Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki berbagai keragaman baik budaya, ras, golongan, bahkan agama. Agama menjadi faktor paling penting sebagai identitas dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia.
Secara resmi Indonesia mengakui enam agama yang berbeda dimulai dari Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun dengan adanya suatu kemajemukan ini, terkadang menimbulkan polemik tertentu yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Semisalnya polemik yang tiada habisnya ketika memasuki bulan Desember atau pada akhir Desember. Pada bulan Desember ini kerap menjadi perdebatan khususnya di media sosial terkait hukum mengucapkan selamat Natal. Karena pada tanggal 25 Desember umat Kristiani melangsungkan hari raya Natal dan pada saat yang sama, sejumlah agama lain biasanya menghargai dengan menyampaikan ucapan. Terkait hal tersebut sebagian dari umat Islam masih menjadi perdebatan pro-kontra bahkan bersitegang terkait pengucapan selamat Natal kepada umat Kristiani.
Hukum Mengucapkan Selamat Natal Dalam Islam
Sebelum lebih jauh alangkah baiknya kita melihat ragam pendapat ulama dalam melihat fenomena ini. Para ulama sendiri masih berbeda pendapat (ikhtilaf) dan terbagi menjadi dua kelompok dalam menanggapi fenomena tersebut.
Dua kelompok tersebut terdiri dari ulama yang membolehkan dan ulama yang mengharamkan (melarang), masing-masing kubu ini memiliki argumentasi dan dalil untuk mengukuhkan pendapatnya. Perbedaan pendapat tersebut muncul dikarenakan tidak adanya ayat al-Qur’an atau Hadis yang secara spesifik menerangkan hukumnya, oleh karena itu para ulama memasukkan hal ini dalam kategori persoalan ijtihadi.
1. Ulama yang membolehkan
Sebagian kelompok ulama meliputi Syekh Yusuf Qardhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Musthafa Zarqa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya yang membolehkan ucapan selamat atas hari besar umat beragama lain berpedoman pada al-Qur’an Surat al-Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik kepada siapa saja selagi tidak memerangi dan mengusirnya.
Bagi ulama yang membolehkan mereka berargumen bahwa mengucapkan selamat hari raya Natal kepada umat Kristiani dinilai sebagai salah satu perbuatan baik kepada non muslim, dengan demikian mereka beranggapan bahwa hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim dihukumi boleh.
Kelompok ini juga berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal atau hari raya kepada non muslim bukan berarti mengakui apa yang dipercaya mereka, namun lebih pada bentuk penghormatan atau toleransi dalam bermasyarakat dan menjaga kerukunan bersama.
Selain itu mereka juga berpegang pada hadis Nabi yang diriwayatkan Anas bin Malik “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani Nabi Saw. kemudian ia sakit. Maka Nabi mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: Masuk Islamlah. Anak Yahudi tersebut melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata: Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad Saw.). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi keluar seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari Neraka (HR. Bukhari, nomor: 1356 dan 5657).” Menanggapi hal ini Ibnu Hajar berkata: Hadis ini menjelaskan bolehnya menjadikan non muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari juz 3, halaman: 586).
Berdasarkan hadis di atas Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non muslim yang tidak menyakiti mereka, demikian dengan mengucapkan selamat hari raya Natal kepada umat Kristiani juga merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan.
2. Ulama yang mengharamkan (melarang)
Di sisi lain terdapat ulama yang melarang bahkan mengharamkan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani pendapat ini diutarakan oleh Ibnu, Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Syekh Abdul Aziz Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far at-Thalhawi. Para ulama berpedoman pada beberapa dalil, salah satunya adalah al-Qur’an Surat al-Furqan ayat 72:
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.
Kelompok ulama ini menafsirkan ayat di atas bahwa ciri orang yang akan mendapatkan martabat tinggi di surga adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sementara orang muslim yang memberikan ucapan selamat Natal pada kepada umat Kristiani dianggap sama dengan memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat non muslim tentang hari rayanya. Sebagai konsekuensinya, dia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga, atas dasar itulah mereka mengharamkan ucapan selamat atas hari raya non muslim.
Ulama yang berpendapat melarang mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani juga berpedoman pada kepada hadis Nabi untuk menguatkan argumentasinya, hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut (HR. Abu Daud, nomor :4031).”
Hadis ini sangat populer dipakai oleh sekelompok umat Islam untuk mengkafirkan umat Islam lainnya hanya karena mereka dianggap menyerupai non muslim. Menurut ulama yang mengharamkan ucapan selamat Natal, seorang muslim yang memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani, maka ia dihukumi termasuk dari kaum tersebut. Bahkan mereka juga beranggapan bahwa seorang muslim yang mengucapkan selamat hari Natal dianggap ikut serta dalam menyiarkan ajaran orang-orang kafir, padahal Allah tidak meridhai para hambanya yang kafir.
Sebagai Muslim Harus Bersikap Toleransi atau Intoleransi
Sebagai orang muslim mungkin akan muncul persepsi harus bersikap toleransi atau justru intoleransi kepada umat Kristiani menjelang perayaan Natal. Berdasarkan ketetapan ulama yang sifatnya masih ijtihadi, maka hukum memberi ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani tidak lantas secara mutlak haram, dan tidak juga secara mutlak boleh.
Perbedaan situasi atau keadaan membuat setiap orang muslim tidak bisa diseragamkan hukumnya dalam hal mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.
Misalnya seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada seseorang yang memiliki kedekatan dengannya ibarat hubungan saudara atau partner bisnis sebagai bentuk penghormatan karena mereka juga menghormati Islam, juga diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari segi akhlak.
Maka hal itu boleh-boleh saja sebagai bentuk toleransi sepanjang tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan ajaran akidah Islamiyah seperti mengikuti rangkaian kegiatan Natal. Namun dalam situasi dan keadaan sebaliknya, hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani bisa menjadi haram.
Dari pemaparan di atas, umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Yang perlu digarisbawahi dan menjadi titik fokusnya adalah jangan sampai adanya perbedaan pendapat tersebut menjadi penyulut intoleransi apalagi perpecahan, konflik di dalam tubuh umat Islam karena hal ini bersifat ijtihadi.
Alangkah baiknya kalau kita saling menghormati dengan pilihan masing-masing, tanpa harus memaksakan pendapat kita kepada orang lain. Intinya bagi mereka yang ingin mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani diperbolehkan sepanjang tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan ajaran akidah Islamiyah. Dan bagi mereka yang mengharamkan mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Kristiani juga dipersilahkan dengan catatan jangan sampai menyulut perpecahan atau konflik dalam umat beragama. Wallahu a’lam.