki tingkat keberagamaan yang tinggi akan pergi ke Vatikan. saya belum pernah menanyakan itu kepada kawan Kristen saya. Ataukah umat Hindu, Budha atau yang lain punya tujuan wisata religinya sendiri?
Terlepas dari itu, sebagai ibadah, haji dan umrah memang menjadi simbol. Tetapi sebagaimana kita tahu, simbol bahkan seringkali berubah berhala. Akhirnya ketika kita berkunjung ke Rumah Tuhan, kita tidak sedang menghadap Tuhan tetapi ego kita sendiri yang kita sembah saat berada di Masjidil Haram.
Apa tidak lucu ketika kita berupaya keras menghancurkan ‘berhala-berhala’di negeri sendiri, lantas membuat berhala baru di Rumah Tuhan?
Artikel ini pernah dimuat di Kintaka.co pada 14 Agustus 2017.