Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Sultan An-Nasir Hasan: Dari Wabah Hingga Dijebloskan ke Penjara

Avatar photo
32
×

Sultan An-Nasir Hasan: Dari Wabah Hingga Dijebloskan ke Penjara

Share this article

Untuk bisa memahami kisah Sultan an-Nasir Hasan
secara komprehensif silakan membaca terlebih dahulu bagian pertama kisah ini berjudul
An-Nasir Hasan: Sultan Muda di Tengah
Kemelut Politik Mamluk” di
sini.

Belum genap satu tahun an-Nasir Hasan naik
tahta, Ia sudah menghadapi masalah berat yang menerpa kesultanan Mamluk di
Mesir. Musim gugur tahun 1348 Masehi menjadi saksi berjatuhannya banyak nyawa
di Mesir. Wabah Hitam (black death) yang sebelumnya hanya ada di Eropa kini
telah sampai di Mesir melalui jalur perdagangan Turki dan Syam. Tangis
anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan rintihan orang-orang sakit menggema
di setiap sudut kota Kairo. Langit serasa menghitam oleh kesedihan yang
menyayat hati penduduk ibu kota Mesir.

Jalanan kota Kairo yang biasanya ramai kini
sepi lengang. Masjid-masjid kosong dari jamaah. Pasar-pasar tutup. Sedangkan
rumah-rumah menutup rapat pintu dan jendalanya. Tidak ada warga Kairo yang
keluar dari rumahnya. Di sisi lain komplek pemakaman Qarafa ramai sibuk dengan
prosesi pemakaman ribuan jenazah. Ribuan jiwa tak tertolong. Banyak rumah
kehilangan penghuninya karena seluruh isi rumah mati karena penyakit wabah
Hitam. Banyak harta tak lagi memiliki pewarisnya sehingga diakuisisi oleh
kerajaan. Konon begitu mencekamnya kota Kairo hingga tidak ada penduduk Kairo
yang mau membukakan pintu untuk tetangganya dan para orang tua harus rela
meninggalkan anak-anaknya yang terkena wabah Hitam ini menjemput ajalnya.

Wabah hitam ini menjadi bencana bagi penduduk
Mesir sekaligus menjadi ujian berat bagi kekuasaan sultan an-Nasir Hasan di
tahun pertama pemerintahannya. Sultan yang bernama kecil Qumari itu pun harus
disibukkan dengan urusan pandemi yang memuncak di bulan Oktober hingga Desember
1438. Empat amir yang mewakili kekuasaannya pun harus sibuk memikirkan
perekonomian yang memburuk akibat wabah. Perdagangan di dalam dan ke luar
negeri terhenti total. Bahkan mereka pun harus banyak kehilangan ulama-ulama
terbaiknya di masa itu. Para tentara yang bertubuh kekar pun tak luput dari
bencana kesehatan ini.

Awal tahun 1349 wabah Hitam mulai bisa
dikendalikan, meski sudah menelan banyak korban. Bulan Februari 1349 wabah Hitam
dinyatakan telah berakhir Mesir. Roda perekonomian kembali berjalan.
Jalan-jalan utama Kairo mulai dipenuhi pedagang dan orang-orang yang
berlalu-lalang. Masjid-masjid kembali dipenuhi jamaah. Madrasah-madrasah
kembali ramai oleh para penuntut ilmu. Kehidupan kota Kairo perlahan membaik.

Pulihnya kehidupan masyarakat membuat para
politisi kembali melakukan konsolidasi internal kelompok mereka. Sikut-menyikut
kepentingan antar klan yang sempat terhenti di saat bencana wabah kini
berlanjut kembali. Masing-masing klan kembali siaga menghadapi setiap manuver
lawan politiknya. Era Dinasti Mamluk memang masa paling panas dan berdarah
dalam sejarah Mesir Islam. Pertikaian politik berlangsung hampir setiap hari di
sepanjang tahun. Meski di era ini pula bangunan-bangunan megah kota Kairo
dibangun. Masjid-masjid dibangun hampir di setiap sudut kota Kairo. Madrasah-madrasah
didirikan untuk para penuntut ilmu. Khanqah-khanqah dibuat untuk tempat
beribadah para sufi. Begitu juga infrastruktur-infrastruktut publik yang lain
seperti benteng, tempat minum musafir, dan sarana belajar anak-anak banyak
didirikan di masa ini.

Salah satu bangunan megah yang dibangun di era
Mamluk adalah Madrasah dan Masjid Sultan Hasan. Bangunan yang memiliki panjang
kurang lebih 76 meter dan tinggi 36 meter ini memiliki fungsi ganda, yaitu
menjadi sekolah bagi para penuntut ilmu dari empat madzhab fikih dan menjadi
masjid.

Madrasah dan masjid Sultan Hasan dibangun dari
hasil mengumpulkan harta-harta peninggalan penduduk Kairo yang wafat ketika
terjadi wabah Hitam dan mereka tidak lagi memiliki ahli waris. Pembangun
madrasah dan masjid ini dimulai di tahun 1356 Masehi, satu tahun setelah Hasan
terbebas dari tahanan rumah dan memulai masa kekuasaannya yang kedua. Namun
hingga kelak sang sultan wafat, madrasah dan masjid ini belum juga selesai
dibangun. Madrasah dan masjid ini juga diproyeksikan menjadi makam bagi Sultan Hasan
jika kelak wafat. Namun karena jenazah Hasan tidak pernah ditemukan hingga hari
ini, maka makam yang ada di madrasah dan masjid ini ditempati oleh jenazah
putranya.

Di bulan Februari 1360 kecelakaan besar menimpa
proyek pembangunan madrasah dan masjid ini. Menara ketiga yang berketinggian
puluhan meter menjulang ke langit runtuh menimpa para pekerja. Sekitar tiga
ratus orang kehilangan nyawa dalam kecelakaan ini. Setelah kejadian tersebut
menara keempat batal dibangun. Menara yang runtuh itu pun tidak lagi
diperbaiki. Dari empat menara yang rencananya akan dibangun, akhirnya hanya dua
menara yang sukses terselesaikan.

Saat sudah memasuki usia dewasa an-Nasir Hasan
menikah dengan Tulubiyya (w. 1363), putri salah satu amir ayahnya, Abdullah
an-Nasiri. Dengan dia dan mungkin juga dengan istri atau selir lainnya,
an-Nasir Hasan memiliki sebelas putra dan enam putri. Putra-putranya
adalah Ahmad (w. 1386), Qasim (w. 1358), Ibrahim (w. 1381), Ali, Iskandar,
Sya’ban (w. 1421), Isma’il (w. 1397), Yahya (w. 1384), Musa, Yusuf dan
Muhammad. Sementara itu dari enam putrinya, hanya Shaqra (w. 1389) yang
tercatat dalam sejarah. Putrinya ini menikah dengan Amir Baybugha
al-Qasimi (juga dikenal sebagai Aurus), salah satu amir utama kesultanan
pada masa pemerintahan an-Nasir Hasan.

Setelah merasa dewasa, Hasan merasa tidak lagi
membutuhkan perwalian dari para amir. Ia berniat untuk mengambil kekuasaan yang
menjadi haknya dari para amirnya. Dia pun mengumpulkan dewan hakim yang terdiri
dari empat hakim ketua. Di depan dewan hakim, Ia menyatakan bahwa dirinya sudah
tidak lagi membutuhkan perwalian para amir dan akan mengambil kekuasaan
eksekutif dari para amir.

Rencana pengambil alihan kekuasaan itu dimulai Hasan
dengan memecat Amir Manjak al-Yusufi dari posisinya sebagai wazir dan Ustadar
(kepala staf kesultanan). Beberapa bulan kemudian upaya Hasan mengambil
kekuasaan dari para amir ini dihentikan oleh Amir Taz an-Nasiri.

Pagi itu adalah puncak musim panas, pertengahan
Agustus 1351 Masehi, dengan membawa prajurit yang setia kepadanya, Amir Taz
an-Nasiri menangkap Sultan an-Nasir Hasan dan menggiringnya untuk dijadikan
tahanan rumah. Hasan dikurung di tempat tinggal ibu mertuanya, Khawand, di
dalam gedung khusus para harim di Citadel Kairo.

Hasan adalah seorang pemuda yang sangat giat
belajar. Terbukti masa tahanannya dia gunakan untuk mempelajari teologi Islam
khususnya karya-karya cendekiawan madzhab Syafi’i al-Bayhaqi. Dia juga
mengkhatamkan kitab Dalail an-Nubuwwah. Hasan juga dikenal sebagai seorang
sultan Mamluk yang mahir dalam ilmu bahasa Arab dibandingkan para pendahulunya
sehingga para sejarawan menggambarkannya sebagai sosok sultan yang sangat
berbudaya.

Di luar tahanan, Amir Taz bermanufer politik
dengan mengangkat ash-Shalih Shalih, saudara tiri dari Hasan sebagai sultan
yang baru. Tentu saja pengangkatan ini bukan murni pengangkatan seseorang menjadi
sultan, akan tetapi di baliknya ada rencana licik dari Amir Taz untuk
memperalat ash-Shalih Shalih dan menjadikannya boneka yang bisa dengan mudah Ia
kendalikan. Dengan begitu jabatan dan kenyamanan fasilitas yang selama ini Ia
dapatkan tidak akan hilang dengan tersingkirnya Hasan dan naik tahtanya
ash-Shalih Shalih.

Ash-Shalih Shalih menjabat sebagai sultan
selama tiga tahun. Selama itu pula Amir Taz menjadi orang memiliki kekuasaan
terkuat di kesultanan Mamluk Mesir. Sementara itu ash-Shalih Shalih—sebagaimana
Hasan di awal kekuasaannya—hanya menjadi boneka dan wayang yang dikendalikan
Amir Taz dari balik layar. Pengendalian ekonomi, militer, politik, dan
birokrasi dikendalikan penuh oleh Amir Taz.

Melalui kekuasaannya mengendalikan pemerintahan
kesultanan Mamluk ini, Amir Taz memperoleh pundi-pundi kekayaan yang berlimpah.
Ia bahkan bisa menghadiahi istrinya sebuah istana semewah istana sultan yang
dibangunnya di jalan Saliba, tidak jauh dari Citadel. Istana Amir Taz ini mulai
dibangun tahun 1352, setahun setelah penggulingan Hasan dari tahtanya. Istana
tersebut kini menjadi museum yang dibuka untuk umum di siang hari. Sementara
malam harinya dijadikan arena pertunjukkan teater dan musik. Sebelum berfungsi
seperti hari ini, istana ini pernah berfungsi sebagai sekolah khusus perempuan
dan gudang penyimpanan oleh kementrian pendidikan Mesir.

 

Kontributor

  • Zulfahani Hasyim

    Alumni Universitas al-Azhar Mesir. Suka menerjemah kitab-kitab klasik. Sekarang tinggal di Banyumas Jawa Tengah.