Dalam laman resmi Faceboknya, Al-Azhar Fatwa Global Center Mesir menjelaskan pandangan hukum tentang hukum membebaskan hutang dari zakat. Gambarannya seperti Zaid berhutang kepada Umar, lalu Umar memberikan zakat kepada Zaid sejumlah besaran hutang Zaid kepada Umar.
Lembaga Pusat Fatwa Al-Azhar itu merilis jawaban panjang sebagai berikut:
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kasus membebaskan hutang yang dibayarkan dari zakat. Sebagian ulama melarang praktik pembebasan hutang dari uang zakat seperti ini dan sebagian lain memperbolehkan. Pendapat kedua inilah yang dikuatkan oleh Al-Azhar Fatwa Global Center dengan satu syarat: orang yang berhutang memang tidak sanggup melunasi hutangnya.
Baca juga: Fatwa Al-Azhar Soal Anak Kecil Jadi Imam Shalat
Imam an-Nawawi menjelaskan bila seseorang memiliki piutang pada seorang yang sedang kesusahan, lalu ia ingin menunaikan zakat dengan membebaskan hutangnya dan mengatakan, “Aku membebaskan hutangnya dengan pembayaran zakatku,” maka ada dua pendapat yang diceritaka oleh pengarang kitab Al-Bayân.
Menurut pendapat yang lebih kuat (ashah), praktik demikian tidak diperbolehkan. Demikian dikatakan oleh Imam ash-Shumari. Mazhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan. Sebab zakat merupakan tanggungan seseorang (yang dalam hal ini berstatus pemiutang) dan kewajiban zakatnya tidak gugur sebelum menyerahkan hartanya.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua, praktik pembebasan zakat dari hutang sudah mencukupi (sah). Pendapat ini dikatakan oleh Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam Atha’. Alasannya, bila pihak pemiutang membayarkan zakatnya, lalu pihak penghutang menggunakan uang tersebut untuk membayar hutangnya, tentu tidak ada masalah. Begitu juga jika dia tidak menyerahkan uang zakatnya .
Kebolehan di atas sama seperti seseorang memiliki uang dirham yang dititipkan lalu dia menunaikan zakatnya dengan uang tersebut. Praktik tersebut dibolehkan baik ia memegang uang tersebut atau tidak.
Baca juga: Dosakah Orang Mampu Tidak Berkurban?
Al-Azhar Fatwa Global Center menegaskan bahwa diperbolehkan membebaskan hutang dan menjadikannya sebagai pembayaran zakat. Pihak yang merasakan manfaatnya adalah orang yang berhutang. Kalaupun dia bukan termasuk fakir miskin, dia tetap berhak menerima zakat karena termasuk gharim (orang yang berhutang).
Al-Qur’an sendiri menamai pembebasan hutang dari pengutang yang kesulitan melunasi hutangnya dengan istilah sedekah.
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:280)
Hukum Menyerahkan Zakat kepada Saudara Sendiri yang Memiliki Hutang
Al-Azhar Fatwa Global Center menegaskan kebolehan bagi seseorang untuk memberikan zakatnya kepada saudaranya sendiri yang terlilit hutang agar ia gunakan untuk melunasi hutangnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad saw.:
إنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ (الحديث)
“Sedekah kepada orang miskin mendapatkan (pahala) sedekah, dan sedekah kepada saudara mendapatkan dua pahala, yakni (pahala) sedekah dan (pahala) menyambung tali persaudaraan.” (HR. an-Nasa’i)
Sebagai kesimpulan, komite fatwa di Al-Azhar Fatwa Global Center menguatkan pendapat yang kedua bahwa diperbolehkan membebaskan hutang dari uang zakat bila penghutang tidak sanggup melunasi. Wallâhu a’lam.