Tarekat Qadiriah
Naqsyabandiah (TQN) terhitung sebagai salah satu tarekat dengan jumlah pengikut
yang banyak dan peta persebaran yang luas di kawasan kepulauan Nusantara.
TQN ini diinisiasi
pada pertengahan abad ke-19 M oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1875),
seorang ulama sufi asal Nusantara yang berkedudukan di Makkah.
Adapun TQN merupakan
penggabungan dua aliran tarekat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu
Qadiriah (dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, w. 1166) dan
Naqsyabandiah (dinisbatkan kepada Syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandi, w. 1389).
Syaikh Ahmad Khatib
Sambas memiliki beberapa orang murid sekaligus khalifahnya dalam tarekat yang
diinisiasinya itu, yang dalam sejarah perkembangannya memainkan peran penting
dalam persebaran tarekat tersebut.
Di antara murid Syaikh
Ahmad Khatib adalah Syaikh Abdul Karim Banten yang berkedudukan di Makkah,
Syaikh Thalhah Kalisapu Cirebon (Jawa Barat), Syaikh Hasbullah Madura, Syaikh
Nuruddin Tekarang (Sambas), Syaikh Sa’ad Selakau (Kalimantan Barat), Syaikh
Muhammad Garut di Jabal Abu Qubays (Makkah), Syaikh Abdurrahman Bali (yang
menghimpun risalah Fath al-‘Ârifîn berisi ajaran Syaikh Ahmad Khatib
Sambas dan manual TQN), juga Syaikh Marzuqi Banten.
Rata-rata silsilah TQN
yang berkembang di Nusantara saat ini berasal dari tiga jalur periwayatan yang
masyhur, yaitu jalur Syaikh Abdul Karim Banten, jalur Syaikh Thalhah Kalisapu
Cirebon, dan jalur Syaikh Hasbullah Madura.
Terdapat dua jalur
lain yang kemudian menurunkan silsilah secara terbatas di wilayah Sambas,
kampung asal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, yaitu melalui periwayatan Syaikh
Nuruddin Tekarang dan Syaikh Sa’ad Selakau.
Ternyata, didapati juga
periwayatan silsilah TQN yang berasal dari jalur murid Syaikh Ahmad Khatib
Sambas yang lain, yaitu Syaikh Marzuqi Banten (w. 1913).
Silsilah ini
sebagaimana saya jumpai pada manuskrip peninggalan KH. Muhammad b. Dahlan b.
Kholil, seorang ulama ahli ilmu Qira’at al-Qur’an asal Peterongan (Jombang)
yang kemudian bermukim di Keraton (Pasuruan).
Manuskrip tersebut
ditulis dalam bahasa Arab, tediri dari dua halaman, di atas media tulis kertas
buku “leces”. Dalam titimangsa, diinformasikan jika manuskrip silsilah TQN ini
ditulis oleh KH. Muhammad b. Dahlan b. Kholil pada hari Selasa bakda Zuhur, 14
Muharram 1397 Hijri, atau 4 Januari 1977 Masehi, bertempat di Masjidil Haram di
kota Makkah. Saat ini, manuskrip tersimpan pada KH. Imam Suhrawardi, sahabat saya
yang juga putra KH. Muhammad di Keraton, Pasuruan.
Dalam manuskrip,
disebutkan jika KH. Muhammad mengambil Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah dari
Syaikh Muhammad Siajuddin b. Abdullah b. Abdul Qahhar (Makkah), beliau
mengambilnya dari Syaikh Abdul Hamid al-Muqri (Makkah), beliau mengambilnya
dari Syaikh Arsyidin Banten (Makkah), beliau mengambilnya dari Syaikh Marzuqi
Banten (Makkah), beliau mengambilnya dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas (Makkah),
dan seterusnya hingga bersambung kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
kepada Rasulullah SAW.
Tertulis di sana:
أما بعد. أخذت هذه طريقة القادرية والنقشبندية عن الشيخ العالم
الحاج محمد سراج الدين بن الحاج عبد الله بن عبد القهار، عن شيخه الشيخ عبد الحميد
محمد المقرئ، عن شيخه الشيخ أرشدين، عن شيخه مرزوق، عن شيخه أحمد خطيب شمباس …
(Ammâ ba’du. Saya
mengambil Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah ini dari Syaikh yang alim, Haji
Muhammad Sirajuddin b. Abdullah b. Abdul Qahhar, beliau mengambil dari gurunya
Syaikh Abdul Hamid Muhammad al-Muqri, beliau mengambil dari gurunya Syaikh
Arsyidin [al-Bantani], beliau mengambil dari gurunya Syaikh Marzuqi
[al-Bantani], beliau mengambil dari gurunya Syaikh Ahmad Khatib Sambas, …)
Adapun titimangsa
penulisan, tercantum di sana:
يوم الثلاثاء، 14 محرم 1397 هـ 4 جناير 1977 م في مسجد الحرام مكة
المكرمة بعد الظهر
(Hari Selasa, 14
Muharram 1397 H, 4 Januari 1977 M, di Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah,
setelah Zuhur)
* * *
Siapakah gerangan
sosok Syaikh Marzuqi Banten yang disebut dalam silsilah ini sebagai murid dari
Syaikh Ahmad Khatib Sambas itu?
Selintas informasi
mengenai biografi Syaikh Marzuqi Banten terdapat dalam kitab “Nasyr al-Nûr wa
al-Zuhr” (vo. II, hal. 441). Di sana, Syaikh Marzuqi Banten disebut dengan nama
“Marzûqî al-Jâwî al-Syâfi’î, sebagai seorang al-mujâwir (pemukim) di Makkah
al-Mukarramah yang telah tinggal dan menetap di kota suci itu selama lima puluh
tahun.
Ia adalah murid dari
Syaikh ‘Umar al-Syâmî dan Syaikh Hasbullâh al-Makkî. Syaikh Hasbullâh-lah yang
memberinya kredensi dan rekomendasi untuk dapat mengajar di Masjidil Haram.
Forum kuliah pengajiannya banyak dipenuhi oleh para pelajar dari pelbagai
wilayah Nusantara. Ia adalah seorang yang alim, pemilik keutamaan dan ketakwaan
serta menghabiskan waktunya untuk beribadah. Syaikh Marzuqi wafat di Makkah
pada tahun 1332 H (1913 M).
Sosok Syaikh Marzuqi
Banten juga disinggung oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya “Mekka” (1888). Di
sana, Snouck menyebut Syaikh Marzuqi sebagai kerabat Syaikh Nawawi Banten (w.
1897). Ia memiliki penampilan yang elegan dan menarik. Kemampuan dan kecakapan
bahasa Arab Syaikh Marzuqi disebut Snouck mengungguli Syaikh Nawawi.
Di Makkah, ia belajar
kepada para guru yang menjadi guru dari Syaikh Nawawi. Usia keduanya terpaut
jarak yang lumayan dekat. Syaikh Marzuqi juga kerap datang dalam kelas ilmiah
Syaikh Nawawi.
Snouck juga menyebut
Syaikh Marzuqi sebagai pengikut Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah yang diinisiasi
oleh Syaikh Ahmad khatib Sambas. Ia adalah kawan yang sangat dekat dan akrab
Syaikh Abdul Karim Banten.
Syaikh Marzuqi sering
melakukan perjalanan. Ketika Snouck berada di Makkah pada 1885, Syaikh Marzuqi
baru saja kembali dari perjalanannya keliling Nusantara yang ke lima kalinya.
Syaikh Marzuqi tidak punya pekerjaan lain selain mengajar murid-muridnya yang
berjumlah sangat banyak. Ia membuka kelas di rumahnya setiap hari setelah
shalat lima waktu. Syaikh Marzuqi juga cakap berbahasa Melayu. Snouck
mengatakan Marzuqi adalah seorang pengajar yang sukses, meskipun secara
kapasitas dan keluasan keilmuan, Syaikh Nawawi jauh di atas dia.
Dalam beberapa
perjalanan terakhirnya, Syaikh Marzuqi tidak hanya mengunjungi Banten, kota
kelahirannya. Tetapi ia juga pergi berkeliling mengunjungi Siam (Thailand) dan
Bali, di mana di kedua wilayah itu terdapat minoritas Muslim yang menjadi
perhatian Syaikh Marzuqi. Beliau juga dikabarkan mengunjungi Deli dan Penang di
Malaya, di mana sultan Deli yang kaya raya menyambutnya, sebagaimana
kebiasaannya yang sangat hormat dalam menyambut para ulama yang datang dari
Makkah.
Adapun sosok Syaikh
Arsyidin, yang dalam silsilah ini tercatat sebagai murid dari Syaikh Marzuqi
Banten, selintas data perihal dirinya terekam dalam daftar nama-nama ulama
Nusantara yang mengajar di Makkah yang terdapat dalam laporan Konsulat Belanda
di Jeddah per-tahun 1910/1911.
Dalam laporan tersebut
tertulis Syaikh Arsyidin berasal dari Banten, berusia 40 tahun (berarti beliau
lahir 1870-an), dan telah bermukim di Makkah selama 16 tahun lamanya (berarti
mulai mukim di Makkah sejak tahun 1894-an).
* * *
Jalur periwayatan TQN
di atas sangat menarik, karena selain periwayatannya yang berasal dari Syaikh
Marzuqi Banten di Makkah, juga jalur periwayatan setelahnya yang juga
seluruhnya berada di Makkah.
Hal ini menunjukkan
jika Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah, selain berkembang di Nusantara, juga
berkembang di kota suci Makkah di kalangan para mukimin Nusantara di sana,
meski dalam ruang lingkup yang serba terbatas. Wallahu A’lam
Jumadil Awal 1442 H/
Januari 2021