Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Biografi Imam Malik, pendiri mazhab Maliki

Avatar photo
45
×

Biografi Imam Malik, pendiri mazhab Maliki

Share this article

Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Gayman, Khutsail (dalam riwayat lain dengan jim; Jutsail) bin Amr bin Harits (Dzu Asbah) bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syaddad bin Zur’ah (Himyar al-Ashgar), sekutu Bani Tayim dari Quraisy, sekutu Utsman, saudara Thalhah bin Ubaidillah (salah satu yang diberi kehormatan al-Mubasyarina bi al-Jannah; yang dijamin oleh Nabi masuk surga). Sedangkan ibunya bernama Aliyah binti Syarik al-Azdiyah.

Menurut pendapat yang paling shahih, Malik bin Anas (Imam Malik) lahir pada tahun 93 H bertepatan dengan hari wafatnya Anas bin Malik, khadim dari Rasulullah Saw. Imam Malik bergelar Syaikh al-Islam (guru umat Islam), Hujjah al-Ummat (hujah umat Islam) dan Imam Daar al-Hijrah (Imam Negeri Hijrah). (Adz-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala Juz VIII, hal 48).

Malik bin Anas sudah memulai pengembaraannya dalam mencari ilmu di usia yang relatif muda. Saat memasuki 21 tahun, ia telah menjadi mufti Madinah. Imam Malik terkenal dengan keilmuannya yang mendalam terutama dalam bidang hadits dan fikih. Imam Syafi’i menyebutnya “bintang para ulama”. Ibnu Uyainah menyifatinya, “Imam Malik adalah cendekiawan ahli Hijaz, ia adalah hujjah di zamannya”.

Bahkan mengutip pendapat dari adz-Dzahabi, Dr. Anas Ahmad Kurzun dalam kitabnya Riyadh al-Ulama menyebut Imam Malik demikian:

“Di kota Madinah setelah kalangan Tabiin tidak ada yang melebihi kealiman Imam Malik. Tidak dalam pengetahuan, fikih, keagungan maupun kekuatan hafalan. Majelis yang dibuatnya ialah majelis yang tenang dan bersahaja. Ia adalah orang yang berwibawa dan cerdas. Dalam majelisnya tidak ditemukan sedikit pun permusuhan maupun suara gaduh.” (Anas Ahmad Kurzun, Riyadh al-Ulama, hal 34)

Ia belajar ilmu qiraat pada Nafi’ bin Abi Nuaim, belajar hadits pada Nafi’ bin Sarjis (hamba sahaya Ibnu Umar), Sa’id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu al-Munkadir, al-Zuhri, Abdullah bin Dinar.

Ia juga belajar hadits dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, Ayub bin Abi Tamimah, al-Sakhtiyani, Ayub bin Hubaib al-Juhni (hamba sahaya Said bin Malik), Ibrahim bin Uqbah dan banyak lagi dari kalangan tabiin. Dari mereka Imam Malik meriwayatkan hadits-hadits yang ditulisnya dalam kitab hadits monumentalnya al-Muwaththa. (Adz-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala Juz VIII, hal 49).

Dikisahkan bila hendak mengajarkan hadits-hadits Nabi, Imam Malik akan berwudhu terlebih dahulu, duduk, merapihkan diri dan mencari ketenangan baru kemudian ia akan mengajar. Ia tidak akan mau untuk mengajarkan hadits ketika berada di jalan, sedang berdiri maupun terburu-buru. Hal tersebut dilakukannya semata-mata karena ia ingin mengagungkan hadits-hadits Nabi dan memahaminya dengan baik serta menghormati Nabi.

Bahkan pada saat usia tua dengan badan yang telah renta pun ia tidak ingin menunggangi kendaraan di Madinah, kota tempat Rasulullah disemayamkan. “Aku tidak akan berkendara di kota Madinah, kota di mana jasad Rasulullah disemayamkan,” ujarnya. (Ibnu Khalkan, Wafayat al-A’yan Jilid IV, hal 135).

Selain itu, Imam Malik juga sangat menghormati ilmu. Ia bahkan berani dan tegas menolak mentah-mentah ajakan untuk mengajar khalifah Harun al-Rasyid, khalifah yang sedang berkuasa saat itu.

Mengutip riwayat dari Atiq bin Ya’qub al-Zabidi dalam Syadzarat al-Dzahab milik Ibnu Imad, Dr. Anas Ahmad Kurzun dalam kitabnya Riyadh al-Ulama mengisahkan bahwa pada saat Khalifah Harun al-Rasyid mengunjungi kota Madinah, ia mendengar kabar bahwa Imam Malik memiliki kitab hadits al-Muwatha’ yang ia ajarkan kepada masyarakat.

Kemudian ia mengutus tangan kanannya, al-Barmaki untuk meminta Imam Malik menemui Khalifah Harun di rumahnya dan mengajarkannya kitab tersebut. Mengetahui hal tersebut, Imam Malik menolaknya dengan tegas. Dia mengatakan “Katakan kepadanya: jika memang dia ingin belajar, maka datanglah ia ke sini. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi!”

Di antara sahabat sekaligus murid dari Imam Malik ialah Ma’mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, Amr bin al-Harits, al-Auza’i, Syu’bah, al-Tsauri, Juwairiyah bin Asma, al-Laits, Hammad bin Zaid, Ismail bin Ja’far, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Mubarok, Abu Abdillah al-Syafi’i (Imam Syafi’i) dan masih banyak yang lainnya.

Dari banyaknya murid Imam Malik, murid yang terakhir kali meninggal dari para periwayat kitab al-Muwatha ialah Abu Hudzafah Ahmad bin Ismail al-Sahami. Ia hidup 80 tahun setelah Imam Malik. (Adz-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala Juz VIII, hal 54).

Imam Malik wafat pada tahun 179 H dalam usia 86 tahun. Ia dimakamkan di Baqi’ di sisi makam Ibrahim, anak dari Rasulullah Saw.

Demikian sekelumit biografi, kisah dan keteladanan dari Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki.

Referensi:

1. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala Juz 8, 1982, Beirut: Muassasah ar-Risalah

2. Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khalkan, Wafayat al-A’yan Jilid 4, Beirut: Daar Shadir.

3. Anas Ahmad Kurzun, Riyadh al-Ulama, 2018, Daar Nur al-Maktabat.

Kontributor

  • Alwi Jamalulel Ubab

    Alumni Khas Kempek, Cirebon. Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.