Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Epistemologi Islam perspektif pemikir Maghribi (2): Rasionalisme Ibn Rusyd

Avatar photo
37
×

Epistemologi Islam perspektif pemikir Maghribi (2): Rasionalisme Ibn Rusyd

Share this article

Karena situasi politik yang tidak memungkinkan, proyek pencerahan pemikiran Ibn Hazm tidak dapat terlembagakan dengan baik dalam tubuh negara yang saat itu berada di ujung kekuasaan Umayyah. Baru setengah abad kemudian, proyek pencerahan Ibn Hazm mendapatkan momentum historisnya dan menjadi pijakan bagi gerakan politik revolusioner di wilayah Maghribi yang dipimpin oleh Mahdi Ibn Tumart sejak tahun 511 H.

Menurut pengamatan al-Jabiri, wacana pemikiran yang dikembangkan oleh Ibn Rusyd (nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd (520-595 H : 1126 1108 H), ayahnya seorang hakim dan kakeknya juga seorang hakim agung di Andalusia), sedikit banyak merupakan kelanjutan dari proyek pemikirannya Ibn Hazm.

Hanya saja, Ibn Rusyd, sebagai yang datang kemudian, menghadapi persoalan-persoalan baru seperti harmonisasi dan eklektisisme Ibn Sina, serangan al-Ghazali terhadap filsafat, dan tugas yang diemban dari penguasa (Khalifah Abu Ya’kub Yusuf Ibn abd Mu’min) untuk memperjelas kandungan makna filsafat Aristotels.

Al-Jabiri menyebutkan ada tiga tradisi pemikiran Islam yang dominan pada masa Ibn Rusyd, pertama tradisi kalam dan filsafat beserta ilmu-ilmunya, kedua tradisi fikih dan ushul fikih, ketiga tradisi tasawuf teoritik. Bila ditinjau dari segi epistemologinya, ketiga jenis pemikiran tersebut bermuara pada satu titik temu: absennya pendekatan ilmiah-rasionalis atau burhan.

Dalam kehidupan intelektualnya, Ibn Rusyd memiliki empat misi utama. Pertama, menjelaskan filsafat Aristotels sehingga mudah dipahami oleh khalayak umum. Kedua, menyingkap penyimpangan-penyimpangan Ibn Sina dari pokok-pokok ajaran para filsuf, termasuk ketidakpatuhannya terhadap standar-standar logika filsafat rasional (burhani).

Ketiga,  melancarkan serangan balik terhadap al-Ghazali terhadap para filsuf, dan keempat formulasi dan konseptualisasi metodologi baru dalam mengkaji metode-metode untuk menimba hukum-hukum agama, berupa metodologi pengambilan makna-makna zhahir (eksoteris) dari teks-teks agama dengan tetap mempertimbangkan tujuan syari’ah sebagai acuan utama.

Misi yang keempat menjadi perhatian serius karena kesinambungannya dengan Ibn Hazm. Seperti halnya dengan Ibn Hazam, Ibn Rusyd, dalam membaca teks-teks agama selalu mengkaitkannya dengan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah) dan menganjurkan pendekatan burhani terutama bagi mereka yang mampu (para filsuf).

Meskipun demikian, Ibn Rusyd membuka jalan pendekatan lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan individu masing-masing. Dengan mengutip firman Allah dalam surat (al-Nahl: 125): “Serulah kejalan Tuhanmu dengan penuh bijaksana dan penuturan yang baik, dan ajak bicaralah mereka itu dengan cara yang baik pula”.

Istilah hikmah (bijaksana), al-mau’izhah al-hasanah (penuturan yang baik), dan al-jadl (cara yang baik) dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn Rusyd, dengan merujuk kepada ayat al-Qur’an di atas, ada tiga teori tingkatan dalil untuk membuktikan kebenaran yaitu: pertama, pendekatan dengan hikmah (burhaniyah, demonstratif). Kedua, pendekatan khithabiyah (retorik) dan ketiga, pendekatan jadaliyah (dialektik).

Adapun yang digunakan Ibn Rusyd untuk memecahkan problematika pemaduan antara Syariat dan filsafat berangkat dari tiga prinsip dasar diantaranya: pertama bahwa agama mewajibkan belajarfilsafat. Kedua bahwa Syariat mempunyai makna eksoteris (lahir) dan makna esoteris (bathin), dan ketiga bahwa, takwil adalah suatu keharusan demi kebaikan Syariat dan filsafat.

Kewajiban mempelajari filsafat

Salah satu kitab karya Ibnu Rusyd

Bagi Ibn Rusyd, mempelajari filsafat adalah perintah yang diwajibkan oleh agama dan ditetapkan oleh Syariat. Dalam agama terkandung kebenaran, begitu juga dalam filsafat. Ia mengatakan, al-hikmah shahib al-syari’ah wa al-ukht al-radli’ah, filsafat merupakan kawan akrab dan teman sesusuannya.

Ibn Rusyd mengartikan filsafat sebagai suatu aktifitas untuk mempelajari segala sesuatu yang tampak lalu mengambil pelajaran darinya sebagai sarana untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam al-Qur’an surat (al-Hasyr: 2) dikatakan: “Maka berfikirlah hai orang-orang yang berakal budi”.

Adapun untuk meneliti terhadap semua wujud itu haruslah menggunakan qiyas aqli. Yaitu jenis qiyas yang paling sempurna yang dinamakan dengan burhan (bukti demonstratif).

Karena itu, penelitian yang valid memerlukan pengkajian terhadap ilmu logika dengan segala konsepsi, pembenaran-pembenaran, proposisi-proposisi, premis-premis, analogi dengan segala macamnya, syarat-syarat dan nilai masing-masing. Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa mempelajari logika adalah wajib sebagaimana kewajiban mempelajari Syariat.

Syariat dalam makna eksoteris dan esoteris

Ibn Rusyd mengatakan bahwa, di dalam kehidupan manusia ada hal-hal yang dianggap benar menurut pandangan filsafat tetapi, tidak benar menurut pandangan agama. Jika pandangan filsafat dan pandangan agama bersesuaian, maka akan semakin sempurnalah pengetahuan tentang hal itu dan kebenarannya akan semakin mutlak.

Namun, jika pandangan agama (mengenai suatu permasalahan) bertentangan dengan pandangan filsafat, maka makna hakiki Syariat haruslah dicari. Mengapa? Karena syri’at diperuntukkan kepada seluruh tingkatan manusia, maka ia harus dipahami dari berbagai segi dan berbagai makna. Hal ini berarti bahwa Syariat mempunyai makna eksoteris (lahir) dan makna esoteris (bathin).

Yang dimaksud dengan tingkatan manusia menurut Ibn Rusyd adalah, pertama golongan khathabiyun (retorik). Mereka adalah golongan awam yang hanya menerima argumen-argumen retorik. Kedua, golongan al-jadaliyun (kelompok dialektis), yaitu para ulama ilmu kalam yang menggunakan argumen-argumen dialektis dan mereka sudah cukup puas dengannya. Ketiga, golongan burhaniyun (kelompok demonstratif). Mereka ini adalah para filsuf yang hanya puas dengan argumen-argumen demonstratif.

Yang dimaksud dengan memiliki makna eksoteris dan makna esoteris bahwa, bukan berarti semua nash Syariat memiliki makna demikian. Ibn Rusyd mengatakan bahwa, tidak semua nash harus diartikan menurut makna lahiriahnya, dan tidak pula seluruhnya harus dikeluarkan dari makna lahiriahnya melalui takwil.

Keharusan Takwil

Ibn Rusyd mengartikan takwil sebagai, ikhraj dilalah al-lafzh min al-dilalah al-haqiqiyyah ila al-dilalah al-majaziyyah min ghair an yukhilla dzalik bi’adah lisan al-Arab fi al-tjawwuz, suatu makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafazh (kata) yang keluar dari konotasinya yang hakiki kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz.

Karena aktifitas penalaran filosofis diwajibkan oleh Syariat, maka aktifitas takwil atas nash-nash yang secara lahiriah bertentangan dengannya menjadi wajib. Jika hasil dari kerja burhan bertentangan dengan makna lahir teks Syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan. Alasannya, karena Syariat tidak mungkin tidak bersesuaian dengan akal sehat.

Menurut Ibn Rusyd, teks-teks Syariat terdiri dari tiga bagian, pertama makna lahiriah Syariat yang benar-benar tidak boleh ditakwilkan, karena apabila pentakwilan itu menyangkut hal-hal yang metaprinsipil akan menimbulkan bid’ah. Kedua, makna yang oleh ahli burhan harus ditakwilkan, karena bila mengartikannya secara lahiriah begitu saja justru akan menimbulkan kekafiran. Ketiga, makna yang belum jelas kedudukannya di antara makna sebelumnya.

Syahdan, rasionalisme Ibn Rusyd, terutama pada upaya reformulasinya terhadap agama dan filsafat, dengan demikian semakin menguatkan hak akal atas agama secara proporsional. Model nalar burhani yang sudah dikembangkan oleh Ibn Hazm mendapat penguatan yang signifikan di tangan Ibn Rusyd.

Meskipun demikian, dalam konteks takwil atas teks-teks agama, selain mengajukan model nalar burhani untuk teks-teks tertentu dan pada gilirannya hanya untuk kalangan terbatas, ia juga menggambarkan metode lain untuk kalangan yang lain pula. Dengan penggambaran seperti itu, selain menjadi alat kritik terhadap golongan ahli kalam seperti Muktazilah dan Asy’ariyah, Ibn Rusyd berjasa untuk menjembatani beberapa sekte yang berselisih paham pada persoalan takwil.

Metode reformulasi antara agama dan filsafat mendapat keasliannya di tangan Ibn Rusyd. Ia berhasil menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas dasar keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas.

Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasarmaksud dan tujuan yang diberikan oleh Sang Pencipta Syariat yang membawa kepada nilai-nilai kebajikan. Artinya, gagasan maqashid al-syari’ah dalam disiplin ilmu agama sebanding dengan gagasan hukum-hukum kausalitas di alam ini.

Referensi:

1. Al-Jabari, al-Turats Wa al-Hadatsah.

2. Abbas Muhammad al-Aqqad, Ibnu Rusyd.

3. Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut.

4. Abu Walid Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal Fima Baina al-Hikmata wa as-Syariah Min al-Ittisal.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.