Napoleon I (1769-1821) atau sering disebut Napoleon Bonaparte, seorang negarawan jenius kelahiran Korsika yang mencolok dengan karir militernya semasa Revolusi Prancis, tidak berlebihan bila disebut-sebut sebagai salah seorang paling adikuasa dalam sejarah Eropa modern. Di balik figurnya yang kontroversial, siapa sangka batinnya menjalin hubungan mesra dengan Islam?
Tidak lama setelah menginjakkan kaki di Mesir pada tahun 1798, Napoleon tampak mengagumi keagungan Islam. Tidak aneh bila kemudian banyak yang mempertanyakan keislamannya, menduga-duga dengan kalimat “jangan-jangan”, bahkan meyakini ia telah memeluk Islam secara diam-diam.
Berdiam di Mesir yang kental dengan keramahan Islam membawa dampak positif bagi Napoleon, dia belajar banyak hal termasuk bagaimana menghormati manusia berikut keyakinan yang mereka anut. Toleransi Napoleon terhadap agama, dalam memoar yang ditulis Louis Antoine Fauvelet de Bourrienne (1889), adalah konsekuensi alami serta semangat filosofisnya.
Seperti layaknya “putra kandung” abad pencerahan, Napoleon memandang sejarah sebagai suatu gedung yang didirikan oleh orang-orang hebat. Dia mengumpulkan daftarnya mulai dari kuli bangunan hingga arsitektur dan para penyokongnya, tidak lain untuk dikaji kemudian diikuti yang sekiranya sesuai dengan jalan pikirannya. Begitu Islam menjadi objek kajiannya, tentu Nabi Muhammad menjadi sosok penting yang tidak lepas dari bayangan nalarnya.
Napoleon menyebut Nabi Muhammad sebagai “lelaki hebat yang berhasil mengubah wajah bumi”. Di sini ia tampak berseberangan dengan salah satu filsuf idolanya, Voltaire, yang dinilai kurang menaruh hormat terhadap Nabi Muhammad dengan merendahkan capaian serta karakter kepemimpinannya.
Dalam pribadi Nabi Muhammad, Napoleon menemukan spirit berpolitik yang seirama dengan berbagai pandangannya, yakni semangat menyatukan keterpecahan. Nabi Muhammad selalu ia pandang sebagai tokoh hebat yang berhasil menyatukan Arab yang terpecah belah untuk kemudian membentuk kekuatan besar yang pada gilirannya sanggup memperluas teritori hingga keluar Timur Tengah. Seperti itulah bentuk kepemimpinan yang dikagumi oleh seorang Napoleon.
Kaisar Napoleon Bonaparte (Napoleon I) di ruang bacanya di Istana Tuileries. Lukisan oleh Jacques-Louis David (1812)
Berikut ucapan Napoleon tentang Islam yang terekam oleh Christian Cherfils, salah seorang penulis biografinya yang termasyhur:
“Eksistensi berikut keesaan Tuhan yang mana disampaikan oleh Nabi Musa terhadap kaumnya juga oleh Nabi Isa terhadap pengikutnya, disabdakan oleh Nabi Muhammad kepada masyarakat dunia seluruhnya. Enam abad selepas Nabi Isa, Nabi Muhammad membangkitkan kesadaran orang-orang Arab terhadap keesaan Tuhan, yang mana sudah pernah diserukan oleh nabi-nabi sebelumnya seperti Ibrahim (Abraham), Ismail (Ismael), Musa (Moses), serta Isa (Jesus).
“Kedamaian di dunia Timur diusik oleh orang-orang Arian (sebutan bagi orang-orang Kristen pengikut Arius) yang mana sedikit banyak menjalin keakraban dengan orang-orang Arab, demikian pula kelompok-kelompok Kristen yang kerap mendistorsikan agama mereka dengan menyebarkan kredo trinitas yang tidak dapat diterima akal. Di situlah Nabi Muhammad membimbing orang-orang Arab ke jalan yang benar dengan cara membangun keimanan bahwa Tuhan itu Esa, tidak beranak maupun diperanakkan, dan bahwasannya mengimani banyak Tuhan tidak lain adalah konsep absurd lanjutan dari penyembahan berhala.”
Bonaparte devant le Sphinx (Bonaparte di Depan Sphinx), lukisan karya Jean-Léon Gérôme (1886)
Dalam buku yang sama, Cherfils juga merekam ucapan Napoleon berikut:
“Saya harap tidak lama lagi berkesempatan mengumpulkan banyak orang berbudaya lagi bijaksana dari seluruh penjuru bumi guna bersama-sama mendirikan sebuah pemerintahan yang akan saya jalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang termaktub dalam Al-Quran.”
Napoleon tumbuh di era ketika Pencerahan Eropa berseberangan dengan nilai-nilai serta kepercayaan lama, tentu ia akrab dengan ide-ide filsuf seperti Voltaire dan Jean-Jacques Rousseau yang berada di barisan depan dalam menyuarakan spirit ini. Renaisans telah mendorong lahirnya ideologi berdasarkan toleransi serta keberagaman, sehingga sampai batas tertentu, Napoleon mengimani nilai-nilai yang tengah subur di eranya, di antaranya mendukung pemerintahan republik demokratis sebagai telur dari Revolusi Prancis yang layak ditetaskan.
Dari peta kecil di atas, ketertarikan Napoleon terhadap Islam menjadi menarik dan mengandung keunikan tersendiri. Ketika Eropa tengah beramai-ramai meninggalkan kepercayaan lama, Napoleon justru menjadikan Al-Quran sebagai bacaan wajib.
Napoleon in Cairo, lukisan karya Jean-Léon Gérôme (1863)
Walakhir, cukup Allah dan Napoleon sendiri yang mengetahui apakah kaisar tersebut akhirnya memeluk Islam atau sekadar mengagumi kemuliannya. Itu bukan urusan siapa-siapa, dan sama sekali bukan urusan umat Islam, karena urusan umat Islam zaman now adalah memperlihatkan dan merepresentasikan budi pekerti serta nilai-nilai agung Islam, sehingga nonmuslim sekali pun akan dengan mudah terpana oleh etika, cinta, budaya, serta estetika Islam.