Selama ini sejarah NU ditulis terpecah belah dan fragmentaris di antara berbagai disiplin dan cara pandang ilmu yang berbeda-beda, dan lepas dari the whole picture, sehingga kesimpulan yang muncul juga berkeping-keping (berserakan di antara berbagai satuan unit pendekatan yang parokial).
Ada yang bilang NU sektarian kelompok, dengan bukti dari the whole picture ada Muhammadiyah yang NU, Muhammadinu. Masing-masing “fastabiqul khairat”. Ada yang bilang NU itu sektarian Islam, buktinya dari the whole picture ada non Muslim Nusantara yang ikut mendukung dan menopang pilar eksistensinya. Bahkan, ada juga yang bilang Jawa sentris, dengan bukti the whole picture mengungkap kekuatan NU luar Jawa berkembang pesat di masa akhir Soekarno dan masa awal Soeharto. Baru di puncak Orba, kekuatan NU luar jawa itu di-“Golkarisasi”. Tak hanya itu, ada juga yang bilang politik ulama NU itu kolot, amatir, oportunis, demikian seterusnya.
Yang lebih berbahaya adalah ketika yang fragmentaris itu dipakai untuk adu domba (dan pecah belah) lalu angkat isu politik identitas, atau ketika satu pengetahuan tentang NU berarti how to dominate and to subdue them according to Our-imperialist rule of game.
Syahdan, Muqaddimah Qanun Asasi sudah menekankan jati diri keorganisasian NU sebagai wadah persatuan, gotong-royong (ta’awun), dan perbaikan (ishlah). Keputusan Muktamar Semarang 1979 juga menekankan Jam’iyah NU sebagai aqidah (yakni ideologi), dan sebagai gerakan pembinaan potensi dalam masyarakat, dan kekuatan yang terorganisir.
Bahasa seperti ini ditimba dari beberapa kalimat Kiai Achmad Siddiq dalam Khittah Nahdliyah: pentingnya organisasi sebagai sebuah gerakan dengan ideologinya yang spesifik untuk mengorganisir manusia dan kegiatan-kegiatan NU, dakwah untuk menggerakkan manusia. Ditambah satu penekanan pada pentingnya posisi jama’ah NU sebagai pengikut dan pendukung cita-cita dan perjuangan NU. Pemahaman ini perpaduan kekuatan organisasi dan target manusia, lalu diadopsi dalam keputusan Munas Situbondo, dan di ikuti tim Komisi Program dalam muktamar Situbondo.
Jadi ada misi atau fungsi NU sebagai wadah pengorganisasian kaderisasi manusia-manusia unggulan. Dalam redaksi teks Khittah NU dari Komisi Khittah Muktamar Situbondo, hakikat keorganisasian NU ini diambangkan, sehingga tidak jelas statusnya, demikian pula gamang akan target dan sasarannya. Kalimat redaksionalnya hanya menyebut NU “gerakan keagamaan” dengan tujuan melestarikan paham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Tentu ada sesuatu yang ditabukan untuk diangkat dalam iklim pengendalian bahasa ala Orde Baru ini yang alergi dengan istilah “gerakan rakyat” atau pengorganisasian rakyat di desa-desa. Sementara, Muktamar Semarang sudah tegas menyatakan: hakikat organisasi NU tertuju pada pembentukan karakter yang bercermin pada kepribadian serta identitas jama’ah Nahdlatul Ulama; dan pada Kiai Siddiq dalam Khittah Nahdliyah: NU didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi Muslim. Keduanya sama-sama menempatkan NU sebagai kekuatan yang mengorganisir dan menggerakkan manusia.
Ide Kiai Siddiq tentang jama’ah NU dalam Khittah Nahdliyah juga diadopsi dalam Muktamar 1979, untuk dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi sebuah kuantitas unggulan bagi masa depan NU: Menjadi syarat mutlak bagi sekalian jama’ah Nahdlatul Ulama, terutama golongan pemimpin, untuk memiliki karakter pejuang, karena pada hakekatnya jam’iyah adalah medan pengabdian dan perjuangan.
Ketika kata kepribadian itu disandingkan dengan kata jama’ah, berarti ada target yang ingin dicapai sebuah organisasi, dan jelas sasaran atau target manusia-manusia yang ingin dicapai untuk dikerjakan: membentuk kepribadian mereka, mengolahnya hingga menjadi berkarakter “pejuang”. Setelah itu manusia-manusia ini dikader untuk menggerakkan masyarakat, hingga menjadi sebuah kekuatan yang terorganisir yang akan dikelola oleh NU untuk mencapai tujuannya.
Catatan:
Ini buku panduan dalam membaca kemana Khittah dan Politik NU di bawah dalam konteks kepengurusan PBNU 2022–2027. Dengan melihat komposisi seperti itu, kini isu krusialnya di sana antara lain adalah, soal posisi ulama vis a vis politisi, pemaknaan politik NU dan perilaku politisi, reaktualisasi arti cita-cita ormas, cara membaca hakikat organisasi dan juga soal pengelolaan fungsi NU bagi agama dan bangsa ini.
Sebenarnya, Ngaji Kitabul Khittah bertolak dari titik pertemuan Khittah NU dan Khittah Wali Songo. Pertemuan ini menandai era baru Islamisasi di Tanah Nusantara, dimana mulai diperkenalkan satu khittah, master-plan atau rancang bangun makro tentang peran dan fungsi para ulama, termasuk agama Islam dan pelembagaannya dalam konteks Indonesia. Master-plan ini dibutuhkan, agar ada kejelasan tentang visi dan maksud utama dari proses Islamisasi yang sudah digelar sejak abad-abad awal kehadiran Islam di muka bumi ini.
Tanpa pemahaman akan kedalaman dan keluasan cakupan ijtihad politik ulama-ulama Nusantara, seperti direkam dalam buku ini (sejak dari masa Wali Songo hingga era politik NU), kita hanya akan terperangkap pada tekstualisme wacana “politik Islam” atau “negara Islam” yang selalu mencari ayat atau dalil untuk justifikasi keagamaan. Justifikasi semacam itu, tanpa jangkar maqasid-nya, tak jarang menggoda banyak orang lepas kendali, hingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.
Akhiran, politik NU bukanlah politik umat yang gampang obral ayat, lalu dipakai jadi stempel halal. Ia sudah punya trayeknya sendiri, seperti lokomotif kereta, dan bukan seperti taksi yang bisa dibawa kemana-mana sesuai kemauan penumpangnya.