Musim dingin sudah mulai berlalu meski
semilir angin dingin masih berhembus di lembah sungai Nil. Perayaan hari Syammu
an-Nasim tahun ini terasa istimewa bagi rakyat Mesir dengan kemenangan pasukan
Kesultanan Ayyubiyah atas Tentara Salib pimpinan Raja Loius IX. Kalender
menunjukkan tanggal 6 April 1250 ketika seluruh Tentara Salib diluluhlantakkan
oleh para tentara Mamluk
dan penduduk kota al-Mansurah. Peristiwa ini akan terus abadi ditulis dengan
tinta emas dalam lembaran sejarah Mesir. Perang Salib ketujuh dimenangkan oleh
Mesir, begitulah yang akan diingat penduduk Mesir dan dunia selamanya.
Kemenangan tentara Kesultanan
Ayyubiyah ini tidak lepas dari peran seorang wanita cantik nan cerdas istri
dari mendiang Sultan ash-Shalih Ayyub, Syajarah
ad-Durr. Dialah pohon permata yang berdiri tegar memimpin Mesir di saat
perang berkecamuk sementara suaminya baru saja meninggal. Dia bukan wanita
cengeng yang larut dalam kesedihan saat orang tercintanya wafat. Dia justru
bangkit melawan kesedihannya sendiri dan berjuang menyelamatkan Mesir dari
invansi Tentara Salib.
Dengan kecerdasannya dia bermanuver
memimpin para Mamluk agar mental mereka tetap kuat dan terus berjuang menjaga
Mesir dari serangan Tentara Salib. Strateginya yang brilian dengan
menyembunyikan kematian sultan dan memanggil putra sultan, Turansyah untuk
kembali dari pengasingan dan membantu memimpin tentara Mamluk benar-benar
membuahkan hasil. Sebuah catatan sejarah tak terbantahkan, Tentara Salib yang
beribu-ribu itu tumbang dan Loius IX ditangkap dijadikan tawanan.
Kini Perang Salib ketujuh telah usai, menyisakan
Kota al-Mansurah yang menjadi saksi kedigdayaan Kesultanan Ayyubiyah. Di kota
itu ribuan Tentara Salib dipenjara termasuk Raja Loius IX. Kelak, sebagian dari
Tentara Salib yang enggan pulang ke Eropa memilih menetap di al-Mansurah,
berkonversi menjadi Muslim, dan menikahi gadis-gadis Mesir. Keturunan mereka
kini banyak mendiami kota tersebut. Maka tak ayal pria-pria al-Mansurah
termasuk yang paling tampan di Mesir. Begitu pula wanita-wanitanya, sangat
cantik jelita. Hal ini karena percampuran ras Eropa dan Arab Mesir.
Perang dengan bangsa Eropa memang
telah usai, tapi masalah internal Kesultanan Ayyubiyah justru baru dimulai.
Setelah kemenangan melawan Tentara Salib, al-Muazzam Turansyah resmi naik tahta
menjadi sultan Dinasti Ayyubiyah. Namun Syajarah ad-Durr dan para jenderal
Mamluk tidak menyukai Turansyah. Ia dikenal sebagai lelaki pemabuk dan senang
bermain pelacur. Apa jadinya kesultanan sebesar Ayyubiyah jika diserahkan
kepada seorang sultan yang demikian? Maka kekuasaan Kesultanan Ayyubiyah tidak
begitu saja diserahkan pada Turansyah. Dengan kata lain Turansyah tak
benar-benar berdaulat di Mesir. Hal ini juga akibat kertas kosong bertanda
tangan Sultan ash-Shalih Ayyub yang masih memiliki kekuatan politik di mata
masyarakat Mesir.
Melihat kekuatan politik yang dimiliki
ibu tirinya, Syajarah ad-Durr dan para Mamluk yang dahulu merupakan orang-orang
kepercayaan ayahnya, Turansyah tidak tinggal diam. Ia bermanuver dengan
memenjarakan para pejabat yang berafiliasi ke Mamluk dan mengganti pejabat-pejabat
lama dengan orang-orang dekatnya. Bahkan Turansyah mengganti wakil sultan
dengan sahabatnya sendiri yang ikut dari Hasankeyf.
Setelah dirasa dirinya telah cukup
memiliki kekuatan, Turansyah pun mengirimkan surat ke Syajarah ad-Durr yang
saat itu berada di Yerussalem. Isi suratnya adalah ancaman agar Syajarah
ad-Durr tidak macam-macam dengannya dan segera menyerahkan harta kekayaan hasil
pemberian ayahnya, Sultan ash-Shalih Ayyub. Mendapatkan ancaman dari anak
tirinya, Syajarah ad-Durr mengadu kepada para jenderal Mamluk yang setia
kepadanya. Mendengar aduannya, para jenderal Mamluk terutama pemimpin mereka,
Faris ad-Din Aktai pun marah besar. Para Mamluk yang sedari awal sudah tidak
menyukai Turansyah, semakin terbakarlah kebencian mereka. Apalagi mereka sudah
menganggap Syajarah ad-Durr sebagai pemimpin mereka yang menggantikan
ash-Shalih Ayyub.
Akhirnya Syajarah ad-Durr dan para
Mamluk segera menyusun siasat untuk menghabisi Turansyah. Mereka pun menunggu
Turansyah dan para pengikutnya terlena. Saat yang tepat adalah ketika Turansyah
dan para pengikutnya sedang dalam keadaan mabuk, karena itulah kebiasaan
mereka. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tersebut tiba.
28 Muharram 648 Hijriah atau
bertepatan dengan 2 Mei 1250 Masehi, Turansyah mengadakan pesta besar. Bisa
dipastikan mereka yang ikut pesta minum minuman keras, karena itu adalah menu
wajibnya. Di akhir pesta, Baibars al-Bunduqdari dan sekelompok tentara
Mamluk menyerbu masuk tempat pesta dan mencoba membunuh Turansyah. Ia pun
terluka, karena tampaknya pukulan pedang Baibars telah membelah
tangannya. Dalam keadaan terluka, Turansyah berhasil melarikan diri ke
menara di sebelah Sungai Nil.
Para Mamluk mengejarnya dan membakar
menara itu. Turansyah dipaksa turun oleh api yang berkobar di bawahnya. Ia
pun mencoba lari ke sungai, tapi tulang rusuknya telah tertusuk tombak. Dia melarikan diri ke sungai
dengan tombak yang menancap di dadanya. Para pengejarnya berdiri di tepi
sungai dan terus menembakinya dengan panah, bahkan ketika dia memohon dan menawarkan untuk turun tahta demi nyawanya.
Namun siapa peduli dengan rengekan Turansyah? Tidak dapat membunuhnya dari
tepi sungai, Faris ad-Din Aktai sendiri mengarungi aliran sungai Nil dan membacok
Sultan sampai mati kemudian mencongkel jantungnya dan membawanya ke Raja Louis
IX yang saat itu sedang menjadi tawanan, dengan harapan mendapat hadiah
darinya.
Turansyah menjadi sultan terakhir Dinasti
Ayyubiyah. Sebenarnya setelah Turansyah terbunuh masih ada garis keturunan
Ayyubiyah yang menjadi sultan yaitu al-Asyraf Musa yang dilantik oleh seorang
Mamluk bernama Aybak, namun saat itu al-Asyraf Musa masih berusia enam tahun.
Sehingga tidak mampu mempertahankan kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sementara di
lain pihak para Mamluk yang berada di luar Mesir terus merangsek masuk dan
menyerang Mesir.
Sehari setelah Turansyah terbunuh,
pagi-pagi benar para Mamluk dan amir berkumpul di dihliz (semacam beranda yang
menjadi perantara ruang istana dan halaman) istana Kesultanan Ayyubiyah di
Citadel Kairo. dan memutuskan untuk mengangkat Syajarah ad-Durr sebagai ratu
baru dengan ‘Izz al-Din Aybak sebagai Atabeg (panglima tertinggi).
Syajarah ad-Durr diberitahu tentang
hal ini di kediamannya di dalam benteng Shalahuddin Kairo dan dia setuju.
Syajarah ad-Durr kemudian memakai nama kerajaan “al-Malikah ‘Ismat ad-Din
Ummu Khalil Syajarah ad-Durr” dengan beberapa gelar tambahan seperti
“Malikat al-Muslimin” (Ratunya Orang-orang Muslim) dan “Walidat
al-Malik al-Mansur Khalil Amir al-Mu’minin “(Ibu al-Malik al-Mansur Khalil
Amirnya Orang-orang Yang Beriman).
Nama Syajarah ad-Durr disebutkan dalam
setiap shalat Jumat di masjid-masjid. Terkadang Ia disebut juga dengan nama
“Ummu al-Malik Khalil” (Ibu al-Malik Khalil) dan “Sahibat
al-Malik as-Salih” (Istri al-Malik as-Salih). Koin-koin uang dicetak
dengan gelarnya dan dia menandatangani dekrit dengan nama “Walidat
Khalil”. Syajarah ad-Durr menggunakan nama mendiang suaminya dan putranya
yang telah meninggal demi untuk mendapatkan rasa hormat dan legitimasi atas
pemerintahannya sebagai pewaris Kesultanan dari keluarga Ayyubiyah.
Setelah memberi penghormatan kepada Syajarah
ad-Durr, Amir Hussyam ad-Din dikirim ke Raja Louis IX yang masih dipenjara
di Al-Mansurah dan disepakati bahwa Raja Louis IX akan meninggalkan Mesir
hidup-hidup setelah membayar setengah dari tebusan yang dikenakan padanya
sebelumnya dan menyerahkan kota Dimyath sebagai ganti nyawanya. Raja Louis IX
pun menyerahkan kota Dimyath yang sempat dikuasai Pasukan Salib dan berlayar ke
Acre Pada tanggal 8 Mei 1250, ditemani oleh sekitar 12.000 tahanan perang yang
dibebaskan.
Bersambung…