Melihat buku ini dari sudut pandang isi, penulis mengkolaborasikan dua jenis biografi; biografi perjalanan hidup, dan biografi perjalanan karir. Dari sisi persoalan ulasannya, penulis lebih dominan mengulas aspek intelektualitas Kiai Asep Saifuddin.
Namun demikian, kesimpulan ini tidak menampik ada aspek lain yang penulis tuangkan. Seperti aspek politik, misalnya, bagaimana diulas jelas oleh penulis dalam uraian tentang memperkuat demokrasi dan moderasi Islam.
Muhammad Ismail Adnan sebagai penulis tampaknya lebih memilih metode wawancara, baik wawancara langsung atau tidak langsung. Hal ini terdeteksi dalam kutipan-kutipan yang penulis nukil. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada K.H. Muhammad Al Barra, DR.H. Zakariyah M.Pd.I, Dr. Eng Fadly Usman, ST.MT., dan Dr. Gatot Sujono SE.MM. Dari merekalah penulis mendapatkan data dan informasi penting tentang Kiai Asep. Ini wawancara secara tidak langsung. Wawancara langsung kepada Kiai Asep pun dijadwal dengan padu oleh Pak Taufik, asisten pribadi Kiai Asep. Selain itu, penelitian pustaka pun tak luput dari perhatian penulis.
Secara garis besar, buku ini sebagian besar mengulas biografi perjalanan intelektual Kiai Asep Saifuddin, seorang tokoh visioner yang berkomitmen ingin menjadikan Indonesia sebagai kiblat pendidikan dunia dengan mendirikan sebuah pusat perkuliahan yang bertaraf internasional.
Beliau lahir dari keluarga salah satu dari 13 tokoh yang tercatat pendiri NU (Nahdlatul Ulama), organisasi Islam terbesar di Indonesia, atau bahkan dunia, yaitu K.H. Abdul Chalim bin Kedun Leuwimunding. Kiai Chalim adalah sahabat karib K.H. Wahab Hasbullah. Beliau yang menjabat sebagai katib II dalam kepengurusan NU periode pertama, merupakan sosok kiai sederhana yang memilih tidak terkenal, jarang bicara, tapi sosok pekerja nyata untuk kemajuan Islam dan bangsa. Begitulah kira-kira sosok sang Ayah di mata Kiai Asep. Kehidupan Kiai Asep saat ini, tidak lepas dari pengaruh, doa, dan tirakat sang Abah.
Karakter tawakal, solidaritas, terbuka, dermawan dan hidup sederhana merupakan kepribadian Kiai Asep yang bernasab kepada sosok Sang Ayah. Tak lupa juga, karakter moderat sukses diinternalisasi dari Sang Ayah yang dikenal sebagai ulama yang moderat. Sifat moderat dipengaruhi oleh guru KH. Chalim waktu studi di Mekah. Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfud Termas, Syekh Khotib al-Minangkabau, dan Syekh Ahmad Khayyat, para ulama moderat yang mempengaruhi pola pikir KH. Chalim yang kemudian turun kepada Kiai Asep.
Dalam konteks perpolitikan Indonesia, Kiai Asep memilih tidak begitu aktif terjun ke praktik politik praktis. Beliau lebih memilih kerja senyap di balik layar, membangun pendidikan Indonesia yang lebih bermutu. Beliau, di dalam buku ini, hanya tercatat sebagai DPRD Surabaya 1999. Namun demikian, beliau bersikap tegas dalam menentukan pemimpin pilihannya. Hal ini terlihat dari Tim 17 bentukannya (yang terdiri dari kiai dan Bu Nyai Jawa Timur). Beliau dan Tim 17 “turun gunung” dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2018. Beliau juga membentuk JKSN (Jaringan Kiai Santri Nasional) sebagai mesin kampanye. Tim ini berhasil memenangkan Bu Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur.
Sikap tegas dalam memilih pemimpin ini, bukan sekadar berpartisipasi dalam pemilihan umum, melainkan sebagai bentuk memilih pemimpin yang profesional, jujur, bersih, tidak berbohong, tidak mencari keuntungan pribadi, dan berpihak kepada kelompok miskin. Sosok dengan sifat inilah yang, menurut Kiai Asep, layak dijadikan pemimpin. Beliau berkata, “Demokrasi yang baik ini bagaimana dapat berguna mengurangi kemiskinan. Salah satu caranya dengan kualitas kepemimpinan yang baik.”
Kiai Asep Saifuddin saat menjalankan ibadah umroh.
Dengan demikian, Kiai Asep lebih memilih jalan membangun pendidikan, menyiapkan generasi dengan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, kompeten, terampil, dan berdaya saing tinggi; menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas. Dalam konteks ini, beliau tidak main-main, pun bukan sekadar ujaran belaka, melainkan sudah beliau buktikan dengan kerja nyata, implementasi kurikulum yang berkualitas, memadukan metode Klasik-Kontemporer yang terlihat jelas dari lulusan pondok pesantren rintisan beliau, Pondok Pesantren Amanatul Ummah, baik yang di Surabaya atau di Pacet, Mojokerto.
Bukan hanya itu, Pondok Pesantren Amanatul Ummah merupakan salah satu pondok pesantren yang mandiri dari sisi finansial. Bahkan, Kiai Asep selalu menolak dengan halus apabila ada pihak pemerintah yang ingin memberikan bantuan kepada pondok pesantren. Beliau kerap berkata, “Masih banyak di luar sana yang lebih membutuhkan daripada Amanatul Ummah.”
Kiai Asep memang sosok yang visioner. Beliau mengerti, tanpa kemandirian finansial, untuk membangun pendidikan berkualitas, pendidikan yang mampu mengorbitkan manusia Indonesia berkualitas, sangat sulit. Dampaknya, apabila tidak mandiri, akan tergantung kepada orang/lembaga lain yang akan menghambat perkembangan lembaga pendidikan yang sedang dikembangkan. Membangun pendidikan Indonesia dengan semangat Implementasi dan ditambah kemandirian finansial berhasil beliau lakukan. Bukti nyatanya adalah kenyataan sekarang ini, bahwa Pondok Pesantren Amanatul Ummah melesat dan menjelma menjadi salah satu pondok pesantren bertaraf nasional atau bahkan internasional.
Buku ini, dalam pandangan saya, bukan hanya sekadar biografi-inspiratif, melainkan menyuguhkan sebuah tedalan dalam kehidupan sehari-hari, khusus dalam dunia pendidikan Indonesia. Ada banyak sekali, kisah, petuah, hikmah, dan informasi-inspiratif yang sangat penting untuk diketahui dan kemudian kita internalisasi lalu puncaknya kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sekian, selamat membaca.
Keterangan Buku:
Judul: Inspirasi dan Perjuangan Kiai Asep Saifuddin Chalim Membangun Manusia Indonesia
Penulis: Muhammad Ismail Adnan
Penerbit: QAF Jakarta: 2021
Cetakan I: Oktober 2021
ISBN: 978-623-6219-11-9