Beliau adalah Syarafuddin, Abu al-Hafsh atau Abu al-Qasim, Umar bin Abi al-Hasan Ali bin al-Mursyid bin Ali rahimahullah.
Dinamai Ibnu al-Faridh karena ayah beliau yang berasal dari Hamah datang dan menetap di Mesir, mulanya adalah seorang al-faridh, yaitu petugas yang menentukan bagian untuk para ahli warits perempuan di pengadilan.
Pekerjaan sang ayah terus meningkat sampai akhirnya diangkat menjadi qadhi al-qudhat (pimpinan para qadhi atau qadhi tertinggi), suatu jabatan tertinggi di bidang keagamaan, karena sang ayah merupakan ulama besar di masa itu, tapi beliau menolaknya, memilih untuk iktikaf di ruangan al-khithabah masjid al-Azhar sampai beliau meninggal.
Disebutkan bahwa keluarga Ibnu al-Faridh berasal dari qabilah Bani Sa’d, yakni qabilah Sayyidah Halimah as-Sa’diyah yang menyusui Sayyiduna Rasulullah saw.
Ibnu al-Faridh lahir pada tahun 576 H.
Di awal tajrid (menyendiri), Ibnu al-Faridh muda meminta izin dari sang ayah yang saat itu menjabat kepala pemerintahan di Kairo (mungkin sejenis perdana menteri) dalam dinasti al-Ayyubi. Ibnu al-Faridh menyendiri di lembah al-Mustadh’afin di gunung kedua Muqattam.
Beliau di sana dalam beberapa waktu kemudian kembali pulang ke sang ayah untuk berbakti dan membahagiakannya. Ibnu al-Faridh pun selalu menghadiri majelis ayah Beliau dalam pengadilan dan pengajian.
Kemudian ketika ingin menyendiri, beliau akan meminta izin dari sang ayah lalu kembali. Begitu lah sampai sang ayah wafat.
Masa Dinasti al-Ayyubi merupakan masa cemerlang untuk kehidupan ilmiah, sastra, tasawwuf dan lain sebagainya. Suatu hari Ibnu al-Faridh masuk ke madrasah as-Suyufiah di Cairo. Di pintunya, beliau melihat seorang tua al-Baqqaal (pedagang kecil) yang sedang berwudhu tanpa tartib.
Ibnu al-Faridh pun mengkritik.
Orang tua itu pun menoleh dan berkata, “Wahai Umar, kamu tidak diberi fath (dibukakan Allah) di Mesir, tapi kamu diberi fath di Hijaz, Makkah yang mulia. Pergilah ke sana, sudah waktunya untukmu diberi fath.”
Ibnu al-Faridh heran. Dia mengatakan bahwa jaraknya jauh dan sekarang bukan musim keberangkatan rombongan haji.
Orang tua itu pun menunjuk ke suatu arah sembari berkata, “Ini Makkah, di depanmu.”
Ibnu al-Faridh berkata, “Aku melihat ke arah yang beliau tunjuk, aku pun melihat Makkah yang dimuliakan Allah.”
Begitulah Ibnu al-Faridh berangkat ke Hijaz, di sana selama 15 tahun. Kembali tahun 629 H karena dipanggil oleh gurunya, pedagang depan madrasah as-Suyufiah yang menghubungi dia lewat panggilan ruh, untuk kembali ke Mesir demi menghadiri kematian sang guru, mentajhiz (memandikan, mengkafani), menyalatkan dan menguburkan.
4 tahun terakhir kehidupan Ibnu al-Faridh dihabiskan di Cairo, iktikaf di ruangan al-khithabah, di masjid al-Azhar. Banyak yang mendatangi Beliau. Sebagian waktu beliau gunakan untuk qasidah-qasidah yang kebanyakannya beliau karang di Hijaz.
Di saat sakarat, beliau ditunjukkan surga. Beliau pun menangis dan berteriak, “Aaah.”
إن كان منزلي في الحب عندكم.. ما قد رأيت فقد ضيعت أيامي
“Apabila yang telah aku lihat adalah kedudukanku dalam cinta di sisi-Mu, berarti hari-hari telah hilang (tanpa guna).”
Sayyiduna Ibrahim, murid beliau berkata, “Ya sayyidi, ini kedudukan yang mulia.”
Ibnu al-Faridh, “Wahai Ibrahim, Rabi’ah al-‘Adawiyah berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, tidak juga karena menginginkan surga-Mu, tapi untuk memuliakan-Mu Yang Mahamulia dan bentuk kecintaan pada-Mu. Bukan kedudukan ini yang aku cari dan aku menghabiskan umurku di jalan menuju-Nya.”
Kemudian Ibnu al-Faridh tenang dan tersenyum. Beliau mengucapkan salam perpisahan dan berwasiat pada Ibrahim agar menghadiri wafat, tajhiz jenazah, ikut menyalatkan dan duduk di sisi kubur selama 3 hari 3 malam, kemudian pergi ke kampungnya.
Ibnu al-Faridh merupakan seorang yang mengkhususkan Ramadhan untuk berbagai ibadah… Tapi bagi beliau; sepanjang hidupnya adalah Ramadhan.
Ibnu al-Faridh wafat pada tahun 632 H, dimaqamkan di Safah al-Muqattam, Qarafah, tempat penuh keberkahan. Banyak ulama dan auliya dimakamkan di sana.
Ibnu al-Faridh dimakamkan di bawah kaki sang guru, Muhammad al-Baqqal.
Rahimahumallah.
Dinukil dari kitab Masajid Mishr wa Awliyaauha ash-Shariih karya DR Su’ad Maher, juz 2.