Dari sekian banyak keistimewaan Ramadhan yang Allah berikan kepada umat yang diberkahi ini, adalah adanya malam yang lebih baik dari 1000 bulan, yang dikenal dengan Lailatul Qadar.
Beberapa ulama berpendapat, bahwa malam Lailatul Qadar menjadi sedemikian mulia karena al-Quran turun pada malam tersebut. Ini pendapat yang kuat. Ulama yang lain mengatakan, malam itu menjadi mulia karena Jibril turun membawa sejumlah keberkahan yang tidak ada pada malam lainnya.
Dulu saya mengutip, ada sebuah riwayat yang menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar adalah bentuk kasih sayang Allah kepada umat Rasulullah. Jika umat yang lain diberikan umur panjang agar dapat melakukan ibadah yang banyak, maka umat ini diberikan Lailatul Qadar agar mendapatkan pahala yang banyak dalam waktu yang begitu singkat.
Karena pahala yang begitu besarnya, setiap orang yang mengetahuinya pasti akan tergiur dan mencari tahu, bagaimana ia bisa mendapatkan pahala yang dijanjikan pada malam tersebut?
Pada asalnya, malam tersebut dirahasiakan kapan pasti terjadinya. Kebanyakan hal-hal yang berharga memang seperti itu. Harta karun, gunung emas, dan tambang batu bara juga menjadi berharga karena tempat-tempatnya begitu rahasia dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Rasulullah dalam beberapa hadits memberikan kita sedikit kisi-kisi tentang malam Lailatul Qadar. Awalnya, Rasulullah pernah mengetahui secara pasti kapan malam itu tiba, namun secara tiba-tiba beliau dibuat lupa oleh Allah karena ada hikmah tertentu.
Meskipun kapan pastinya tidak dijelaskan, namun Rasulullah tetap memberikan bocoran agar kita memperhatikan dengan khusus 10 hari terakhir ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjil. Bahkan di beberapa riwayat beliau menyebut malam 25 atau 27 atau 29. Intinya tidak ada kepastian tanggalnya, semuanya hanya perkiraan.
Lalu bagaimana dengan kaidah dari al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505 H) yang tersebar, jika Ramadhan dimulai hari ini maka Lailatul Qadar akan jatuh tanggal sekian, dan jika hari yang lain maka tanggalnya pun akan berbeda?
Ini adalah hasil penelitian beliau, yang bahkan diikuti juga oleh al-Imam Abu al-Hasan al-Syadzili dan al-Imam al-Bakri. Beliau berdua merasakan kebenaran kaidah tersebut sehingga mulai dari usia beliau berdua sudah bisa merasakan Lailatul Qadar.
Kaidah tersebut begini bentuknya: jika Ramadhan dimulai hari Ahad atau Rabu maka Lailatul Qadar akan terjadi pada tanggal 29 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai hari Senin maka ia akan terjadi pada tanggal 21 Ramadhan. Jika hari Kamis, maka akan terjadi pada tanggal 25 Ramadhan. Jika hari Sabtu, maka akan terjadi pada tanggal 23 Ramadhan. Dan jika hari Jumat atau selasa maka akan terjadi pada tanggal 27 Ramadhan.
Tentang kaidah ini, kita tentu akan berprasangka baik terhadap penelitian ulama besar Islam tersebut, dengan memerhatikan malam-malam yang telah beliau sebutkan. Jika menyesuaikan dengan Ramadhan tahun ini yang dimulai dari hari Sabtu (Mesir) maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23. Lalu bagaimana dengan yang puasanya mulai pada hari Minggu? Tinggal lihat saja tabelnya. Loh, jadi ada dua malam Lailatul Qadar dong?
Dari pada timbul kebingungan seperti ini, lebih baik kita kembalikan kepada asalnya, bahwa malam yang mulia tersebut tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya. Ulama menyebutkan alasan malam Lailatul Qadar disembunyikan, agar umat Islam tetap semangat ibadah setiap malam, dengan penuh keyakinan bahwa setiap malam adalah Lailatul Qadar.
Syekh Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari dalam kitab beliau yang berjudul Ghayah al-Ihsan fi Fadhli Ramadhan mengatakan: “Dapat disimpulkan dari perahasiaan Lailatul Qadar, dianjurkan bagi orang yang melihat malam tersebut agar tidak menceritakan ke orang banyak.”
Perlu diketahui, al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi berpendapat bahwa hanya orang yang dapat melihat Lailatul Qadar sajalah yang mendapatkan pahala 1000 bulan tersebut. Namun, pendapat kuat yang dipilih oleh mayoritas ulama, ganjaran tersebut didapatkan oleh siapapun, meskipun mereka tidak melihat Lailatul Qadar.
Syekh Al-Ghumari melanjutkan, “Dalil anjuran agar tidak menceritakan Lailatul Qadar adalah ketentuan Allah yang menjadikan malam itu rahasia, dan hadits Rasulullah yang tidak menjelaskan secara pasti kapan malam itu terjadi. Segala kebaikan ada pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya (pada merahasiakan malam Lailatul Qadar), dan kita ditekankan untuk mengikuti apa yang telah ditentukan.”
Tulisan singkat ini tidak berniat untuk menyalahkan kaidah Imam Al-Ghazali, namun hanya sebatas saling mengingatkan agar tidak lalai pada setiap malam Ramadhan, terlebih 10 malam terakhir, karena setiap malam itu memiliki potensi terjadinya Lailatul Qadar, dan yang pasti, detik-detik pada bulan Ramadhan sangatlah penting agar diisi dengan berbagai macam ibadah.
Saya juga yakin, tujuan Imam al-Ghazali dalam menyebarkan kaidah itu bukan bertujuan agar orang baru mulai atau hanya beribadah pada malam tertentu yang beliau sebutkan. Namun, agar menambah semangat dan jumlah ibadah yang sudah dirutinkan selama Ramadhan pada malam-malam yang beliau sebutkan.
Al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari–seingat saya–menegaskan bahwa menurut pendapat yang paling kuat Lailatul Qadar selalu berpindah-pindah dan tidak bisa ditentukan pada malam tertentu. Pendapat ini didasarkan pada bermacam-macamnya riwayat yang menyebut banyak tanggal tanpa kepastian.
Jika ingin mendapatkan Lailatul Qadar, pertama ikuti Rasulullah di mana jika sudah memasuki 10 malam terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya (tidak menggauli istri), menghidupkan malamnya secara totalitas, dan juga ikut membangunkan keluarganya. Jika tidak mampu seperti ini, minimal shalat Maghrib, Isya’ dan Subuh dalam berjamaah, serta turut menjaga sunnah Rawatib. Menurut guru-guru kami, dengan ibadah yang demikian ringan, anda mendapatkan Lailatul Qadar meskipun tidak merasakan kejadiannya. Wallahu a’lam.
Sabtu, 16 April 2022
Madinah Buuts al-Islamiyyah, Kairo