Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Hukum mushafahah (jabat tangan) antara laki-laki dan perempuan non-mahram dalam Islam

Avatar photo
67
×

Hukum mushafahah (jabat tangan) antara laki-laki dan perempuan non-mahram dalam Islam

Share this article

Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Melalui silaturahmi, umat Muslim mempererat hubungan kekerabatan dan tali persaudaraan, serta meningkatkan rasa kebersamaan antara sesama. Hal itu kemudian disimbolkan dengan berjabat tangan ketika bertemu (mushafahah).

Berjabat tangan saat silaturahmi Idul Fitri merupakan salah satu tradisi yang telah lama berlangsung dalam masyarakat Muslim Indonesia. Setiap kali seorang muslim berjumpa dengan saudaranya sesama muslim, mereka akan bersalam-salaman (mushafahah). Begitu juga yang dilakukan muslimah dengan saudari muslimahnya.

Namun demikian, muncul pertanyaan terkait berjabat tangan antara lawan jenis non-mahram saat silaturahmi Idul Fitri. Apakah seorang muslim diperbolehkan berjabat tangan atau bersalaman dengan seorang muslimah?

Ulama besar al-Azhar, Syekh Ali Jum’ah mengatakan bahwa berjabat tangan atau mushafahah antara pria dan wanita non-mahram telah lama menjadi subjek perdebatan dalam ilmu fikih.

Menurut beliau, mayoritas ulama menganggap berjabat tangan antara pria dan wanita non-mahram adalah haram, sementara kalangan Hanafiyah dan Hanbaliyah memperbolehkan bersalaman dengan wanita yang sudah tua yang sekiranya sudah tidak memunculkan ketertarikan (syahwat) kepadanya. 

Anggota Dewan Ulama Sepuh al-Azhar itu menambahkan bahwa sekelompok ulama memandang bahwa berjabat tangan antara pria dan wanita non-mahram ini diperbolehkan. Kebolehan ini berdasarkan tindakan Umar bin Khattab yang bersalaman dengan kaum wanita di saat Nabi Muhammad SAW menolak untuk bersalaman dengan mereka saat mereka berbaiat memberikan sumpah setia kepadanya. 

“Nabi tidak bersalaman dengan wanita ini merupakan salah satu kekhususan beliau,” ujar Syekh Ali Jum’ah.

“Sehingga tidak berdosa ketika mengikuti pendapat (yang membolehkan bersalaman) ini ketika itu dibutuhkan,” imbuhnya.

Syekh Ali Jum’ah melanjutkan bahwa batalnya wudhu karena bersalaman juga menjadi perdebatan di kalangan ulama. Imam asy-Syafi’i berpandangan bahwa berjabat tangan antara pria dan wanita non-mahram itu membatalkan walaupun tanpa syahwat. Sedangkan Abu Hanifah berpandangan bahwa menyentuh itu sendiri tidak membatalkan wudhu walaupun disertai dengan syahwat.

Adapu Imam Malik menilai persoalan ini secara lebih detail. Menurut beliau, jika sentuhan disertai dengan syahwat, maka wudhu menjadi batal, namun jika tidak ada syahwat maka wudhu tidak batal. 

“Berdasarkan itu, seseorang yang diuji dengan masalah berjabat tangan ini (kondisi terdesak), maka dia boleh bertaklid mengikuti pendapat yang paling ringan untuknya walaupun keluar dari khilaf (baca: tidak bersalaman) itu justru yang dianjurkan,” terang Syekh Ali Jum’ah.

Mantan Mufti Agung Mesir itu menambahkan bahwa dalam urusan melihat wanita non-mahram, mayoritas mazhab fiqih mengizinkan melihat wajah dan tangannya, sementara Abu Hanifah menambahkan kebolehan melihat kaki wanita. Adapun melihat bagian tubuh wanita non-mahram selain itu tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat seperti keperluan medis dan sejenisnya.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.