Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Menyemai makna moderasi beragama dalam masyarakat multikultural

Avatar photo
61
×

Menyemai makna moderasi beragama dalam masyarakat multikultural

Share this article

Sudah mafhum, bahwa secara sosial dan politik, Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mengembangkan gagasan moderasi beragama. Sekurang-kurangnya, ada tiga prinsip dasar negara yang diadopsi oleh negara kita. Dan, inilah yang sangat memungkinkan tumbuhnya watak moderat masyarakatnya dalam berbangsa, bernegara, dan beragama.

Pertama, kita tahu bukan Indonesia bukanlah negara sekuler, teokratis atau agama, tetapi negara kebangsaan yang berketuhanan atau beragama. Disebut sebagai negara agama jika negara tersebut memberlakukan hukum satu agama sebagai hukum nasional.

Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang religius tidak memberlakukan hukum agama tertentu. Negara Indonesia juga bukan negara sekuler. Sebab, Indonesia tidak memisahkan sepenuhnya urusan negara dengan urusan agama.

Kedua, negara (Indonesia) berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan beragama yang lapang dan bertanggungjawab. Beragama adalah menjadikan suatu ajaran agama sebagai jalan dan pedoman hidup berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang benar.

Karena bersumber dari keyakinan diri, maka yang paling menentukan keberagamaan seseorang adalah hati nurani. Karena itu, agama adalah urusan paling pribadi. Apakah seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama atau tidak, ditentukan oleh keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya pun ditanggung secara pribadi.

Kemudian ketiga, Negara melindungi kebinekaan atau keragaman (heterogenitas) dalam agama, budaya dan ras. Jaminan negara atas kemajemukan di masyarakat, menjadi medium yang baik bagi tumbuhnya moderasi beragama.

Dengan demikian, setiap pemeluk agama dapat mengekspresikan keberagamaan tanpa harus khawatir mendapat tekanan dari pemeluk lainnya. Terlebih, memberikan penghargaan atas ekspresi keberagamaan pemeluk lainnya. Inilah ekspresi moderasi beragama yang konkret terjadi masyarakat.

Jalan dan ekspresi moderasi

Secara substantif moderasi beragama sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi bangsa kita. Sebab, masyarakat Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang cukup mengakar. Kita biasa bertenggang rasa, toleran, menghormati persaudaraan, dan menghargai keragaman. Nilai-nilai fundamental seperti itulah yang menjadi fondasi dan filosofi masyarakat di Nusantara dalam menjalani moderasi beragama. Nilai itu ada di semua agama karena semua agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sama.

Tentunya, moderasi harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka.

Dari sini sudah jelas, bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa. Sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain yang berbeda dengan kita.

Syahdan, ada yang mengatakan bahwa moderasi adalah sesuatu yang mengantarkan pelakunya untuk melakukan aktivitas yang tidak melanggar ketentuan atau norma-norma yang berlaku. Akan tetapi definisi seperti ini terlihat pasif. Sebab, ia tidak berkata “mengantarkan seseorang melakukan hal-hal yang positif”, tetapi di sini sudah moderat namanya kalau kita tidak melakukan yang negatif.

Tentu saja, pengertian ini tidak sejalan dengan pandangan agama Islam, karena Islam menuntut bukan hanya sekedar menghindar dari yang negatif, melainkan juga harus melakukan hal-hal yang positif. Pendek kata kita dituntut untuk iman dan beramal saleh.

Sebagian ada lagi yang mengartikan bahwa moderat adalah sebuah jalan tengah. Pelakunya dinamai penengah. Tetapi berada di tengah-tengah tidak selalu itu yang terbaik. Lagi-lagi hal yang seperti ini masih kabur dalam konteks penjelasan makna moderasi.

Kalau kita merujuk ke dalam al-Qur’an, ada banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan tuntunan Islam berkaitan dengan upaya untuk mencari titik temu, dalam hal ini al-wasathiyyah. Salah satunya adalah surah Al-Baqarah [2]: 143: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Lalu apa makna dari al-Wasathiyyah?

Ada sebagian ulama yang langsung mengambil arti al-wasathiyyah dengan “sesuatu yang berada di tengah dua ujung, dan sesuatu itu bagian dari keduanya”. Ulama lain mengatakan bahwa al-wasathiyyah adalah as-shirath al-mustaqim. Kenapa demikian? Karena dikatakan dalam surah Al-Baqarah “kadzalika” menunjuk kepada “sesuatu yang sebelumnya, yang inti pembicaraannya adalah as-shirath al-mustaqim”.

Kita tahu, kata as-shirath memiliki makna “jalan lebar”, sementara al-mustaqim bermakna “lurus”. Berarti yang menempuh as-shirath al-mustaqim adalah mereka yang menempuh jalan yang lebar. Dan, jalan yang lebar itu dinamakan as-shirath (dari kata saratha) yang berarti menelan seakan-akan yang berjalan di jalan itu sedemikian kecil, sehingga dapat ditelan oleh jalan. Mereka tidak berdesak-desakan. Mereka bisa berjalan seiringan walaupun berbeda-beda.

Kita hidup dalam negara yang multikultural. Ada banyak budaya kita yang berbeda-beda, tetapi semua bisa ditampung bagi yang melaksanakan moderasi (al-washatiyyah). Kita tidak perlu bertengkar karena semua jalan bisa mengantarkan kita ke surga Allah Swt.

Ini sudah dijelaskan oleh al-Qur’an surah Al-Maidah [5]: 16 yang artinya: “Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang memngikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya dan menunjukkan ke jalan yang lurus.”

Prof. Quraish Shihab mengatakan, kita tidak perlu bertengkar karena jalan yang lebar itu sudah pasti penuh dengan kedamaian-kedamaian. Dan hal demikianlah yang bisa mengantarkan Islam ke as-shirath al-mustaqim. Sekalipun umat Islam berbeda-beda, tetapi semuanya jika mau berjalan di jalan as-shirath al-mustaqim, maka harus menulusuri jalan yang berbeda-beda tetapi tetap harus di warnai oleh kedamaian.

Masih dalam konteks moderasi. Ada istilah lain yaitu as-sadad yang bermakna “tepat”. Dalam hal ini bukan hanya sekedar benar, tetapi tepat waktunya tepat caranya, kandungannya, dan sasarannya. Adalah mencari apa yang benar dan melakukannya di tempat dan waktu yang benar. Inilah sebenarnya makna kebahasaan dari wasathiyyah yang bisa diterjemahkan ke dalam konteks moderasi.

Berbeda halnya kalau kita meninjau secara definisi. Menurut Quraish Shihab, konteks wasathiyyah secara definisi hampir tidak ditemukan. Sekalipun ditemukan, akan tetapi masih belum bisa menghimpun segala sesuatu yang berkaitan dengan wasathiyyah (belum jami’ mani’), terlebih lagi belum bisa mengeluarkan apa yang tidak berkaitan dengan wasathiyyah.

Jika ditelaah lebih jauh, lanjut Quraish Shihab, sebenarnya kita tidak harus berkata bahwa wasathiyyah adalah Islam, karena Islam sendiri adalah wasathiyyah. Dan, apa yang dilakukan Nabi dan para sahabat itulah Islam, dan itulah wasathiyyah. Dengan demikian, teladanilah Nabi dan para sahabatnya karena kamu akan menjadi orang yang moderat. Lakukankah moderasi karena kamu akan menjadi muslim yang baik.

Catatan pinggir

Sikap moderat pada dasarnya merupakan keadaan yang dinamis, selalu bergerak, karena moderasi pada dasarnya merupakan proses pergumulan terus-menerus yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Moderasi dan sikap moderat dalam beragama selalu berkontestasi dengan nilai­-nilai yang ada di kanan dan kirinya. Karena itu, mengukur moderasi beragama harus bisa menggambarkan bagaimana kontestasi dan pergumulan nilai itu terjadi.

Penting dicatat, bahwa salah satu ciri awal konservatisme seseorang dalam beragama adalah bahwa ia memiliki pandangan, sikap, dan perilaku fanatik terhadap satu tafsir keagamaan saja, seraya menolak pandangan lain yang berbeda, meski ia mengetahui adanya pandangan tersebut.

Lebih dari sekadar menolak, seorang yang ultra konservatif lebih jauh akan mengecam dan berusaha melenyapkan kehadiran pandangan orang lain yang berbeda tersebut. Karena baginya, cara pandang hitam putih dalam beragama lebih memberikan keyakinan ketimbang menerima keragaman tafsir yang dianggap menimbulkan kegamangan.

Itu sebabnya, mereka meski jumlahnya minoritas, seorang ultra konservatif yang ekstrem umumnya pasti lebih nyaring-keras dan lebih mampu menarik perhatian publik, ketimbang seorang moderat, yang cenderung diam dan reflektif. Bahwa kemenangan kaum ekstremis bukan karena jumlahnya yang sangat besar, melainkan karena banyaknya kaum moderat mayoritas yang lebih memilih diam. Wallahu a’lam bisshawab.

 

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.