Salah satu permasalahan yang masih
diperselisihkan dan terus menjadi perbincangan adalah mengenai kenajisan
alkohol, yang diidentikkan dengan khamr. Para ulama sepakat bahwa khamr
hukumnya haram dikonsumsi dan disifati najis. Namun apakah kenajisan tersebut
bersifat zhahiri ataukah maknawi?
Dalam situs resmi Darul Ifta Mesir, Syeikh
Prof. Dr. Ali Jum’ah memaparkan beberapa poin terkait hal ini:
Pertama:
Tidak Semua Yang Haram Itu Najis
Di antara hal yang ditetapkan oleh
syara’ adalah bahwa pada dasarnya substansi semua benda (Al-A’yan) atau
wujud fisiknya itu suci. Meskipun meminum alkohol—dalam hal ini—adalah khamr
hukumnya haram, akan tetapi sesuatu yang diharamkan tidak serta merta dihukumi
sebagai najis, karena kenajisan suatu barang merupakan keputusan syara’ yang
harus berlandaskan dalil yang Mustaqil (berdiri sendiri).
Semua jenis obat terlarang atau
narkotika (Al-Mukhadzdzirat) dan racun mematikan hukumnya haram meskipun
zatnya
suci, karena
tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.
Oleh karena itu, termasuk
aturan-aturan fikih
adalah
bahwa kenajisan
barang menetapkan keharamannya sedangkan keharaman barang tidak menetapkan kenajisannya. Jadi
segala sesuatu yang najis pasti diharamkan, namun tidak sebaliknya. Sesuatu yang haram belum tentu
najis.
Kedua:
Alkohol Bukan Khamr
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa
hakekat khamr adalah sesuatu yang memabukkan yang dibuat dari perasan anggur. Mereka
mensyaratkan adanya efek
sangat memabukkan dalam kenajisan
khamr. Sementara itu kalangan Hanafiyah mensyaratkan munculnya busa pada
perasan tersebut.
Kemudian kalangan Syafi’iyah
menyertakan pula (dalam kategori khamr) segala sesuatu memabukkan yang diambil
dari selain perasan anggur, begitu juga dalam hal kenajisannya. Adapun menurut
kalangan Hanafiyah, sesuatu yang memabukkan dari selain perasan anggur bukanlah
najis, meskipun haram untuk dikonsumsi.
Oleh karena itu, alkohol itu sendiri
bukanlah khamr yang notabenenya minuman memabukkan. Alkohol juga bukan khamr yang masih
diperselisihkan kenajisan dan kesuciannya, namun alkohol termasuk materi
beracun sama seperti racun-racun lainnya.
Secara adat kebiasaan, alkohol bukan suatu materi
untuk diminum dengan tujuan mabuk. Keharamannya
dikonsumsi karena berkaitan dengan sifat racun yang menimbulkan kemudaratan dan merusak. Jadi,
alkohol itu suci sama seperti sucinya ganja, opiun, dan segala hal yang
membahayakan lainnya.
Ketiga: Cairan
Alkohol Tidak Digunakan Sebagai Minuman
Materi alkohol yang berupa cairan bukanlah
digunakan sebagai minuman, bentuknya yang cair tidak serta merta menjadikannya
najis seperti khamr. Menurut pendapat yang Mu’tamad di kalangan
Syafi’iyah, semua minuman yang memabukkan adalah najis. Mereka tidak mengatakan, “Semua
benda cair,” sebagai
isyarat bahwa sifat cair
dan memabukkan tidak cukup untuk dihukumi najis. Namun kenajisan tersebut harus berupa
barang yang dijadikan sebagai minuman, tidak sekadar cairan.
Ini pula yang dipahami dari pernyataan mereka
dengan redaksi Al-I’tishar (wazan Ifta’ala dari lafal Al-‘Ashr
yang bermakna memeras) dan juga dari redaksi Al-Anbidzah yang
merupakan bentuk jamak dari Nabidz (perasan anggur), yaitu air minuman anggur dari hasil perasan.
Keempat: Keharaman Meminul Alkohol
Pada dasarnya, Nash syara’ yang
mengatakan “Segala sesuatu yang memabukkan adalah haram”, itu merujuk pada minuman
yang dikenal memabukkan. Adapun sesuatu yang tidak mungkin untuk diminum
seperti alkohol, maka tidak tercakup dalam Nash tersebut sehingga ada dalil
tersendiri yang menunjukkan ketercakupannya di sana. Terlebih lagi alkohol belum
ditemukan secara tersendiri pada zaman Tasyri’ (pensyariatan), namun
keharaman mengonsumsi alkohol karena mengandung unsur Dharar (unsur
berbahaya atau kemadharatan).
Kelima: Najis Adalah
Domain Agama Bukan Sains
Kenajisan merupakan masalah syara’,
bukan substansi yang bersifat kimiawi. Artinya,
kenajisan khamr diketahui melalui ketetapan syara’, sementara alkohol—yang
merupakan unsur penyebab khamr memabukkan—adalah substansi analisis kimia.
Substansi ini dengan sendirinya tidak serta
merta menjadikan alkohol najis atau haram ketika secara terpisah ada dalam
cairan lain selain khamr. Karena
kenajisan suatu barang yang bersifat campuran atau kompleks tidak menetapkan kenajisan
satuan zat penyusunnya.
Seperti air kencing manusia yang
tersusun dari beberapa unsur kimia, terkadang unsur tersebut ditemukan dalam
sesuatu yang suci, bahkan terkadang ditemukan dalam makanan dan minuman.
Proses pembuatan khamr atau disebut At-Takhammur
(fermentasi) bisa berhasil ketika ditemukan adanya unsur glukosa dalam benda tersebut. Jika tidak, maka bagaimanapun
juga proses fermentasi tidak mungkin berhasil meski dibiarkan dalam waktu yang
lama seperti pada labu.
At-Takhammur (fermentasi) adalah proses
perubahan unsur glukosa menjadi alkohol dan asam karbonik, sehingga dalam
keadaan ini minuman hasil fermentasi
menjadi memabukkan karena disebabkan
oleh alkohol. Sementara alkohol itu sendiri
tidak memabukkan namun bersifat merusak atau membahayakan. Apabila diminum bisa
menjadikan si peminum pingsan dan adakalanya hilang akalnya.
Dan jika ingin diubah menjadi minuman
yang memabukkan,
maka dicampur dengan air sebanyak tiga kali jumlah alkohol tersebut kemudian
disuling. Percampuran inilah yang
memunculkan sifat memabukkan.
Berkembangnya berbagai macam minuman memabukkan
hanyalah perbedaan tingkat kadarnya saja yang dihasilkan dari percampuran air
dengan alkohol. Misalnya
arak yang mengandung 40% lebih alkohol, jenis minuman keras lain mengandung
sekitar 10% alkohol, dan bir yang dihasilkan dari jewawut atau gandum
mengandung 5% alkohol.
Alkohol itu sendiri merupakan bahan
beracun yang menimbulkan sifat memabukkan hanya ketika dicampur air dengan
kadar tertentu.
Keenam: Sebagian
Benda Cair Memabukkan Tidak Najis
Ketika Imam An-Nawawi menyatakan kenajisan
khamr dalam kitabnya Al-Minhaj, dengan redaksi “هي كل مسكر مائع” (khamr adalah setiap cairan yang memabukkan), sebagian
kalangan Syafi’iyah mempermasalahkan adanya Qayyid (pembatasan) berupa
barang cair. Ada
sebagian benda cair yang memabukkan namun tidak dihukumi najis seperti obat bius.
Mereka menafsirkan perkataan
An-Nawawi ini dengan mengatakan, “Benda cair yang dimaksud adalah yang bersifat
jelas-jelas memabukkan, karena dalam Bab Al-Asyribah (minuman) dalam kitab Al-Minhaj,
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa setiap minuman yang banyaknya jelas-jelas
memabukkan maka sedikitnya juga diharamkan dan peminumnya harus dijatuhi
hukuman hadd.”
Ketujuh: Hukum Berubah Mengikuti
Esensi dan Sifat Benda
Di antara ketetapan syara’, jika esensi
dan sifat suatu benda berubah menjadi benda lain maka hukumnya juga ikut
berubah. Misalnya, kenajisan sesuatu menjadi hilang
ketika tercampur dalam air yang banyak dan air tersebut tidak berubah warna,
rasa, atau baunya.
Alkohol ketika dicampurkan dengan
minyak wangi, obat, atau disinfektan, maka sifat ke-khamr-annya menjadi hilang.
Begitu juga dengan khamr yang berubah sendiri menjadi cuka, ia kembali menjadi
suci secara syara’. Bahkan seandainya para ahli kimia menemukan di dalamnya
sesuatu yang masih berkaitan dengan alkohol sekalipun. Ini sudah menjadi kesepakatan
ulama.
Kedelapan: Alkohol pada
Minyak Wangi
Kalangan Syafi’iyah mendefinisikan
najis sebagai sesuatu yang dianggap kotor dan dapat
mencegah sahnya shalat sekiranya tidak ada yang meringankannya.
Alkohol bukanlah sesuatu yang zatnya dianggap kotor, bahkan ia berfungsi
sebagai pembersih
yang bisa digunakan untuk menghilangkan kotoran yang tidak bisa dihilangkan dengan air sabun.
Alkohol juga digunakan dalam sebagian
minyak wangi dan bahan obat-obatan. Minyak wangi yang mengandung alkohol tidak
ada yang menyebutnya sebagai khamr, baik dalam segi bahasa, segi adat kebiasaan
, maupun dalam segi pemakaiannya.
Al-‘Allamah Syeikh Bakhit Al-Muthi’i
dalam majalah Al-Irsyad bulan Sya’ban 1351 H mengatakan bahwa alkohol
tidak najis, karena alkohol bukan khamr. Pendapat ini dijadikan pedoman fatwa
oleh Darul Ifta Mesir pada masa Syeikh Muhammad Khathir, dengan nomor fatwa
159, 27 Dzulqa’dah 1391 H – 12 Januari 1972 M, dan juga pada masa Syeikh Abdul
Lathif Hamzah dengan nomor fatwa 117, 7 Ramadhan 1405 H – 6 Juni 1985 M.
Kesimpulan
Alkohol bukanlah khamr menurut kalangan Syafi’iyah dan para ulama lain. Ia boleh digunakan dalam
minyak wangi, parfum, obat pembersih atau disinfektan, dan obat-obatan. Wallahu a’lam