Dewasa ini ada gerakan mencoba memutuskan hubungan antara generasi Islam mendatang dengan generasi Islam masa lalu.
Pertama, memutus hubungan kita dengan para imam fatwa (ulama fikih) dengan menyuarakan anti taqlid (at-tanfir ‘an at-taqlid).
Kedua, memutus hubungan dengan para Imam taqwa (ulama tasawuf) dengan memperluas makna bid’ah di segala ritual keagamaan, dan memvonis syirik ziarah kubur, dll.
Berkaitan dengan keagungan ilmu Fikih, Imam Shan’ani dalam kitab Qawathi’ al-Adillah mengatakan:
والفقه أعز علم خاض فيه الخائضون
“Fikih adalah ilmu paling agung yang diperdalam seorang santri.” (Beirut: DKI, Juz 2, hlm. 248)
Hal pertama yang beliau anjurkan adalah agar kita mulai menata hidup kita sendiri, karena fikih hakikatnya adalah mengatur kehidupan sehari-hari, maka bagaimana sikap dan pola kita dalam menjalani kehidupan seperti memakai pakaian, membersihkannya, mengatur kerapian rumah, di dalamnya terdapat pengaruh besar terhadap malakah (kemahiran) fikih kita.
Baca juga: Tahapan Belajar Fikih Mazhab Syafi’i
Selanjutnya, ambillah ilmu fikih ini dari seorang guru yang ‘musnid’ dan ‘musnad’. ‘Musnid’ artinya ia adalah guru yang memiliki malakah fikih yang matang sehingga mampu memberikan dan mengajarkan malakah tersebut kepada santrinya, dan ‘musnad’ artinya ia juga merupakan seseorang yang mempelajari fikih tersebut dari seorang guru serupa dan seterusnya.
Qultu: dalam hal ini terkenal ungkapan para ulama:
فاقد الشيء لا يعطي
“Orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberikan sesuatu”
Terkait belajar tanpa guru, Qadhi Iyadh dalam Tartib al-Madarik menuturkan kisah seorang ulama mazhab imam Malik dari Maroko yang bernama Abu Ja’far ad-Dawudi. Imam ad-Dawudi termasuk ulama yang belajar tanpa guru. Meskipun demikian, beliau orang yang sangat alim, bahkan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari banyak mengutip pendapat beliau, karena beliau juga termasuk ulama yang menulis syarah terhadap Shahih al-Bukhari.
Dikisahkan bahwa ketika pasukan Bani Ubaid dari kalangan Syiah menguasai Kairouan Maroko, ulama-ulama di sana memilih untuk tetap tinggal hidup di bawah pemerintahan kaum Syiah. Maka ad-Dawudi sangat menentang hal tersebut, dan menulis surat kepada mereka agar mereka hijrah dari kepemerintahan seperti itu. Kemudian ulama Kairouan membalas surat tesebut dengan mengatakan:
اسكت،لا شيخ لك!
“Diam, kamu itu tidak punya guru!”
Dengan tujuan menjelaskan, andai saja ia mengambil ilmu dengan guru, maka ia akan memahami bahwa menetapnya mereka di sana itu lebih maslahat, karena dengan demikian ajaran Islam yang benar tidak akan lenyap dari sana. Mereka sebenarnya sedang mengamalkan irtikab akhaff dhararain (mengambil resiko yang lebih ringan), dan terbukti saat ini. (Tartib al-Madarik, juz 7, hlm. 102-103)
Kemudian, pelajarilah fikih melalui buku-buku yang benar (kutub shihah). Di antara sifat buku-buku yang benar itu adalah buku tersebut mendapat perhatian yang besar (inayah tammah) dari para ulama. Seperti matan Ghayah wa at-Taqrib, Safinah an-Naja, dll.
Kemudian beliau menegaskan agar kita tidak meremehkan kitab-kitab yang kecil, tapi mulailah dengan kitab-kecil. Beliau menceritakan bahwa guru beliau di Yaman, ketika mengajarkan Safinah an-Naja dan mulai menyebut keutamaan matan tersebut, sang guru berkata:
“Aku membaca kitab Safinah an-Naja 40 kali kepada guru-guruku!”
Hal ini dikarenakan kitab-kitab kecil itulah yang membangun pondasi keilmuan kita. Sehingga apabila perdalam, kita akan bisa menjawab berbagai permasalahan hanya dengan modal Safinah an-Naja.
Baca juga: Menyikapi Perbedaan Pendapat Fikih
Guru yang beliau singgung itu adalah syekh Muhammad bin Ali al-Khathib, seorang Mufti Mazhab Syafi’i di Yaman. Di antara karyanya adalah Risalah Fi Ahkam al-Haidh wa an-Nifas wa al-Istihadhah.
Kemudian pelajarilah fikih secara bertahap. Berkaitan dengan hal ini, beliau menyinggung firman Allah yang berbunyi:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu ‘rabbani’, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS. Ali Imran: 79)
Beberapa ulama menafsirkan kata ‘rabbani’ dengan “orang yang mengajarkan ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar”.
Qultu: di antaranya adalah Imam Bukhari menuliskan dalam Shahih Bukhari (Dar Thawq an-Najat, juz 1, hlm. 24):
وَيُقَالُ: الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan maksud ilmu yang kecil dan yang besar (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 1, hlm. 162):
وَالْمُرَادُ بِصِغَارِ الْعلم مَا وضح من مسَائِله وبكباره مادق مِنْهَا وَقِيلَ يُعَلِّمُهُمْ جُزْئِيَّاتِهِ قَبْلَ كُلِّيَّاتِهِ أَوْ فُرُوعَهُ قَبْلَ أُصُولِهِ أَوْ مُقَدِّمَاتِهِ قَبْلَ مَقَاصِدِه
“Yang dimaksud dengan ilmu yang kecil adalah ilmu yang jelas permasalahannya (mudah dipahami), dan ilmu yang besar adalah yang permasalahannya rumit. Pendapat lain mengatakan ilmu yang juz’i (parsial) sebelum yang kulliy (universal), atau cabang ilmu sebelum kaidah-kaidahnya, atau dasar-dasar ilmu sebelum inti ilmu (ilmu maqashid).”
Langkah selanjutnya adalah mempelajari gambaran permasalahan dalam setiap bab fikih.
Kemudian memperdalam dalil-dalil setiap permasalahan dan ilat hukumnya.
Baca juga: Hatim al-Asham dan Ulama Fikih yang Punya Rumah Mewah
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats al-Umam menuliskan:
وَأَهَمُّ الْمَطَالِبِ فِي الْفِقْهِ التَّدَرُّبُ فِي مَآخِذِ الظُّنُونِ فِي مَجَالِ الْأَحْكَامِ، وَهَذَا [هُوَ] الَّذِي يُسَمَّى فِقْهَ النَّفْسِ، وَهُوَ أَنْفَسُ صِفَاتِ عُلَمَاءِ الشَّرِيعَةِ.
“Tujuan utama fikih adalah melatih memahami alasan (ilat) hukum, dan inilah yang disebut Fiqh an-Nafs, dan itu adalah sifat ulama Syari’ah yang paling berharga”
Langkah selanjutnya adalah memberikan perhatian yang penuh terhadap perbedaan antara ulama dalam satu mazhab ataupun antar mazhab, dan tidak membatasi diri dengan pendapat yang mu’tamad, sehingga kita bisa memahami alasan kenapa suatu pendapat tersebut menjadi pendapat mu’tamad dalam mazhab setelah membandingkan pendapat tersebut dengan pendapat lain.
Imam Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra menuliskan (juz 1, hlm. 319):
وَكَذَلِكَ لَا يهون الْفَقِيه أَمر مَا نحكيه من غرائب الْوُجُوه وشواذ الْأَقْوَال وعجائب الْخلاف قَائِلا حسب الْمَرْء مَا عَلَيْهِ الْفتيا فَليعلم أَن هَذَا هُوَ المضيع للفقيه أَعنِي الِاقْتِصَار عَلَى مَا عَلَيْهِ الْفتيا فَإِن الْمَرْء إِذا لم يعرف علم الْخلاف والمأخذ لَا يكون فَقِيها إِلَى أَن يلج الْجمل فِي سم الْخياط وَإِنَّمَا يكون رجلا نَاقِلا نقلا مخبطا حَامِل فقه إِلَى غَيره لَا قدرَة لَهُ عَلَى تَخْرِيج حَادث بموجود وَلَا قِيَاس مُسْتَقْبل بحاضر وَلَا إِلْحَاق شَاهد بغائب وَمَا أسْرع الْخَطَأ إِلَيْهِ وَأكْثر تزاحم الْغَلَط عَلَيْهِ وَأبْعد الْفِقْه لَدَيْه
“Begitu juga jangan sampai seorang fakih meremehkan apa yang kami riwayatkan berupa pendapat yang gharib dan syadz (pendapat aneh dan asing), dengan mengatakan bahwa pendapat yang menjadi pegangan fatwa (mu’tamad) itu sudah cukup. Ketahuilah bahwa sikap seperti inilah (mencukupkan diri dengan pendapat resmi fatwa) yang menghilangkan seorang fakih. Karena seseorang ketika tidak mengenal perbedaan pendapat dan sudut pandang masing-masing, dia tidak akan menjadi fakih bahkan sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jahitan!. Akan tetapi dia hanya sebatas menjadi seorang penukil dengan penukilan yang serampangan, yang mengantarkan fikih kepada orang lain akan tetapi tidak mampu memghukumi permasalahan baru dengan permasalahan yang sudah ada, dan tidak mampu mengkiyaskan permasalahan yang akan datang dengan permasalahan yang sedang terjadi, dan tidak mampu mengkiyaskan permasalahan yang tidak terlihat dengan yang terlihat. Dan sungguh kesalahan akan sangat cepat mengenainya, dan akan bertumpuk-tumpuk kesalahan baginya dan alangkah jauh fikih itu sendirinya darinya!”
Kemudian kita juga perlu menguasai madzinnah al-Ahkam, yaitu letak-letak di mana suatu permasalahan itu disinggung dalam kitab fikih.
Baca juga: Mengenal Tsabit dan Mutaghayyir dalam Hukum Islam
Qultu: dalam hal ini, guru kami Sayyid Abdullah al-Jufri pernah mencontohkan, seperti pembahasan hukum Basmalah. Dalam kitab-kitab fikih Syafi’i masalah ini akan disinggung di 2 tempat:
Pertama, pada muqaddimah kitab, biasanya penulis kitab akan memulai dengan Basmalah, maka para syurrah dan muhasysyin akan membongkar seputar hukum Basmalah di sana.
Kedua, ketika membahas kesunnahan wudhu. Kita tau di antara kesunnahan wudhu dalam mazhab Syafi’i adalah membaca Basmalah. Nah, tidak jarang fuqaha Syafi’i mengurai hukum basmalah di sini.
Terkait dengan ini, Dr. Amjad menyinggung bahwa di antara buku yang sangat baik yang mengurai masalah ini adalah Khabaya az-Zawaya tulisan Imam Zarkasyi. Di dalamnya penulisnya menyebutkan permasalahan-permasalahan fikih yang terkadang disebutkan bukan pada babnya.
Qultu: dalam muqaddimah kitab ini imam Zarkasyi menuliskan:
فهدا كتاب عَجِيب وَضعه وغريب جمعه ذكرت فِيهِ الْمسَائِل الَّتِي ذكرهَا الإمامان الجليلان أَبُو الْقَاسِم الرَّافِعِيّ فِي شَرحه للوجيز وَأَبُو زَكَرِيَّا النَّوَوِيّ فِي روضته تغمدهما الله برحمته فِي غير مظنتها من الْأَبْوَاب فقد يعرض للفطن الْكَشْف عَن ذَلِك فَلَا يجده مَذْكُورا فِي مظنته فيظن خلو الْكِتَابَيْنِ عَن ذَلِك وَهُوَ مَذْكُور فِي مَوَاضِع أخر مِنْهَا
“Maka ini adalah buku yang peletakan susunannya mengherankan dan penulisannya langka, di dalamnya aku menyebutkan permasalahan yang disebutkan oleh imam Rafi’i dalam Fathul Aziz dan imam Nawawi dalam kitab Rawdhah (semoga Allah merahmati mereka) bukan pada bab-bab yang menjadi tempatnya, maka boleh jadi seseorang menduga bahwa masalah tersebut tidak disebutkan, padahal ia disebutkan pada tempat lain dalam kitab itu” (Kuwait: Wizarah Awqaf, hlm. 36-37)
Di antara contoh permasalahan tersebut adalah masalah air yang najis ketika ditambah dengan air lain dan sampai dua kulah maka menurut pendapat yang masyhur air tersebut suci, dan menurut sebagian ulama Syafi’iyyah air tersebut bukan menjadi suci, akan tetapi berubah (istihalah) dari sifat najis menjadi sifat suci sebagaimana khamr yang menjadi cuka. Masalah ini disebutkan imam Rafi’I dalam Kitab Jual Beli ketika menjelaskan syarat barang yang diperjual-belikan harus suci. (Khabaya az-Zawaya, hlm. 42-44).
Langkah selanjutnya adalah banyak membaca penjelasan fikih dalam masalah-masalah baru, dan ini dilakukan setelah thalib menguasai dasar-dasar fikih secara matang.
Dikisahkan bahwa al-Qadhi Nashiruddin al-Baidhawi (penulis Minhaj Ushul Fikih)—sebagaimana dikutip dalam Tsabat Ibnu Hajar al-Haitami—pernah mengarang kitab fikih berjudul al-Ghayah al-Qushwa. Setelah rampung ditulis, kitab itu disetorkan kepada bapaknya yang merupakan ahli dalam bidang fikih. Setelah selesai membaca kitab itu sang ayah berkata, “Wahai anakku, kamu itu bukan ahli fikih!”
Sang anak heran dan berkata, “Kenapa, ayah?”
Sang ayah menjawab, “Karena kamu dalam kitab ini hanya mengumpulkan permasalahan fikih yang sudah diketahui hukumnya, maka mengarang buku seperti ini tidak sulit dan tidak menunjukkan kematangan fikih. Seseorang disebut matang dalam fikih apabila ia mampu menurunkan kaidah fikih (kepada masalah baru yang belum ditemukan hukumnya)!” (Dar al-Fath, hlm. 396)
Beliau juga menganjurkan untuk banyak menghafal dhawabith fikih. Di antara kitab yang dianjurkan dalam bab ini adalah الاستغناء في الفرق والاستثناء tulisan imam Muhammad bin Abi Sulaiman al-Bakri.
Qultu: mengenai dhawabith fikih ini juga beberapa disinngung di bagian akhir kitab al-Fawaid al-Makkiyyah tulisan Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf. Dan di antaranya juga kitab al-Mawakib al-Aliyyah tulisan syekh Abdul Hadi al-Abyari, di dalamnya terdapat banyak sekali dhawabith fikih.
Baca juga: Syeikh Ahmad Thaha Rayyan Al-Maliki, Guru Besar Fikih Muqaran Al-Azhar
Beliau juga menegaskan untuk membaca kitab-kitab fatwa yang ditulis dalam bentuk yang sangat luas dan detail dengan menyebutkan dalil-dalil dan metode penyimpulan hukum dari para ulama. Di antara yang beliau anjurkan adalah: Fatawa as-Subki dan al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra Ibnu Hajar al-Haitami.
Dan terakhir beliau menganjurkan untuk rajin mengadakan musyawarah ilmu dengan kawan sesama penuntut ilmu. Disebutkan imam Syafi’i dalam kitab al-Umm pada bab Qadha’ bahwa di antara sifat qadhi yang baik adalah mereka yang rajin melakukan musyawarah sesama Qadhi, karena bisa jadi ada sesuatu yang luput dari perhatiannya sehingga diingatkan oleh kawannya sesama qadhi, atau bisa jadi ia mengetahui keterangan yang belum diketahui.
Imam Syafi’i menuliskan (al-Umm, Dar Ibn Hazm, hlm. 504-505):
أحب للقاضي أن يشاور….. إلى أن قال: وإنما أمرته بالمشاورة لأن المشير ينبهه لما يغفل عنه ويدله من الأخبار على ما لعله أن يجهله
Disarikan dari rangkuman seminar tentang metodologi memperdalam kemahiran berfikih di kalangan pelajar fikih bersama Dr. Amjad Rasyid, Dekan Fakultas Fikih Syafi’i di Yordania yang diselenggarakan di Ruwaq Indonesia Kairo Mesir pada Rabu, 2 Februari 2022.
Ad-Darb al-Ahmar, Kairo
7 Februari 2022