Tahun 2007, saat dikenalkan nama para pengajar di masjid al-Azhar, ada satu sosok muda—berpakaian Azhari—yang sangat menarik perhatian. Bukan karena ia berbicara dengan lantang, tapi karena wajahnya yang masih sangat muda jika dibanding pengajar lain di masjid al-Azhar.
Ia duduk berwibawa di kursi pengajar Ruwaq Abbasiyyah—dikelilingi ratusan muridnya dari berbagai latar belakang—sedang menjelaskan materi ilmu hadis. Kalau tidak salah ingat, beliau sedang mengajar kitab al-Bâits al-Hatsîts karangan Ibnu Katsir. Saya diberitahu, namanya adalah Syekh Usamah Sayyid al-Azhari. Saya kaget, karena waktu itu umurnya baru 31 tahun.
Beliau adalah salah satu murid kesayangan Mufti Mesir kala itu, Syekh Ali Jum’ah Muhammad. Wajah muda tersebut berjejer dengan nama-nama ulama pada usia yang sudah terbilang ‘sepuh’. Sebut saja, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Hasan Syafi’i, Syekh Thaha Rayyan, Syekh Abdul Aziz Saif al-Nashr, Syekh Jamal Farouq, dan sederet ulama sepuh lainnya.
Kekaguman saya bertambah manakala mendengar penuturan salah satu ulama al-Azhar, Syekh Salim Abu Ashi, murid kesayangan Sa’id Ramadhan al-Bhouti, bahwa para ulama yang diperbolehkan mengajar di al-Azhar, Kairo sudah diseleksi secara ketat. Menurut Syekh Salim, minimal mereka harus sudah memahami lima kitab ‘njlimet’.
Pertama, Syarh al-Maqâshid (ilmu kalam) Sa’duddin Taftazani; kedua, Jam’ al-Jawâmi karangan al-Subki (ushul fiqh); ketiga, beberapa syarah Talkhîs (balaghah) seperti anggitan al-Subki, Sa’duddin Taftazani, dan Baha’ al-Din al-Subki; keempat, Syarh al-Quthb al-Din al-Razi terhadap matan Syamsiyyah karangan al-Katibi; kelima, al-Kasysyâf karangan Zamakhsyari (tafsir).
Para penikmat bacaan turâts tentulah tahu bahwa kitab kitab tersebut adalah ‘momok’ menakutkan. Bukan karena kesukaran untuk memahami saja, tapi membaca kitab-kitab tersebut, artinya harus membekali diri dengan puluhan disiplin ilmu.
Fenomena ‘ulama muda’ seperti Syekh Usamah al-Azhari adalah satu dari sekian banyak contoh. Baru baru ini beredar buku sarjana kontemporer kelahiran Yaman—meskipun dicetak sudah lama, Ali al-Imran, bertajuk al-Ulâma’ Alladzîna lam Yablughû Sinna al-Asyud (ulama yang tidak genap berumur 40 tahun).
Tema ini sejatinya sekadar ringkasan dan kutipan dari informasi sejarah tokoh klasik. Maka tentu saja informasi ini sudah bisa kita baca secara berserakan jauh sebelum Ali al-Imran mengarang bukunya. Sebut saja, Al-Imam Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil al-Hanbali (w. 513 H) merupakan penulis Muslim pertama yang menyinggung tema ini.
Ibnu Aqil—seperti dikutip Ibnu Muflih dalam al-Adâb al-Syar’iyyah—menyebutkan ada tujuh ulama yang meninggal di usia 36 tahun, sementara di sisi lain, mereka sudah sampai pada ‘capaian menakjubkan’ dalam keilmuan dan ‘popularitas’. Mereka adalah Raja Iskandar Dzul Qarnain, Abu Muslim al-Khurasani, Ibnu al-Muqaffa’, Imam Sibawaih, Abu Tamam al-Tha’i, Ibrahim al-Nadzdzam dan Ibnu al-Rawandi.
Selain Ibnu Aqil, ada nama Ibnu Asaqir al-Dimasyqi (w. 571 H) yang mempunyai kitab Manâqib al-Syubban, Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam A’mâr al-A’yân yang menyebut ulama yang meninggal di antara umur 20-50 tahun, Abu al-Arab al-Tamimi dalam Maut al-Ulâma’, Ibnu Mukhlid dalam Akhbâr al-Shibyân, Ibnu Dhafar al-Shiqili dalam Anbâ’ Nujâba’ al-Abnâ’, dan lain sebagainya.
Buku Ali al-Imran merujuk pada makna keulamaan yang diperoleh sebelum usia matang. Kematangan usia (al-asyud)—seperti dikutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd—mempunyai batas minimal dan maksimal. Batas minimal adalah pada umur 15 tahun, sementara batas maksimalnya 40 tahun.
Secara literal, judul kitab tersebut menyebutkan keulamaan yang diperoleh semenjak usia 15 tahun dan berakhir—karena wafat—di umur 40 tahun. Jadi, umur pendek namun capaian intelektual sampai pada batas mencengangkan. Menurutnya, umur 40 sampai 50 tahun tidak bisa lagi disebut muda. Selain karena jumlah individunya ‘yang terlampau banyak’, baik secara istilah maupun sematan, usia tersebut juga sudah bisa disebut “Syekh”. Karena secara literal kata Syekh memang merujuk pada usia minimal 40 tahun.
Menurut Ali al-Imran, kategorisasi ‘ulama muda’ berkisar pada dua tipologi: Pertama, mereka yang berfatwa di umur kurang dari 20 tahun. Pada kategori ini, yang tepat adalah ‘keulamaan’ yang muncul di usia belia meskipun dikaruniai usia panjang; Kedua, mereka yang mempunyai capaian keilmuan menakjubkan di usia kurang dari 40 tahun. Artinya ada pembatasan usia maksimal. Berdasar tipologi ini, Syekh Usamah al-Azhari artinya masuk pada tipologi pertama, namun tidak masuk pada tipologi kedua. Karena di tahun 2020 ini, usia beliau adalah 43 tahun.
Untuk tipologi pertama, Ali Al-Imran menetapkan dua syarat bagi seorang yang muncul di usia muda: Pertama, sosok yang dimaksud sudah mempunyai bekal kedalaman ilmu di satu sisi, dan telah mendapat pengakuan dari ulama sezaman di sisi yang lain, lebih lebih jika dari gurunya sendiri. Seperti kisah Imam Syafi’i yang diizinkan berfatwa pada umur 15 tahun oleh gurunya, Khalid bin Muslim al-Zanji. Ataupun Imam Malik yang diizinkan berfatwa oleh 70 Ahli Fikih Madinah.
Kedua, seperti penuturan al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam al-Jâmi’, ilmunya memang dibutuhkan oleh khalayak ramai, spesifiknya dalam ilmu hadis. Seperti pada kasus, jika ia mempunyai hadis yang belum diriwayatkan.
Meskipun belum sampai di usia matang, namun ilmu adalah ilmu. Ia bisa keluar dari lisan siapa saja meskipun di usia belia. Penguatan tesis ini dituliskan secara independen dalam satu fasal kitab Ibnu Muflih bertajuk fashlun fî akhdzi al-ilmi ‘an ahlihi wa in kânû shighâr al-sinn (fasal yang menerangkan pengambilan ilmu dari orang alim meskipun usia muda).
Bahkan Ali Al-Imran, selain menulis buku di atas, juga mempunyai buku bertajuk Man Tashaddara li al-Iftâ’ wa al-Qadlâ’ wa al-Tadrîs qabla al-isyrîn yang secara spesifik menyebut mereka yang sudah mendapat izin berfatwa dan mengajar di umur kurang dari 20 tahun. Beberapa ulama yang sudah berfatwa sebelum umur 20 tahun di antaranya:
1. Muhammad bin Idris al-Syafi’i;
2. Mas’ud bin Muhammad bin Mas’ud al-Thuraitsitsi (w. 578 H). Ibnu al-Najjar mengatakan, diceritakan, ia sudah sampai pada level ulama agung di umur belia;
3. Abu al-Barakat Ibnu Taimiah (w. 652 H). Ia mengarang kitab Junnah al-Nadzar, kemudian memamerkan pada gurunya al-Fakhr al-Isma’il. Gurunya mengatakan: “seorang ahli fiqh, imam, alim, salah satu orang unggul, datang padaku membawa karangan kitabnya…”. Pada saat itu, umur Ibnu Taimiah 16 tahun;
4. Muhammad bin Husein Hibatullah al-Shawi (w. 680 H). Ia berfatwa pada umur 18 tahun;
5. Muhammad bin Umar bin Murahhil (w. 716 H), seorang yang sampai pada batas kecerdasan mencengangkan dan hapalan yang sangat kuat. Ia berfatwa pada umur 20 tahun;
6. Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiah (w. 728 H), sudah berfatwa sebelum sampai di umur 20 tahun;
7. Muhammad bin Abd al-Rahman al-Qazwaini (w. 739 H), berfatwa sebelum umur 20 tahun;
8. Ahmad bin Hasan Jalal al-Din al-Hanafi (w. 745 H), menjadi jaksa berumur 17 tahun;
9. Ali bin Muhammad al-Sakandari al-Mishry (w. 807 H). Di umur 10 tahun, ia menggantikan kedudukan ayahnya;
10. Muhammad bin Ali al-Syaukani al-Shan’ani (w. 1250 H) berfatwa pada umur 20 tahun.
Namun ada yang tidak kalah ‘dahsyat’. Yakni ulama yang meninggal di usia muda, namun karir intelektual sampai pada level mencengangkan. Ini sekaligus masuk pada tipologi kedua: ulama yang mempunyai capaian menakjubkan di usia relatif muda, sedangkan umur mereka ternyata tidak sampai pada batas lebih dari 40 tahun.
Ali Al-Imran memetakan dengan sangat baik dominasi capaian ulama yang usianya memenuhi kriteria di atas: baik itu dari sisi kecerdasan (seperti pada Ibnu Abdi al-Hadi, Zaid bin Abi Unaisah, Ali bin Abdul Kafi), kuatnya hapalan (seperti pada Abdullah bin Muhammad Al-Sa’di, Sufyan bin Ziyad, Ibrahim Marwazi), karangan kitab yang melimpah (seperti pada Abdul Hay al-Liknawi yang karangan kitabnya mencapai nominal 100), maupun keseriusan dalam belajar (seperti pada al-Hazimi maupun Umar bin Hajib).
Meskipun, sejatinya, ada satu atau dua sosok ulama yang luput dari pengamatan Ali Imran. Seperti tokoh besar Abdurrahman al-Akhdlari, ulama yang dikenal sebagai penyusun matan Sullam dalam disiplin Mantiq. Ia menyusun bait Sullamnya pada umur 21 tahun. Karyanya dipelajari di sekolah sekolah Islam. Dan ia meninggal di umur 33 tahun.
Ali Al-Imran menyematkan tipologi kedua pada sekitar 150 ulama, membentang dari abad I H sampai XV H: dari golongan shahabat, Mu’adz bin Jabal (umur 36 tahun) sampai nama nama di abad XV H. Diantara yang masyhur adalah Umar bin Abdul Aziz (umur 40 tahun), Ibnu al-Barhan (umur 39 tahun), al-Hazimi (36 tahun), Suhrawardi (38 tahun), Ibnu al-Hajib (37 tahun), Ibnu al-Mundziri al-Hafidz (30 tahun), Ali bin Abdul Kafi (26 tahun), Syaikh al-Islam Ahmad bin Abd al-Rahman al-Maqdisi (38 tahun), al-Sirafi (28 tahun), Ibnu al-Birzali (18 tahun), Muhammad bin Abdul Kabir al-Kattani (38 tahun), dan lain sebagainya.
Batasan usia, menurut Ali Imran, menjadi penting, karena secara otomatis juga akan membatasi penyebutan tokoh tokoh yang mungkin saja jumlahnya akan sangat banyak apabila tidak dipatok di umur 40 tahun. Tentu tanpa menafikan nama-nama besar yang kebetulan wafat pada kisaran 40-50 tahun, seperti Imam Nawawi, misalnya. Sekadar untuk “tabarruk”, beberapa ulama yang meninggal sebelum umur 50 tahun diantaranya:
1. Imam Nawawi (umur 45 tahun)
2. Al-Qasimi (umur 49 tahun)
3. Ibnu Syuhanah (43 tahun)
4. Ahmad al-Jili (45 tahun)
5. Muhammad bin Abd al-Rahman al-Tha’I (46 tahun)
6. Ruslan al-Bulqini (47 tahun), dan seterusnya.
Termasuk ulama yang meninggal pada kisaran usia ini adalah Badr al-Din al-Zarkasyi (49 tahun) dan Muhammad bin Dawud al-Dzahiri (42 tahun).
Jika mereka di umur belasan tahun sudah berfatwa, dan di umur kurang dari 40 tahun sudah menorehkan tinta abadi, tentu tidak bermaksud untuk mengendurkan semangat para pengkaji agama di usia tuanya. Sebut saja garda depan dalam Nahwu, Ali bin Hamzah al-Kasai (w. 189 H), yang tergerak mempelajari ilmu nahwu baru setelah masuk kepala lima.
Kemudian ada nama Abu Bakar Abdullah bin Ahmad al-Marwazi al-Khurasani (w. 417 H), atau al-Qaffal al-Shaghîr, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Dzahabi, baru mendalami fiqh di usia 30 tahun. Meskipun demikian, ia mendapat gelar istimewa: “Syaikh al-Khurasaniyyin” dan “Syaikh al-Syafi’iyyah”. Selanjutnya Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H), seorang ulama besar nan agung, juga baru mendalami agama di usia lanjut.