Suatu hari di bulan September 1926, seorang
jurnalis muda tengah duduk termenung di tengah-tengah penumpang lain dalam
kereta menuju Berlin. Dia pandangi satu persatu wajah para penumpang lain,
semua tampak kosong dan tidak bahagia.
Eropa dengan segala kegelimangannya,
kehebatan kebudayaannya, capaian-capaian teknologinya, progresifitas laju
kehidupannya, ternyata gagal membuat tenang hati masyarakatnya. Di sudut-sudut
lain wartawan tersebut mendapati hal yang sama, kemurungan tampak di wajah
semua orang. Ia membatin, jauh di sana, entah di mana, pasti ada ketenangan
sejati.
Jalan Menuju Mekah, memoar Muhammad Asad yang menginspirasi ribuan orang Eropa membaca
Syahadat
Jurnalis berhati kapas itu bernama
Leopold Weiss, yang hingga saat ini dikenal dunia sebagai Muhammad Asad.
Beberapa hari setelah renungan di kereta
tersebut Weiss membaca dua kalimat syahadat, saat itu ia sama sekali tindak
nyana bila langkah tersebut diikuti oleh ribuan non muslim Eropa lainnya.
Weiss lahir dari keluarga Yahudi, bahkan
kakeknya adalah seorang rabi yang disegani. Di hari kematiannya pada tahun
1992, Weiss terkenal sebagai salah satu intelektual abad 20 paling ternama,
baik di kalangan muslim maupun non muslim.
Imran Khan, Perdana Menteri Pakistan meletakkan Leopold Weiss (Muhammad
Asad) sebagai sumber inspirasinya dalam menempuh jalan suci meninggalkan hidup
berfoya-foya
Jalan Menuju Mekah, memoar Weiss yang
paling masyhur, berhasil memperkenalkan Islam ke jutaan orang. “Selain
Al-Qur’an, besar kemungkinan tidak ada buku lain yang mampu menandingi memoar
tersebut dalam menginspirasi orang memeluk Islam,” tulis Murad Hofmann, seorang
diplomat asal Jerman yang juga mualaf lantaran buku itu.
Perdana menteri Pakistan, Imran Khan, yang juga seorang atlet kriket yang dulu dikenal playboy,
hidup glamor, dan doyan foya-foya meletakkan Muhammad Asad sebagai motivator
utama dalam menggerakkannya menempuh jalan suci. Bahkan pemikiran politik Sayyid Qutb
sedikit banyak terpengaruh oleh karangan-karangan Muhammad Asad. Margaret
Marcus, seorang pemudi Yahudi, selepas menghatamkan Jalan Menuju Mekah langsung
meninggalkan New York menuju Lahore.
Margaret merubah namanya menjadi Maryam
Jameelah dan memutuskan untuk menjadi sarjana muslim.
Terjemahan Al-Qur’an Muhammad Asad
sering dibilang sekelas dengan milik Marmeduke Pickthal dan Abdullah Yusuf Ali.
Tiga terjemahan yang paling berpengaruh dalam memperkenalkan Al-Qur’an di
Barat.
Pengalaman Weiss dalam kereta tersebut
acap kali ia kemukakan dalam berbagai kesempatan, termasuk juga ia tulis dalam
buku autobiografi. Hidayah yang agaknya sulit untuk ia jelaskan dengan kata-kata.
Dalam bingkai sejarah, boleh jadi, apa
yang ia alami dan saksikan pada tahun-tahun tersebut adalah horor mengerikan
Perang Dunia I yang tak kunjung usai, yang tidak lama berikutnya disambut
Perang Dunia II dengan momok yang jauh lebih mengerikan. Nilai-nilai
kemanusiaan menjadi pertanyaan besar. Keringnya spiritualitas manusia menusuk-nusuk
ruang gerak pikiran Weiss.
Abad pencerahan di Eropa melahirkan
dunia modern yang semakin mendekatkan manusia dengan akal pikirannya sendiri,
namun sebaliknya malah menjauhkan semua orang dari hati nurani masing-masing,
agaknya ketidak-seimbangan ini yang terus menerus merasuki alam permenungan
Asad. Wawasan Judaisme yang ia ketahui tidak mampu mengurai cemarut tersebut,
keheningan dan moderatisme Islam yang kemudian menarik perhatiannya.
Weiss melewatkan masa kecilnya di Lviv,
sebuah kota yang saat ini menjadi bagian dari teritori Ukraina. Masa
kanak-kanaknya biasa ia isi dengan berkunjung ke daerah perbukitan juga ladang
sawah milik keluarganya, sejak kecil ia terbiasa menjalin kontak dengan
gadis-gadis yang menjadi buruh tani di sana.
Meskipun orang tuanya sehari-harinya
tidak begitu religius, Weiss kecil cukup akrab dengan kitab-kitab penting agama
Yahudi, hal ini lantaran ia memiliki beberapa tutor privat yang dipekerjakan
sang ayah. Setelah menjadi mualaf, serpihan-serpihan kenangan dengan para guru
‘ngaji’ tersebut cukup membantunya memahami Al-Qur’an.
“Berkat para tutor tersebut juga, ketika
berusia 13 tahun, saya tidak hanya lancar berbahasa Ibrani, namun juga tahu
banyak tentang bahasa Aramaik,” tulis Asad dalam memoar.
Ia sama sekali tidak terpikir bakal
mendalami ilmu agama, ketika memutuskan untuk masuk perguruan tinggi ia
terobsesi mempelajari sejarah seni. Ia juga tertarik dengan filsafat, hari demi
hari ia lalui dengan menyelaminya dalam buku-buku dan lingkar diskusi.
Filsafat dan kesenian mengantarkan dia mengenal banyak hal tentang kesusasteraan, dari sana pula ia menjadi tertarik
dengan konsep-konsep psikoanalisa Sigmund Freud. Seperti layaknya intelektual
muda pada umumnya, Weiss mencari jawaban filosofis atas sekarung pertanyaan
dalam pikirannya tentang ulah manusia yang telah melumpuhkan dunia dengan
serangkaian peperangan.
“Eropa kala itu tengah menuai krisis
moral yang drastis. Peradaban Barat hampir memusnahkan eksistensinya sendiri
selama perang. Satu generasi hampir musnah di medan tempur. Namun sisi baiknya adalah
kurun tersebut telah menjadi periode dinamis bagi dunia Barat. Banyak manusia
tidak terpatri oleh dogma-dogma modernitas yang kemudian tergiring mencari prinsip
baru dalam kehidupan, terutama dalam memuaskan dahaga spiritualitas.” Tulis
Martin Kramer, seorang sejarawan Israel ketika menyinggung Muhammad Asad.
“Begitulah satu cara dalam memahami
sosok Muhammad Asad. Dia tidak berangkat dari ranah politik maupun lingkup
kebudayaan, melainkan hasil refleksi dari puing-puing kehancuran akibat perang.”
Lanjutnya.
Dogma dan nilai-nilai yang tertanam
dalam tubuh Eropa juga kebudayaan Viktoria luluh lantah oleh peperangan ketika
negara-negara saling bermusuhan dengan bergantian menjatuhkan bom dan unjuk
taring militer.
Penderitaan demi penderitaan berdatangan
sehingga mendorong manusia mencari ketenangan jiwa dengan memperkuat benteng
spiritual. Ekonomi Jerman menanggung kemerosotan yang mengharuskannya menyusun
kembali segala aspek. Terjadinya inflasi mengakibatkan masyarakat kelas
menengah menjual furnitur serta harta benda mereka untuk bertahan hidup.
Seorang Weiss muda yang gigih dan giat
pada titik tersebut juga merasa kesulitan menentukan jalan ke depan, ia
tinggalkan bangku kuliah demi mengejar karir sebagai penulis. Ayahnya sangat
tidak mendukung keputusan tersebut sampai-sampai berhenti mengiriminya uang.
Weiss seorang diri hijrah ke Berlin, ia
menghibur diri dengan berbagai aktifitas kesenian untuk sementara waktu, ia
juga menulis skenario film dan sesekali menghabiskan malam-malam yang kelam
dengan mabuk-mabukan dan bermain wanita. Sebagian besar waktu yang ia lalui
membuatnya kwalahan dalam mencukupi kebutuhan finansial.
Weiss sempat bekerja sebagai wartawan
berita dan mendapat sorotan ketika berhasil mewawancarai Madame Gorky, istri
penulis Rusia terkenal Maxim Gorky. Meski demikian, secara garis besar, Weiss
boleh dibilang tidak benar-benar mapan. Eropa benar-benar tidak mampu menjadi kediaman
yang nyaman baginya.
Ada hal lain yang mengusik hati Weiss,
yakni keterpanggilannya untuk menapaki jalan Islam yang dipenuhi cahaya. Sebuah
jalan yang kemudian hari mendorongnya menziarahi Yerusalem dan kota-kota suci
lainnya.