Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Surat Minta Fatwa dalam Al-Imtisal dan Majalah Keislaman di Tasikmalaya

Avatar photo
54
×

Surat Minta Fatwa dalam Al-Imtisal dan Majalah Keislaman di Tasikmalaya

Share this article

Warisan Intelektual Ulama Sunda: Surat
“Istiftâ” Berbahasa Arab dari Sumedang Kaum di Majalah “al-Imtisal” Bertahun
1927 M

Berikut ini adalah sebuah surat berisi
pertanyaan meminta fatwa (istiftâ) yang ditulis dan dikirimkan oleh sosok
bernama Muhammad Syathibi, seorang pengajar di institusi pendidikan Islam
tradisional di kawasan Sumedang Kaum, Sumedang, Jawa Barat.

Surat “istiftâ” tersebut termuat dalam
majalah “al-Imtisal” edisi nomor II, tahun II (1 Syawwal 1345/4 April 1927).
Dalam surat tersebut, Muhammad Syathibi mengajukan dua buah pertanyaan, yaitu
seputar hukum bilangan tujuh kali dalam proses mensucikan najis berat (mughallazhah),
serta hukum “olab” (gumuh). Menariknya, surat “istiftâ” tersebut ditulis dalam
bahasa Arab. Tertulis di sana:

Soemedang, 22 Rabioel-awal ‘45

الى حضرة المكرمين المحترمين مؤلفي
الامتثال

حفظكم الله تعالى من الآفات في
الدارين آمين

السلام عليكم الخ

وبعد. فلما كان الامتثال مهيأ للسؤال
والجواب. أسألكم في المسئلتين: الأولى طالعنا في الامتثال العاشر صحيفة 3 باب
النجاسة. فوجدتُ في ذلك أن غسل المغلظة تطهر بسبع غسلات مع ازالة عينها. والذي
وجدنا في الكتب التي في أيدينا أن ذلك بسع غسلات بعد ازالة عينها. أي وانما تعتبر
السبع بعد ازالة عينها فمريلها (؟) وان تعدد واحدة. كما في المنهاج. فبذلك نسألكم
من أي كتاب تجد وتنقل كما كتبتم
.

والثانية انكم قلتم حسبت في الامتثال
التاسع أن الأولب من النجاسات. هل فيه منطوق بلفظه في الكتب؟ أو هو من أفراد جنس
القيئ أو مقيس عليه. فإن كان مقيسا عليه فكيف طريق انتاجه؟ فنحن لسنا مطالعين بلفظ
عربه لقصوري وجهلي. والذي وجدت اللعاب ما يسيل من الفم كما في المختار. وذلك عوم
عندنا. فالمطلوب والمرجو من جنابكم أن تجاوبوا بدر الجواب. وأن تدخلوه في الرابع
عشر. وأولا قلت جزاكم الله خيرا كثيرا
.

من الذي أثنى ربه ذي الجلال. وحمده
بنشور الامتثال

ونسئله أن يحييه الى يوم لا ينفع فيه
مال

محمد شاطبي المدرس للأطفال

بمدرسة قئوم سمدڠ

(Sumedang, 22 Rabiul Awal 1345 Hijri)

Kepada para Tuan yang mulia para
pengarang Majalah al-Imtitsal

Semoga Allah senantiasa menjaga kalian
dari marabahaya di dunia dan akhirat. Amin.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Wa ba’da. Ketika majalah al-Imtitsal
terbuka untuk Tanya jawab, maka aku hendak menanyakan dua buah soal. Pertama,
pada al-Imtisal edisi ke-10, halaman 3, Bab Najis, aku menemukan di sana bahwa
cara mensucikan najis mughalladzah (najis anjing dan babi) itu dengan
dibasuh tujuh kali bersamaan dengan menghilangkan ‘ain (bentuk materil) najis
tersebut. Tapi, yang aku temukan dalam kitab-kitab yang ada padaku, bahwa cara
mensucikan najis mughaladzah adalah dengan dibasuh air sebanyak tujuh kali
setelah terlebih dahulu dihilangkan ‘ain (bentuk materil) najisnya. Maksudnya,
tujuh kali basuhan itu setelah terlebih dahulu hilang ‘ain najisnya. Jika ‘ain
najisnya belum hilang dan dibasuh sebanyak tujuh kali bahkan lebih, maka tetap
saja basuhan itu dihitung satu kali, karena ‘ain najisnya belum hilang. Hal ini
sebagaimana diterangkan dalam kitab “al-Minhâj” [Minhâj al-Thâlibîn
karya aImâm al-Nawawî]. Karena itu, aku bertanya kepada kalian, dari kitab
manakah kalian menukil pendapat itu?

Pertanyaan kedua, kalian mengatakan
dalam majalah al-Imtitsal edisi ke-9, bahwa “olab” [
الاولب, gumuh] termasuk dari najis. Apakah hal
tersebut tertulis dalam kitab-kitab fikih? Atau olab terhitung sebagai jenis
najis muntah, atau diqiyaskan atasnya? Jika olab diqiyaskan hukum kenajisannya
dengan muntah, maka bagaimana cara pengambilan qiyas ini? Aku tidak mengetahui
apa bahasa Arab dari kata ‘olab’ ini karena keterbatasanku dan kebodohanku.
Yang aku temukan adalah kata ‘al-li’ab’ [
اللعاب, iler], yaitu sesuatu yang keluar mengalir
dari mulut, sebagaimana tersebut dalam qaul mukhtar [pendapat terpilih
pada madzhab Syafi’i]. Yang aku minta dan aku harapkan dari Tuan-Tuan sekalian
adalah kiranya dapat berkenan menjawab pertanyaanku ini secepatnya, lalu dimuat
dalam edisi ke-14 majalah al-Imtitsal. Tak lupa aku menghaturkan juga ‘jaza’.

Terkirim surat ini dari orang yang
memuji Tuhannya yang Maha Agung, dan berucap syukur kepada-Nya atas terbitnya majalah
al-Imtisal, serta berdoa kepada-Nya agar menjaga dan menghidupkan majalah ini
sampai hari kelak.

Muhammad Syathibi, seorang pengajar
santri di Madrasah Kaum Sumedang)

* * *

“Al-Imtisal” adalah salah satu majalah
yang terkemuka di Tatar Sunda dan diterbitkan di Tasikmalaya oleh PGNT
(Perkumpulan Guru Ngaji Tasik Malaya). Majalah ini mulai terbit pada tahun 1925
dan berakhir pada tahun1940 dengan regulasi terbit 3 kali dalam sebulan.

Secara ideologis, corak pemikiran Islam
yang diusung oleh majalah “al-Imtisal” adalah tradisionalis (Aswaja).
Redakturnya terdiri dari para ulama Priangan Timur, di antaranya adalah R.H.M.
Saleh Memed (Kiai Babakan Soemedang, Tasikmalaja), H.M. Pachroerodji
(Soekalaja, Tasikmalaja), H.M. Soedja’i (Koedang, Tasikmalaja), H.M. Zarkasie
(Djajaway, Tasikmalaja), dan lain-lain.

Menariknya, majalah ini dipromotori
oleh bupati Tasikmalaya sendiri, yaitu R.A.A. Wiratanoeningrat. Pemimpin
redaksi dari majalah ini adalah R.H.M. Saleh (Memed) yang dikenal sebagai Kiai
Babakan Sumedang. Rumah beliau yang terdapat di Stationweg 41A, Tasikmalaya
sekaligus menjadi kantor redaksi dan administrasi majalah. Sekitar tahun
1940-an, kepemimpinan redaksi majalah Al-Imtisal dipegang oleh H.M. Zarkasie,
yang beralamat di Jajaway (dikenal juga dengan Kiyai Djadjaway).

Ajip Rosidi dalam “Masa Depan
Budaya Daerah: Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda”
(2004: 172) mengatakan
bahwa majalah “al-Imtitsal” di Tasikmalaya peredarannya luas hampir di seluruh
Tatar Sunda, terutama di pesantren-pesantren, tetapi dibaca juga oleh para
menak (bangsawan lokal Sunda). Majalah “al-Imtitsal” bisa dibandingkan dengan
majalah berbahasa Sunda lainnya, yaitu “Parahiangan”, yang terbit
dalam skala besar setiap minggu (terbit sejak 1929) dan menjadi bacaan wajib
kaum intelektual Sunda pada masa itu.

Dalam setiap nomornya, “al-Imtisal”
memuat rubrik yang cukup lengkap. Mulai tulisan yang membahas fiqih, tafsir
al-Qur’an, ruang untuk menjawab pertanyaan pembaca seputar agama Islam, ruang
untuk bacaan anak-anak, dan lain-lain. Dalam Ensiklopedi Sunda disebutkan,
bahwa sejak nomor pertama dimuat juga feuilleton (dongeng) Malik Sep bin
Diyazin yang baru tamat setelah 406 kali muat (1925-1938). Setelah dongeng
tersebut tamat, diganti dengan cerita Futuhusysyaam. Dalam setiap cerita yang
dimuat banyak petikan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dalam huruf Arab
disertai salinannya dalam Bahasa Sunda.

Selain “al-Imtisal”, surat kabar
keislaman lainnya yang terbit di Tasikmalaya pada kurun masa yang bersamaan
adalah “al-Mawa’idz: Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasik”. Sesuai dengan
sub-namanya yang tertera di sana, majalah “al-Mawa’idz” merupakan corong
informasi dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tasikmalaya. Majalah ini
terbit secara berkala setiap minggu mulai dari tahun 1933 hingga 1935. Di
antara ulama Tasikmalaya yang menggawangi penerbitan majalah “al-Mawa’idz” ini
adalah H.M. Fadhli (Cikotok), H. Sjabandi (Cilenga), H. Dahlan (Cicarulang), H.
Ruhiat (Cipasung), H. Jahja (Madiapada), H. Sjamsoedin (Gegernoong), H.O.
Qoljoubi (Madewangi), serta Kijai Koentet dari Garage.

Wallahu A’lam.

Bogor, Syawwal 1442 H/Mei 2021 H
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

 

Kontributor

  • A. Ginanjar Syaban

    Nama lengkapnya Dr. Ahmad Ginanjar Sya'ban, MA. Filolog Muda NU ini adalah pakar naskah Islam Nusantara. Sehari-hari menjadi dosen di UNU Jakarta, dan aktif menulis juga menerjemah buku-buku berbahasa Arab.