Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Rolf Freiherr (baron) von Ehrenfels, dan tujuh alasannya memeluk Islam

Avatar photo
33
×

Rolf Freiherr (baron) von Ehrenfels, dan tujuh alasannya memeluk Islam

Share this article

Rolf Freiherr von Ehrenfels (selanjutnya Rolf atau Omar) adalah mualaf terkemuka asal Austria yang lahir pada 28 April 1901, merupakan satu-satunya anak lelaki Prof. Dr. Baron Christian von Ehrenfels yang kesohor dengan teori psikologi Gestalt-nya yang juga merangkap profesor filsafat di Universitas Prague. Ibunya bernama Emma von Ehrenfels adalah seorang aktivis palang merah, ketika Perang Dunia I secara penuh mempersembahkan waktunya untuk para prajurit Hungaria yang terluka.

Pada kurun tahun 1932 hingga 1937, Rolf adalah mahasiswa antropologi sosial di Universitas Wina hingga peroleh gelar doktor di sana. Ketika pendudukan Nazi di Austria, ia berimigrasi ke India dan tinggal di sana hingga tahun 1961.

Semenjak kanak-kanak Rolf sudah memendam rasa terhadap kebudayaan Islam serta budi luhur ketimuran, suatu hal yang cukup unik bagi seorang bangsawan Austria. Kisah pribadi Rolf, perjalanan sunyinya ‘menjemput cahaya’ termaktub cukup detail dalam memoar yang ditulis saudari kandungnya, Imma von Rodmersrhof yang terbit di Lahore pada 1953.

Ketika masih terbilang muda, Rolf sempat menulis skenario film berjudul Das grosse Sehnen berkolaborasi dengan temannya, Willy Bodmershof. Pengambilan gambar ia lakukan di sebuah studio di Berlin, selebihnya di beberapa lokasi di Istanbul pada tahun 1923. Di kota berjuta kubah tersebutlah, minat Rolf terhadap Islam semakin menyala.

Di luar jam kerja, Rolf biasa menghabiskan waktu memancal sepeda mengelilingi Istanbul, memandangi keindahan Bosporus dan menara-menara tua, mengunjungi kafe-kafe tradisional, serta mempelajari kultur masyarakat modern.

Selain Turki, Rolf juga mendatangi Albania dan Bosnia untuk menumpas penasarannya yang semakin membeludak tentang Islam, ia juga mengunjungi Yunani dan Yugoslavia serta menjalin hubungan erat dengan komunitas-komunitas muslim di sana. Bahkan jauh sebelum membaca syahadat dan mengganti namanya menjadi Omar, Rolf terbiasa ikut shalat berjamaah di masjid-masjid, berharap dapat merasakan apa yang dirasakan muslim ketika shalat, dan berpikir apa yang mereka pikirkan. Begitulah layaknya sebagai seorang antropolog.

Selain antropologi, agama dan filsafat menjadi subjek yang digeluti Omar sejak dini. Ia banyak berkontribusi terhadap jurnal-jurnal ilmiah, antara lain (sejak 1931 hingga 1938) ia menulis beberapa artikel penting untuk jurnal yang dikelola Masjid Berlin sejak 1924, Moslemische Revue.

Singkat cerita, dari kebiasaan-kebiasaan ‘menyelami’ Islam tersebut, bertabur gejolak dan gemuruh dalam lubuk hati Rolf, sehingga ia mendeklarasikan diri sebagai muslim pada tahun 1927 dan menyandang nama Omar atas pilihannya sendiri.

Lima tahun kemudian, tepatnya pada 1932, Omar hijrah ke India dan menelurkan karya keislaman berjudul The Place of Woman In Islam (Kedudukan Perempuan dalam Islam). Situasi Perang Dunia II yang tidak karuhan, lebih-lebih ketika negaranya jatuh ke tangan Hitler dengan partai Nazi-nya, Omar semakin mantap menjadikan India sebagai rumah kedua.

Omar diterima dengan hangat di India dengan memperoleh sokongan dari Akbar Haydar guna lebih mendalami antropologi di kota Assam. Sejak tahun 1949 ia berprofesi sebagai dosen, dan, berkat jasa dan ketekunan serta kecerdasannya, ia diangkat sebagai guru besar-profesor antropologi sosial di Universitas Madras. Ia bahkan memperoleh medali emas dari Royal Asiatic Society (Masyarakat Kerajaan Asia) yang terletak di Bengal.

Ketika memperoleh pertanyaan mengenai hidayahnya, dengan tegas Omar membabarkan tujuh poin berikut:

1. Islam memuat berbagai nilai dan aspek mulia dari semua agama yang ada. Seluruh agama berdiri demi kedamaian dan ketenangan hidup manusia, namun di mata Omar tidak satu pun dapat melebihi Islam dalam kepiawaiannya mengajarkan secara eksplisit dan komprehensif. Omar tidak mendapati agama lain berhasil menanamkan cinta yang begitu mendalam kepada Sang Pencipta dan saudara-saudara seimannya.

2. Islam menuntut setiap penganutnya secara penuh menyerahkan diri di hadapan Allah dalam suasana damai dan penuh ketenangan.

3. Bila ditinjau ke belakang, sejarah dengan jelas menginformasikan bahwa Islam adalah kebenaran paling mutakhir dari rumpun agama samawi, tidak akan pernah ada agama lain muncul setelahnya.

4. Nabi Muhammad selaku penyampai kalamullah berwujud Al-Quran adalah nabi dan utusan terakhir.

5. Tidak diragukan lagi siapa saja yang memeluk Islam otomatis akan menanggalkan seluruh pakaian (agama) sebelumnya. Namun, seperti yang dipaparkan Omar, pelepasan ini acapkali tidak seperti yang diharapkan.

Prinsip keimanan Islam sejatinya serupa dengan agama-agama samawi lainnya, namun hanya yang disampaikan Nabi Muhammad yang tidak mengalami distorsi serta penyimpangan seiring berjalannya waktu. Selain daripada itu, semua agama samawi pra-Islam, sejak awal sebenarnya telah meyakini akan datangnya utusan terakhir (Nabi Muhammad), seperti yang telah termaktub dalam kitab dan suhuf­-suhuf mereka.

Dengan kata lain, Islam adalah agama terakhir yang menyempurnakan agama-agama samawi sebelumnya. Berbagai benturan kepentingan dan ambisi membuat manusia bermusuhan satu sama lain sehingga menimbulkan bermacam distorsi itu.

Dari permusuhan ini, pada gilirannya, hanya akan melahirkan bahan eksploitasi orang lain yang mencoba mengubah agama menjadi kubu saing yang dengan demikian akan mengutamakan materialisme duniawi di atas nilai-nilai agama.

Bagi Omar, sebenarnya tidak membutuhkan banyak ilmu untuk melihat bahwa Islam mengakui adanya agama-agama samawi lainnya, Islam hadir untuk memurnikan agama-agama tersebut dari interpolasi-interpolasi manusia. Menerima Islam berarti bersedia mendedikasikan layanan spiritual dan material demi kepentingan dan kebutuhan semua orang, pria maupun wanita.

6. Omar bersaksi bahwa di dalam agama lain tidak ada yang memiliki konsep persaudaraan antar manusia seperti yang digaungkan dengan sangat ekspresif oleh Islam. Semua umat muslim, apapun warna kulitnya, negaranya, dan bahasanya, masing-masing adalah saudara bagi yang lain. Tidak ada agama lain, lanjut Omar, memiliki keindahan persaudaraan seperti itu.

7. Islam adalah agama yang memberikan hak agung bagi perempuan dengan menempatkannya pada maqam yang tinggi. Rasulullah sendiri berujar, seperti yang dikutip Omar, surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Sepotong hadis yang melatarinya menyusun desertasi bertajuk Mutterrecht in Vorderindien (Hukum Bersalin di India) yang mana diterjemahkan oleh Omar sendiri menjadi Mother-Right in India (Hak Seorang Ibu di India).

Di luar tujuh poin di atas, Omar juga menegaskan bahwa Islam sangat menghargai karya seni. Meski toh lahir dari tangan nonmuslim, tidak dapat dibenarkan menghancurkannya secara barbar selama dinilai tidak bertentangan dengan nilai-nilai agung Islam. Layaknya masjid al-Fatih dan Sultan Ahmad (Masjid Biru) di Istanbul, umat muslim waktu itu tidak berhasrat meruntuhkan arsitektur yang masih indah dan layak pakai. Selain itu, di sepanjang sejarahnya, umat muslim sudah menunjukkan sikap adil dan belas kasih terhadap masyarakat nonmuslim.

“Untuk beberapa alasan tersebut,” ucap Omar, “Saya pilih Islam karena iman saya.”

Prof. Dr. Omar Rolf Freiherr von Ehrenfels meninggal dunia dengan penuh kedamaian pada 7 Februari 1980 di Neckargemuend, Jerman.

Catatan: artikel ini disarikan dan dieksplorasi dari buku “Why Did They Become Muslims?” karya M. Siddik Gümüş (Hakikat Kitabevi Publication No:16)

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.