Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Hukum Memeluk dan Mencium Istri saat Berpuasa

Avatar photo
24
×

Hukum Memeluk dan Mencium Istri saat Berpuasa

Share this article

Disyariatkannya puasa kepada
umat Islam adalah untuk meningkatkan ketakwaan pada Allah SWT sebagaimana tertera
dalam surat al-Baqarah ayat 183.

Pada hakikatnya, hikmah puasa adalah
untuk menjaga diri dari segala hal yang membatalkan.

Sebagaimana dilansir dari almasralyoum,
Darul Ifta Mesir menjawab beberapa pertanyaan terkait hal-hal yang membatalkan
puasa di bulan Ramadhan melalui siaran langsung yang ditayangkan di laman resmi
Facebook mereka. Salah satunya bertanya, “Apakah memeluk dan mencium istri
siang hari membatalkan puasa Ramadhan?”

Syeikh Mahmud Syalabiy, Aminul Fatwa
di Darul Ifta Mesir menjawab, memeluk dan mencium istri saat puasa Ramadhan
adalah makruh. Seorang mukmin lebih baik menjauhinya karena jika sampai terjadi
inzal (ejakulasi, red.) dapat menyebabkan batalnya puasanya.

Darul Ifta juga telah
menjelaskan secara detail hukum suami mencium istri siang hari ketika Ramadan
melalui situs web mereka. Menurut mayoritas ulama, mencium istri dengan niat
memuaskan diri merupakan makruh bagi orang yang puasa karena ada kemungkinan
hal tersebut merusak puasanya.

Terlebih, berciuman antar
suami-istri menjadi haram jika seseorang merasa yakin dapat terjadi inzal.
Namun ciuman untuk menunjukkan rasa sayang atau seperti melepas kepergian suami
sebelum pergi kerja misalkan, ciuman tersebut tidak makruh.

Yang menjadikan haram apabila
seseorang itu tidak dapat mengendalikan nafsunya, tapi jika ia mampu maka tidak
apa-apa.

كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ،
وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ

Dari Aisyah ra. ia berkata,
“Rasulullah SAW pernah mencium dan mencumbuiku mesra ketika beliau sedang
berpuasa. Tetapi beliau memang seorang yang paling bisa mengendalikan nafsunya
di antara kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain juga
disebutkan,

أَنَّ
رَجُلًا سَأَلَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ عَنْ
الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ، فَرَخَّصَ لَهُ، وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ
فَنَهَاهُ، فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ، وَالَّذِى نَهَاهُ شَابٌّ

Dan dari Abu Hurairah ra., seorang
lelaki bertanya pada Nabi SAW mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu
memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau dan
bertanya mengenainya, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri
keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang
adalah orang yang masih muda.” (HR. Abu Daud)

Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh
al-Muhaddzab
(VI, 355), Imam Nawawi menjelaskan bahwa ciuman tergolong ke
dalam perkara yang dimakruhkan dalam puasa apabila ciuman itu membangkitkan
syahwat. Sedangkan jika tidak membangkitkan syahwat, ciuman tidak
dipermasalahkan tetapi lebih baik tetap dihindari.

Imam Nawawi juga menjelaskan, masalah
utamanya bukan tentang usia tua atau muda, tetapi apakah tindakan itu akan
membangkitkan syahwat pelakunya dan kekhawatiran terjadinya inzal
(ejakulasi).

Perbedaan ini
dikarenakan usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat
dan kemampuan seksualnya, sedangkan pada orang tua biasanya hasrat dan potensi
seksualnya telah banyak menurun.

Jika ada seorang pemuda atau
orang tua yang masih tinggi hasrat dan kemampuan seksualnya, maka ciuman tersebut
menjadi makruh dan tetap lebih baik untuk dihindari, baik itu mencium pipi,
bibir atau selainnya, begitu juga dengan bermesraan atau berpelukan.

Menurut Imam Nawawi, Syeikh
al-Qadi Abi ath-Thayyib, al-Abdari dan lainnya, hukum makruh yang berlaku atas
mencium istri ketika berpuasa adalah makruh tahrim. Artinya, meskipun
makruh, perbuatan tersebut mendekati haram.

Pendapat lain mengatakan bahwa
berciuman itu makruh tanzih, yaitu jika melakukannya tidak ada
konsekuensi apa pun, baik berdosa maupun menerima pahala. Meski tetap
dianjurkan untuk menjauhinya dan pendapat ini disetujui oleh al-Mutawalli.

Menurut Ar-Rafi’i dan lainnya,
pendapat paling kuat adalah makruh tahrim. Secara umum, bila seseorang
mencium dan tidak terjadi inzal, maka puasanya tidak batal. Pendapat ini
telah disepakati semua ulama baik yang berpendapat makruh tahrim ataupun
tanzih.

Ibnul Mundzir juga mengutip
pendapat ini dari sahabat Umar bin Al-Khattab, Ibnu Abbas, Abu Hurairah,
‘Aisyah, Atha’, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ahmad, dan Ishaq bahwa mereka memberikan
keringanan (memperbolehkan) orang yang berpuasa untuk mencium istri di siang
hari bulan Ramadan.
Wallahu a’la wa a’lam.

Kontributor

  • Hani Fathiya Rizqi

    Seorang mahasiswi pascasarjana di Universitas Al-Azhar. Seorang pecinta es krim yang sering dijuluki Ibu Kucing.