Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Kitab “Tasripan” dan Potret Pesantren di Tatar Sunda Akhir Abad 19 dalam Buku “Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”

Avatar photo
22
×

Kitab “Tasripan” dan Potret Pesantren di Tatar Sunda Akhir Abad 19 dalam Buku “Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”

Share this article

Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943)
tercatat sebagai salah seorang tokoh menak (bangsawan lokal) Sunda yang
memiliki reputasi karir kebangsawanan yang cemerlang. Ia pernah menjabat
sebagai bupati Serang, bupati Batavia dan juga anggota volksraad.

Ayah Achmad Djajadiningrat adalah Raden Adipati
Aria Natadiningrat, yang pernah menjabat sebagai bupati Pandeglang (m.
1849-1870). Adik Achmad, yaitu Hussein Djajadiningrat (1886-1960), tercatat
sebagai doktor pertama pribumi yang berhasil menamatkan pendidikannya di
Universitas Leiden di bawah bimbingan Prof. Snouck Hurgronje (w. 1936).

Seorang yang berasal dari trah “Djajadiningrat”
lainnya adalah Rd. Aboe Bakar Djajadiningrat (w. 1914), yang bekerja sebagai
informan dan penerjemah di kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Rd. Aboe Bakar
Djajadiningrat juga tercatat memiliki kedekatan khusus dengan Snouck Hurgronje,
ketika ia menjadi pengajar bahasa Melayu untuk Snouck saat baru tiba di Jeddah
pada tahun 1884. Rd. Aboe Bakar Djajadiningrat di kemudian hari pun menjadi
informan Snouck yang rutin memberikan laporan atas situasi Hijaz dan kehidupan
para ulama Nusantara di Makkah pada peralihan abad 19 dan 20 M.

Achmad Djajadiningrat menuliskan memoar perjalanan
hidupnya dalam bahasa Belanda berjudul “Herinneringen van Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat”. Memoar tersebut diterbitkan pada tahun 1936 di Batavia. Versi
terjemahan bahasa Indonesia dari memoar tersebut berjudul “Kenang-kenangan
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat” (Balai Pustaka, 1936), lalu “Memoar
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat” (Paguyuban Keturunan Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat, 1996).

Dalam memoar tersebut, Achmad Djajadiningrat
mengisahkan pengalaman didaktisnya yang ia dapatkan di masa remajanya saat
belajar di lembaga pendidikan Islam tradisional atau pesantren. Pada akhir
dekade 1880-an, Achmad belajar di Pesantren Karundang, salah satu pesantren tua
di wilayah Serang (Banten). Di pesantren tersebut, ia juga berkawan dengan Rd.
Moehammad Isa b. Rd. Asta Soetaningrat (1873-1940), yang di kemudian hari
menjadi penghulu besar Serang, lalu kepala pengadilan agama tinggi Batavia.

Di pesantren, Achmad yang merupakan anak seorang
menak pun menjalani kehidupan ala santri. Di sana ia mempelajari kitab-kitab
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam tingkat dasar, seperti fikih,
tauhid, dan tata bahasa Arab. Namun demikian, ketika baru saja sampai pada
pelajaran kitab “al-Âjjurûmiyyah” (dalam ilmu tata bahasa Arab), ia harus
pulang disebabkan sakit. Achmad mengatakan bahwa sebenarnya ia enggan untuk
meninggalkan pesantren karena hatinya sudah sangat terpaut dengan kehidupan di
dalamnya dan juga sangat menikmati akan ilmu-ilmu yang ia pelajari di sana.

Saat berada di rumahnya itu, ayah Achmad, Rd. Aria
Natadiningrat menerima surat dari kakaknya, yaitu Rd. Adipati Soetadiningrat,
agar memasukkan Achmad ke sekolah “Belanda” yang baru saja dibuka di
Pandeglang.

*
* *

Dalam buku memoar tersebut, Rd. Adipati Aria
Achmad Djajadiningrat juga banyak menyertakan foto-foto Pesantren Karundang
beserta dengan teks keterangan di bawahnya. Hal ini tentu sangat menarik,
karena di sana Achmad memberikan kepada kita gambaran yang hidup dan cukup utuh
terkait potret kehidupan pesantren di Tatar Sunda pada masa peralihan akhir
abad 19 dan awal abad 20.

Misalnya, terdapat foto bangunan pesantren dengan
keterangan “En pondok van de pasantren te Karoendang. In mijn tijd was het
gebouw van bamboe, thans is het van steen, alleen de dakbedekking is nog steeds
van atap (Bangunan pondok di pasantren Karoendang. Dulu bangunannya terbuat
dari bahan bambu, sekarang dari batu, hanya atapnya saja yang masih terbuat
dari “atap” [injuk])”.

Terdapat juga foto yang menggambarkan suasana
sungai yang airnya jernih dan mengalir di samping pesantren. Di sungai itulah
para santri berwudhu dan juga membersihkan diri. Tertulis keterangan pada foto
tersebut: “Het beekje bij de pasantren van Karoendang, waar de santri’s zich
vijfmaal daags ritueel wasschen (Sungai di pasantren Karoendang, tempat para
santri membasuh diri untuk ritual [shalat] lima kali sehari)”.

Foto-foto lainnya mengambarkan suasana masjid
pesantren yang tampak teduh dan bersahaja, dengan bahan bangunan tembok dan
kayu, serta halamannya yang luas dan rindang penuh pepohonan. Terdapat pula
foto dua orang anak santri yang memakai baju khas anak pesantren yang disebut
oleh Achmad dengan baju “sangsang”, serta foto seorang ajengan yang sedang
memberikan pengajian kitab kepada para santri di teras halaman masjid dengan
metode pelajaran yang disebut “sorogan”.

Terkait suasana pengajian “sorogan” itu, Achmad
memberikan keterangan: “Een goeroe bezig kitabonderwijs te geven Deze wijze van
lesgeven heet sorogan. Zijn bibliotheek, waaruit hij z’n geleerdheid put, ligt
gewoonlijk op den mimbar, op den achtergrond zichtbaar. Voor deze gelegenheid
heft hij die bibliotheek naast zich gelegd (Seorang guru yang mengajar membaca
kitab. Cara mengajar ini disebut ‘sorogan’. Perpustakaannya, di mana beliau
memperoleh ilmunya, biasanya diletakkan di atas mimbar, tampak di belakang. Hanya
untuk kesempatan ini perpustakaannya diletakkan di sebelahnya)”. 

Selain itu, terdapat pula foto halaman manuskrip
al-Qur’an yang disebut berasal dari Keraton Banten, juga foto rak kayu berukir
yang menjadi tempat penyangga al-Qur’an ketika ia dibaca. Hal menarik lainnya
adalah sebuah foto yang bertuliskan keterangan “Schrijfgerei van den santri
(alat tulis santri)”. Apa yang disebut dengan “alat tulis santri” itu adalah
berupa pena dan balok wadah tintanya, juga sebuah papan kayu seukuran lembar kertas
besar yang kemudian diberi benang bergaris (“mistharah”/penggaris). Saat akan
menulis atau menyalin sebuah kitab, seorang santri akan meletakkan selembar
kertas di balik benang “mistharah” itu. Fungsi dari benang bergaris itu, selain
sebagai pembatas kolom teks pada halaman, adalah juga agar ukuran aksara dan
baris tulisan yang dibuat oleh penulisnya tampak rapi dan seirama di setiap
halamannya. Tidak berantakan dan “mobat-mabit”.

Di sini, Rd. Adipati Aria Achmad Djajadiningrat
memperlihatkan lembar halaman kedua dari manuskrip kitab yang disalinnya saat
di pesantren. Ia menuliskan keterangan atas lembar halaman kitab tersebut
dengan “Een bladzijde uit mijn tweede kitab in de pasantren (Halaman kedua dari
kitab saya di pesantren)”. Kitab tersebut berisi kajian bidang ilmu morfologi
Arab (ilmu sharaf/tasripan), salah satu bagian dari ilmu tata bahasa Arab. Di
sana tampak baris-baris teks berbahasa Arab dengan terjemahannya berbahasa Jawa
Pegon. Tulisan aksara Arab Achmad pun tampak sangat rapi.

Tertulis di sana:

تصريفان

بسم الله الرحمن الرحيم

باب أول: فعَل يفعُل فَعْلًا فهو فَاعِلٌ وَذاكَ مَفْعُوْلٌ
اُفْعُلْ لَا تَفْعُلْ مَفْعَلٌ مَفْعَلٌ مِفْعَلٌ. موزوني تݢسي بانديڠاني

نصَر ينصُر نَصْرًا فهو نَاصِرٌ وَذاكَ مَنْصُوْرٌ اُنْصُرْ
لَاتَنْصُرْ مَنْصَرٌ مَنْصَرٌ مِنْصَرٌ

*
* *

Kitab “Tasripan” sebagaimana yang disalin oleh Rd.
Adipati Aria Achmad Djajadiningrat di atas, merupakan salah satu mata pelajaran
wajib yang dipelajari di pesantren-pesantren Tatar Sunda dan di Nusantara
secara lebih luas pada masa itu. Pada tahun 1886, Bupati Lebak Rd. S.
Soerianataningrat menerima laporan dari Penghulu Landraad Lebak, Mas Hadji
Muhammad Ismail, yang berisi daftar sejumlah kitab yang dipelajari di
pesantren-pesantren di Tatar Sunda untuk tingkat pemula. Studi dimulai dengan
kitab dasar “Alip-alipan”, lalu “Turutan” dan “al-Qur’an”, lalu “Sittin”,
“Tasripan”, “Amil”, “Jurumiyah” dan “Syarah Sittin” (Laffan, 2003: 163).

Seorang bangsawan Sunda lainnya yang menuliskan
pengalaman didaktisnya ketika belajar di pesantren adalah Rd. Haji Hasan
Mustapa (1852-1930), tokoh besar pujangga Sunda modern yang juga pernah
menjabat sebagai Hoofd Penghulu (Penghulu Besar) Bandung. Mustapa menuliskan pengembaraan
intelektual pesantrennya dalam naskah “Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit”, yang
saat ini menjadi koleksi  Perpustakaan
Universitas (Universsiteitsbibliotheek/ UB) Leiden, Belanda dengan nomor kode
Or. 7876. Jajang A. Rohmana telah mengkaji naskah tersebut dalam artikelnya
yang berjudul “Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit : Pengalaman Didaktis
Kepesantrenan Haji Hasan Mustapa (1852-1930)” (dimuat dalam jurnal “Jumantara”,
edisi Vol. 4 No. 2 – Oktober 2013).

Wallahu A’lam

Ciheulang Girang, Dzulhijjah 1442 H/Juli 2020

Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

Kontributor

  • A. Ginanjar Syaban

    Nama lengkapnya Dr. Ahmad Ginanjar Sya'ban, MA. Filolog Muda NU ini adalah pakar naskah Islam Nusantara. Sehari-hari menjadi dosen di UNU Jakarta, dan aktif menulis juga menerjemah buku-buku berbahasa Arab.