Selain menguasai keilmuan yang begitu
dalam, para
ulama biasanya juga sangat asik dalam bermunajat dengan Tuhannya. Caranya
pun berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang bermunajat dalam shalatnya, ada
yang sibuk dengan bacaan Al-Qur’an, ada juga yang terlena dengan muthala’ah
kitab para pendahulunya.
Jejak ibadah mereka banyak tertulis
dalam literasi para ulama, diabadikan dengan tujuan penerusnya dapat mengambil
pelajaran akan perjuangan mereka dalam berkhidmat. Riwayat-riwayat ulama yang
asik beribadah antara lain:
Rabi’ bin Sulaiman berkata: Guruku Imam
asy-Syafi’i
mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan semuanya dibaca
dalam shalat.
Imam al-Humaidi berkata: Pada hari biasa, Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan
Al-Qur’an 1 kali dalam satu hari.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, anaknya
Imam Ahmad berkata: Ayahku setiap malam shalat sebanyak 300 rakaat, dan pada
hari-hari beliau terkena fitnah tentang Al-Qur’an yang mana beliau dicambuk
setiap harinya, beliau tambahkan jumlah rakaat shalatnya.
Yahya bin aktsam berkata: Aku menemani
Imam Waki’ bin Jarrah al-Kufi (salah satu murid dari Imam Hanifah dan guru dari
Imam Ahmad bin Hanbal) setiap harinya, dan aku mendapati beliau puasa setiap
hari, dan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malamnya.
Juga kisah Imam
Abu Muhammad Abdullah bin Idris al-Kufi (W. 193 H), yang mana Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim
bahwa beliau disepakati keimamannya sekaligus keagungannya dalam keilmuan.
Ketika Imam Abu Muhammad Abdullah bin Idris al-Kufi dalam keadaan sekarat, anak
perempuannya menangis. Beliau berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, janganlah
menangis. Sesungguhnya aku sudah mengkhatamkan
Al-Qur’an sebanyak 4000 kali di rumah ini.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqlani dalam
kitab Tahzib at-Tahzib berkata: Imam Abu Muhammad Abdullah berpuasa
selama 70 tahun dan selalu menghidupkan malamnya dengan ibadah, dan beliau
tidak dikenal tidur ketika malam hari.
Selain ibadah yang jumlahnya diatas
rata-rata, soal membaca dan belajar pun tak bisa dipandang sebelah mata,
misalnya:
Sayyid Abu Bakar bin Ahmad (W. 1053
H) mengkhatamkan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali selama 10
hari.
Syekh Majd ad-Din asy-Syirazi (W. 817
H), pengarang al-Qamus
al-Muhith mengkhatamkan Shahih Muslim dalam 3 hari.
Imam Ahmad bin Muhammad al-Qastalani
(W. 923 H),
pengarang kitab Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari
yang makamnya berada di belakang
al-Azhar mengkhatamkan Shahih al-Bukhari
dalam 5 majlis.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 852 H)
pengarang Fath al-Bari, mengkhatamkan Sunan Ibnu Majah dalam 4
majlis, begitu juga Shahih
Muslim yang beliau khatamkan dalam 10 majlis.
Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani (W. 973
H) bercerita tentang dirinya dalam kitab al-Yawaqith bahwa beliau
mengulang kitab al-Futuhat (10 jilid tebal) satu hari sebanyak 2 kali.
Imam Yafi’i (W. 768 H) juga pernah bercerita
tentang dirinya, bahwa ia di beberapa malam asyik mengulang pelajar
hingga Subuh dan tidak merasa
bosan sama sekali.
***
Mendengar kisah-kisah ini, sebagian
masyarakat tentu ada yang bertanya: “Apakah ini semua benar adanya?, Lalu
bagaimana dengan ibadah yang tidak masuk akal jumlahnya, seperti mengkhatamkan
Al-Qur’an 8 kali dalam satu hari?
Imam Abdul Hay al-Laknawi menjawab
dengan 3 jawaban:
1. Bahwa cerita ini kebanyakan
diriwayatkan oleh Abu Nua’im dalam kitab Hilyah
al-Auliya, dan beliau mencantumkan sanad dalam
cerita tersebut.
2. Para pembawa cerita ini, semuanya
adalah ulama-ulama yang terpercaya. Ulama-ulama yang menjadi rujukan dalam
masalah-masalah agama. Semisal Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Nua’im, Imam as-Suyuthi, apakah
mungkin mereka berbohong?!
3. Ibadah-ibadah yang jumlahnya tak
masuk akal, memang sulit digambarkan oleh orang awam. Namun, jumlah itu sudah
menjadi hal yang biasa bagi mereka yang dekat dengan Allah. Karena Allah
memberikan mereka sebuah daya yang dapat membuat mereka mampu melakukan hal
yang dijangkau oleh orang biasa.
Lihat kitab Iqamah al-Hujjah
karya Imam Abdul Hay al-Laknawi,
hal 101-103.
Asal dari semua ini adalah kekuatan
yang diberikan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya hingga mampu melakukan apa
yang tak mampu dilakukan kebanyakan orang. Hingga timbul rasa nikmat ketika
ibadah ataupun belajar.
Semisal Imam adz-Dzahabi ataupun Ibnu
Hajar yang memiliki banyak karya-karya yang sampai hingga masa ini, semisal
mereka tidak pernah membiarkan waktu mereka terbuang kecuali untuk belajar dan
berkarya.
Walhasil, ibadah sebanyak apapun tidak
masalah jika masih dalam batas kemampuan dan tidak memaksakan diri. Karena
sejatinya setiap orang memiliki keadaan yang berbeda. Ada yang asik dalam
shalatnya, ada pula yang asik dengan Al-Qur’annya. Masing-masing memiliki jalan
dalam memperbanyak ibadah, jadi jangan merasa paling ahli ibadah.
***
Jika ada yang bertanya, “Rasulullah
kan sebaik-baiknya manusia dan memiliki jiwa yang paling sempurna, beliau juga
mampu melakukan ibadah yang orang biasa tak mampu melakukannya. Tapi,
Rasulullah tidak beribadah sebanyak mereka yang disebutkan di atas itu?”
Imam Abdul Hay al-Laknawi menjawab:
Kita sepakat bahwa Rasulullah mampu
beribadah yang orang biasa tak mampu melakukannya. Namun, beliau tidak melakukan
ibadah yang begitu banyak sebagai bentuk sayangnya kepada umat. Sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
ليدع العمل و هو يحب أن يعمل به خشية أن يعمل به الناس فيفرض عليهم
“Rasulullah
meninggalkan sebuah amal sedangkan beliau sangat ingin melakukannya melainkan
karena takut para manusia akan mengikutinya dan akhirnya akan diwajibkan kepada
mereka.”
(HR. Bukhari dan Abu Daud)
***
Adapun untuk orang awam seperti kita,
lebih baik melakukan ibadah yang sekiranya dapat kita istiqamahkan sehari-hari.
Karena sebaik-baiknya ibadah yang bersifat terus–menerus. Juga waktunya disesuaikan
dengan kegiatan, atau pekerjaan sehari-hari. Dengan sekiranya tidak menggangu
pekerjaan yang wajib, atau justru memberatkan diri sendiri.
Ringkasannya, memperbanyak ibadah
sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama mulai dari bangun malam hari,
mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu yang singkat, shalat sunnah ratusan rakaat,
dan mujahadah lain-lainnya merupakan hal yang baik dan tidak dilarang dalam
agama dengan beberapa syarat.
Imam Abdul Hay al-Laknawi menyebutkan
10 syarat dalam kitab Iqamah al-Hujjah, namun penulis sebutkan beberapa
di antaranya sebagai berikut:
1. Ibadah yang dilakukan tidak
menghasilkan rasa bosan, yang membuat jiwa tidak dapat merasakan nikmat.
2. Tidak memberatkan diri sendiri.
Sesuai dengan hadits riwayat Imam
al-Bukhari: “Hendaknya
kalian beribadah sesuai dengan kemampuan kalian.”
3. Ibadahnya tidak menggangu hal yang
lebih penting. Misalnya orang yang memaksakan diri untuk bangun malam, namun
shalat Subuhnya tertinggal.
Maka untuk orang ini lebih baik tidak usah bangun malam, namun lebih baik
mementingkan hal yang wajib seperti shalat subuh.
4. Tidak melalaikan hak-hak syar’i.
Seperti hak istri dan anak yang harus dinafkahi. Jika ibadahnya membuat ia
tidak bekerja, sehingga melalaikan hak istri, maka lebih baik ia tinggalkan.
5. Tidak mewajibkan apa yang tidak
diwajibkan, dan tidak mengharamkan apa yang tidak diharamkan.
6. Menunaikan rukun-rukun ibadah dan
adabnya dengan baik. Maka tidak boleh melaksanakan shalat dengan tergesa-gesa
sehingga hilang inti dari shalat tersebut, atau membaca Al-Qur’an namun tanpa
tadabbur dan tartil.
7. Tidak menggangu orang lain. Semisal
orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang lantang hingga mengganggu tidur
orang lain.
Jika syarat-syarat di atas terpenuhi, maka
boleh bagi seorang hamba untuk memperbanyak ibadahnya. Namun jika tidak, maka
ibadah yang wajib ditambah dengan beberapa sunnah yang biasa orang lakukan
lebih baik untuknya.
Diringkas dari beberapa bagian dari
kitab Iqamah al-Hujjah ‘ala Anna al-Iktsar fi at-Ta’abbud Lima min al-Bid’ah (PDF) karya Imam Muhammad bin
Abdul Hayy al-Laknawi.