Berdasarkan para ahli, Matsnawi Maknawi adalah karya agung terbaik yang pernah dianggit Maulana Jalaluddin Rumi dalam hidupnya. Tentu tanpa menafikan beberapa mahakarya lainnya, seperti Ghazaliyat, Divan Syams, Fihi ma Fihi, Rubaiyyat, dan lain-lain yang juga bermuatan mistisisme pencerah.
Maulana Rumi selain terkenal dengan kesufiannya, pula menjadi mufti, mufassir dan teolog ternama. Pengembaraan ilmiah dan kematangan dalam pengetahuan agama yang dimilikinya tak terlepas dari bimbingan ayahandanya.
Ayahnya, Bahauddin Walad juga adalah seorang sufi dan mufti terkenal dimasanya. Dan dikisahkan Bahauddin Walad mengajak anaknya, Rumi untuk meninggalkan Balkh (tempat kelahiran Rumi) menuju ke Haramain. Kala itu Rumi masih berusia 11 tahun. Saat sebelum sampai ke tempat tujuan, mereka bertemu dengan salah satu sufi agung bernama Syekh Fahruddin Atthar di Kota Naizabur (salah satu kota di Persia kala itu).
Dengan ulama inilah Rumi muda mendapat kitab “Asrar Nameh” (surat-surat rahasia) darinya. Dan syekh Fahruddin Atthar juga menyampaikan firasatnya yang muncul dari dalam jiwanya kepada Bahauddin Walad. Beliau berkata, “kelak anak ini akan menjadi seorang ulama dan sufi agung.”
Pengembaraan dan penempaan pada diri Rumi tak henti-hentinya lalai dari perhatian ayahandanya. Hingga diusianya yang ke 24 tahun, Rumi kehilangan ayahnya untuk selamanya. Ayahanda tercintanya itu harus kembali ke pangkuan Ilahi.
Baca juga: Jalan Menuju Tuhan dalam Syair Jalaluddin Rumi
Mastnawi Maknawi lahir dari dorongan pengikutnya bernama Hasammuddin Celebi atau Hasan bin Muhammad al-Arwamy. Peran Hasammuddin sangatlah krusial, karena selain andil dalam mengurus keperluan murid-murid gurunya juga berperan besar dalam mengurusi majiis-majlis yang diadakan gurunya itu.
Bahkan dalam mukaddimahnya Mastnawi Maknawi ini, lelaki ini disebut Maulana Rumi sebagai “Abu Yazidnya zaman itu dan Imam Junaidnya masa itu”. Hasammuddin memberikan saran kepada Maulana Rumi untuk menggubah nazam-nazam Mastnawi Maknawi hingga terlahirlah magnum opus Maulana Jalaluddin Rumi ini.
Reaksi kapsul hikmah ketika kita menenggaknya
Bait-bait Rumi ini berisi untaian-untaian motivasi penggugah jiwa. Membacanya kita akan mendapat sentuhan magis yang menggerakkan kita agar terus mendekat dan tersadar pada khittah hidup kita, Allah Swt.
Mastnawi Maknawi adalah nazam berbahasa Persia yang dalam bahasa Arab searti dengan kata biner. Dalam setiap bait terselip rima yang menyendiri dari rima bait-bait lainnya. namun dua penggalan dalam satu baitnya tetaplah sama.
Sayed G Safari mencoba memahami Mastnawi Maknawi dalam kerangka akademik. Dalam hasil risetnya yang ia publish dalam bukunya berjudul “Struktur dan Makna Matsnawi maknawi” mengungkapkan, ukuran Maulana Rumi menciptakan karyanya ini masuk pada tahap kreatif. Bait-bait dalam setiap bab mengalir alami dan logistik, seolah-olah begitu saja dari satu tema ke tema berikutnya.
Bahasa-bahasa Rumi banyak mengacu paada kata al-insan. Bila kita telaah dalam fan ilmu ushul fikih khususnya, manusia cenderung diartikan dengan al-Insanu Hayawan an-Natiq. Artinya adalah manusia merupakan hewan yang berfikir. Natiq, dari kata Nathaqa yang memiliki makna asli berbicara. Tapi kemudian muncul Mantiq Logika (berfikir). Jadi yang membedakan kita dengan hewan adalah kemampuan menalar, kemampuan untuk berfikir. Maka sudah barang tentu, bila berbicara itu pasti dengan pemikiran.
Sebagai orang beriman sudah selayaknya kita menyadari bahwa agama adalah jalan yang membawa manusia dari kehinaan, stagnasi dan keterpurukan kepada keagungan, kesejahteraan, dan kearifan. Juga menuntun kita dari keterbelengguan nafsu Syaitaniah menuju kehidupan yang berwatak spiritual dan diridhai Allah swt.
Hasil olah rasa dan permenungan panjang dari Maulana Rumi ini dapat menjadikan rujukan untuk dapat menjernihkan petualangan batin kita memaknai keindahan-keindahan Tuhan.
Baca juga: Bila Kaum Sufi Merasakan Cinta
Membaca setiap syair-syair yang ada memungkinkan kita untuk berbenah menjadi pribadi yang baik. Syair-syairnya yang indah itu menjadi piranti dalam memperbaiki keadaan jiwa yang rusak. Menimbulkan sebuah ratapan yang tersingkap dari esensi diri yang begitu pelik dalam urusan keduniawian. Gubahan syair-syair ini dibuat sebagai penawar dari kegetiran hidup yang kadang terlalu menggebu-gebu mendapatkan suatu hal yang teramat kita inginkan. Seperti pesan Rumi di bawah:
Belas kasih adalah perangkap singa. Obat tak mencari apa pun di dunia ini selain rasa sakit.
Di mana ada derita, di sana ada penawar. Di mana ada dataran rendah, di sana air mengalir..
Jika kau ingin belas kasih, jadilah rendah hati. Minumlah anggur belas kasih. Mabuklah!
(Matsnawi Maknawi, buku II, bait 1938-1940)
Selain kita dianjurkan untuk berikhtiar kita juga sangat dianjurkan untuk tawakkal, berserah diri kepada Allah swt., karena tiada pertolongan lain selain-Nya. Hal ini tak memungkinkan kita untuk hanya sekedar berleha-leha menanti kedatangan pertolongan Rab bila tanpa berusaha dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu. Itulah karakter syair gubahan maulana Rumi yang bernuansa sufisme, yang mengandung unsur-unsur sarkastis yang sangat memotivasi.
Lepaskan rantai keserakahan dari tangan dan lehermu. Raih keberuntungan baru di langit purwa.
Jika kau tak mampu terbang ke Ka’bah Ilahi, serahkan ketidakmampuanmu kepada penolong masalah.
Rintihan dan tangisan kuat adalah bekal besar. Rahmat universal adalah perawat yang paling kuat.
Perawat dan ibu akan mencari alasan saat melihat anaknya mulai menangis.
Tuhan menciptakan anak kebutuhan-kebutuhanmu, supaya kau merintih agar disiapkan susu.
(Matsnawi Maknawi, buku II, bait 1949-1953)
Dengan demikian, perlu kiranya kita menenggak kapsul hikmah yang telah Maulana Rumi buat sedemikian hebatnya ini agar timbul rasa tenang dari kegalauan-kegalauan yang kian hari kian membelenggu. Buku ini merupakan buku keempat dari seri Matsnawi Maknawi yang diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya, yakni bahasa Persia.
Identitas Buku
Judul : Matsnawi Maknawi Maulana Rumi (Kitab II, Bait 1932-3810)
Penerjemah : Muhammad Nur Jabir
Tebal : 230 halaman
Terbit : Cetakan pertama, Februari 2022
Penerbit : DivaPress
ISBN : 978-623-293-653-9