Usaha Ibnu Rusyd untuk menghubungkan akal dan wahyu sangat sistematis. Akan tetapi pembatasan makna akal pada kemampuan berpikir demonstratif yang hanya dimiliki oleh filosof, mengundang berbagai pertanyaan. Dia tampak seperti berlebihan dalam menilai kemampuan akal dan metode demonstrasi, sementara itu ia juga tidak mengamalkan takwil yang berasaskan al-burhan dalam membahas isu-isu filsafatnya.
Demikian pula apabila Ibnu Rusyd memberikan otoritas kepada filosof untuk mentakwilkan wahyu, melebihi yang lain. Dia telah mendahulukan akal dari pada wahyu dan ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu. Pandangan Ibnu Taimiyah adalah sebaliknya, yaitu memberi prioritas kepada wahyu. Namun, ia tidak mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan pengetahuan akal yang berpikir benar, tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibnu Taimiyah tidak memiliki status independen seperti dalam pandangan Ibnu Rusyd.
Berbeda dengan ar-Razi, seorang pemikir Muslim terkemuka. Baginya, akal tidak dapat menjadi asas bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu, maka ia melihat itu hanya karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia memandang perlunya pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar, dan inilah esensi konsep takwil menurut Ibnu Taimiyah.
Kebenaran yang diperoleh melalui akal dalam titik tertentu bisa mempunyai kedudukan yang setingkat dengan wahyu. Maka dari itu, pintu masuknya bukanlah keimanan yang didasari oleh taqlid buta, melainkan kesaksian yang penuh kesadaran (syahadah). Proses kesadaran inilah yang sebetulnya memberikan ruang bagi akal untuk mencapai kebenaran setingkat wahyu. Akal dalam hal ini melalui metode induksi Ibnu Rusyd (observasi dan eksperimen), bisa membaca tanda-tanda alam dan menemukan kebenaran di dalamnya. Wahyu (al-Qur’an) adalah inspirasi. Di dalamnya terdapat hukum-hukum dan pengetahuan yang bersifat umum dan pernyataan-pernyataan final.
Akal secara fitrahnya juga sudah ter-setting untuk mendeskripsikan tentang kebenaran. Akal dapat mengetahui perbedaan perbuatan buruk dan baik, cinta dan benci, kebohongan dan kebenaran, yang batil dan yang hak. Kata Ibnu Taimiyah, seandainya Allah tidak menurunkan agama, manusia dengan akalnya bisa mengetahui hakikat tentang Tuhannya dan kebenaran itu sendiri. Namun secara fitrahnya manusia mempunyai kelemahan, lemah dalam menahan nafsu sehingga mudah tertipu daya, suka tergesa-gesa, tidak cermat, dan lain-lain.
Baca juga: Kiprah Al-Kindi Menyelaraskan Agama Dan Filsafat
Maka disinilah urgensi wahyu, sebab manusia tidak hanya perlu mengetahui hakikat kebenaran namun juga perlu ditunjukan jalan atas kebenaran itu sendiri. Wajar jika kemudian Ibnu Taimiyah memposisikan akal sebagai instrumen syarat atau watak gharizah. Sebab ketika akal difungsikan sebagai gharizah, maka ia bisa sejajar dengan wahyu. Gharizah akal akan menjadi syarat bagi segala macam ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah, akal dipahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (aqli qath’i).
Sudut pandang Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah
Dalam tradisi filsafat Islam, persoalan hubungan antara wahyu dan akal merupakan isu yang selalu hangat diperdebatkan. Isu ini menjadi penting karena memiliki kaitan dengan argumentasi-argumentasi para mutakallimun dan filosof dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep ilmu, konsep etika dan lainnya. Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan takwil menjadi topik yang penting.
Filosof Muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibnu Rusyd dengan karyanya Fasl al-Maqal dan Ibnu Taimiyah penulis buku Dar Ta’arud al-aql wa al-naql yang sebelumnya diberi judul Muwafaqat sarih al-ma’qul ala sahih al-manqul. Yang pertama mencoba menjelaskan hubungan, sedangkan yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan kesesuaian.
Sebagian pemikir menganggap karya Ibnu Rusyd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibnu Taimiyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran mereka, kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda. Ibnu Rusyd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan filsafat bertentangan dengan agama, tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama.
Berbeda dari Ibnu Rusyd, perhatian Ibnu Taimiyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufisme, teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat. Dalam membahas masalah wahyu dan akal, Ibnu Rusyd menggunakan prinsip hubungan (ittishal) yang dalam argumentasi-argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah.
Argumentasinya adalah; pertama, menentukan kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta, karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu manusia tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat) lebih sempurna pula ilmu manusia tentang Tuhan. Karena wahyu (syar’i) menggalakkan aktivitas bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu.
Kedua, membuat justifikasi bahwa kebenaran yang diperoleh dari demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang diperoleh dari wahyu. Di sini Ibnu Rusyd berargumentasi bahwa, di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya (nadzar) memahami segala yang wujud. Karena nadzar ini tidak lain dari proses berpikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi) yang digunakan menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat).
Hasil dari proses berpikir demonstratif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran. Kedua tesis di atas merupakan asas bagi kesimpulan Ibnu Rusyd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Qur’an.
Baca juga: Filsafat Islam: Keotentikan dan Hukum Mempelajarinya
Syahdan, tesis di atas masih menyimpan satu pertanyaan; adakah kebenaran yang diperoleh akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawaban pertanyaan ini tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat dipahami dari teori Ibnu Rusyd mengenai kemampuan akal dalam memahami wahyu, dan tentang wahyu yang diklasifikasikan ke dalam makna.
Berdasarkan pada kemampuan akal manusia, Ibnu Rusyd membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok; pertama; kelompok yang tidak dapat menafsirkan al-Qur’an, kedua; kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan secara dialektik, dan ketiga; kelompok yang mampu menafsirkan secara demonstratif disebut ahl al-burhan. Akal dalam klasifikasi ini dipahami sebagai kemampuan untuk berpikir dan memahami.
Sedangkan wahyu dibagi ke dalam tiga bentuk makna yang terkandung di dalamnya yaitu; pertama, teks yang maknanya dapat dipahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif); kedua, teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud; dan makna batin, yaitu teks yang mengandung ide-ide itu sendiri dan hanya dapat dipahami oleh yang disebut ahl al-burhan; ketiga, teks yang bersifat ambigu antara dzahir dan batin.
Teks wahyu tersebut juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat dipahami dengan akal. Nampaknya, yang dimaksud Ibnu Rusyd sebagai hubungan (ittishal) adalah hubungan antara ayat-ayat yang mengandung makna batin dan kemampuan akal untuk memahami dengan metode demonstratif. Karena itu, menurutnya perkataan al-rasikhun fi al-ilm (al-Qur’an: 3:7) adalah mereka yang memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi, yaitu para filosof.
Baca juga: