Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Pionir Fikih Lingkungan, Fazlun Khalid: Rela Lepas Zona Nyaman Demi Islamekologi

Avatar photo
38
×

Pionir Fikih Lingkungan, Fazlun Khalid: Rela Lepas Zona Nyaman Demi Islamekologi

Share this article

Anda meyakini sepenuhnya bahwa
agama Anda, Islam, peduli dan turut membantu menjaga kelestarian lingkungan.
Bagaimana Anda menjelaskan hal ini? Apakah Al-Quran menginstruksikan umat Islam
untuk melindungi ekosistem atau mungkin lebih jauh lagi menganjurkannya menjadi
aktivis lingkungan?

Fazlun Khalid memunyai jawaban
singkat dan tepat untuk pertanyaan semacam di atas, barangkali bisa dijadikan
bekal umat Islam zaman now dalam menyembuhkan borok terparah zaman ini, pemborosan.
Borok yang menjadi ciri khas sekaligus ikon dari gaya hidup modern, yang mana
menjadi sumber utama krisis terbesar zaman ini, krisis lingkungan hidup.

Al-Quran, papar Fazlun Khalid,
menetapkan prinsip-prinsip etika (akhlak) dengan cukup mendasar. Hal ini
ditafsirkan secara langsung oleh Nabi Muhammad dalam perilaku beliau. Misalnya,
Al-Quran dengan tegas mengatakan dalam Surah al-An’am ayat 141: “Allah
tidak mencintai para pemboros.” Ayat ini dicontohkan oleh Nabi ketika beliau
menegur salah satu sahabatnya yang membuang air sisa dari wadahnya seusai bersuci.
Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan kelebihan air tersebut ke sungai
sehingga orang lain yang jauh di hilir sana dapat memanfaatkannya.

Tentu ada banyak ayat lain dalam
Al-Qur’an yang menghimbau umat manusia supaya senantiasa menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup. Namun lantaran hampir seluruh nonmuslim melihat
Islam bukan hasil mempelajari Al-Qur’an, melainkan melihat perilaku dan
kepribadian umat Islam, maka menurut Fazlun Khalid yang terpenting adalah bagaimana
aksi nyata umat Islam dalam campur tangannya menjaga dan melestarikan alam
lingkungan.

Tradisi agama sudah ada jauh sebelum modernitas, tentu sudah lama mengakar sebelum
revolusi industri. Tidak ada bukti bahwa
tradisi
keagamaan
menyebabkan pencemaran lingkungan secara global atau memperbanyak jejak karbon. Apa
yang dipraktikkan masyarakat beragama saat ini adalah apa yang telah
dipraktikkan nenek moyang mereka selama berabad-abad, perbedaannya adalah saat
ini manusia hidup di zaman transportasi massal, komunikasi massa, berikut seabrek
tetek bengek yang lahir dari rahim modernitas.
Oleh karenanya apapun
yang diperbuat manusia zaman sekarang memiliki
dampak
terhadap lingkungan jauh lebih signifikan dibanding
pada masa-masa pramodern
.

Pada tahun 1994, Fazlun Khalid
mendirikan Yayasan Islam untuk Ilmu Ekologi dan Lingkungan, atau IFEES
(Islamic Foundation For Ecology and Environmental Sciences)
, di Birmingham,
Inggris. Tapi lama sebelum itu ia sudah mapan bekerja di kementerian dalam
negeri di Inggris. Apa yang membuat Fazlun Khalid meninggalkan zona nyaman
politiknya untuk kemudian fokus terhadap isu-isu lingkungan dengan menawarkan
nilai-nilai Islam?

That’s a long story, ucap Fazlun Khalid, seingatnya tidak ada satu momen
spesial yang membuatnya berubah arah. Singkat kata, ia lahir di Sri Lanka pada
tahun 1932 dan datang ke Inggris pada 1953 untuk bergabung dengan Angkatan
Udara Britania Raya atau RAF (Royal Air Force) karena ingin menjadi
insinyur penerbangan. Ia juga terlibat dalam aktivitas serikat pekerja setelah
meninggalkan RAF pada tahun 1962, selain itu ia juga memiliki keterlibatan
dalam perselisihan industri yang melibatkan buruh imigran baru dan manajemen
yang kurang rapih.

Aktivitas-aktivitas tersebut,
diakui Fazlun Khalid telah mempolitisirnya sehingga ia memutuskan pensiun dini
dan beralih profesi menjadi pelayan masyarakat. Ia menghabiskan waktu singkat
di universitas sembari menjadi pekerja sosial. Baru pada tahun 1968, ia
direkrut sebagai petugas konsiliasi oleh Dewan Relasi Ras (Race Relations
Board)
, kemudian juga sebagai Komisi Persamaan Ras (Commission for
Racial Equality)
.

Fazlun Khalid semakin
terpolitisasi oleh organisasi-organisasi tersebut, namun pengalamannya di dalam
sistim mengantarkannya pada sebuah konklusi bahwa masalah yang berkaitan dengan
ras, kemiskinan, dan hutang di Dunia Ketiga memiliki akar yang sama, yakni
dominasi politik.

Pada saat yang sama, Fazlun Khalid
menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi lingkungan seperti World
Wide Fund
(WWF). Dalam salah satu pertemuan ini di awal 1980-an ia
menuai sebuah pertanyaan: “Apa yang Islam katakan tentang lingkungan?”

Pada saat itu ia tidak memiliki
jawaban, tetapi itulah yang mendorongnya secara jauh melakukan penelitian yang
antara lain belajar langsung kepada para sarjana Al-Quran dan pakar teologi
Islam.

Tak satu pun jawaban dari para
pakar tersebut cukup memuaskan Fazlun Khalid setelah ia sesuaikan dengan kebutuhan
zaman, hal yang justru membuatnya terjun lebih jauh lagi.

Fazlun Khalid tercatat meninggalkan
posisi seniornya di kementerian ketika berusia 58 tahun kemudian kembali ke
universitas untuk meneliti dasar-dasar lingkungan sesuai ajaran Islam. Pada
tahun 1994, ia mendirikan Islamic Foundation for Ecology and Environmental
Sciences (IFEES)
. Dalam bakti terhadap lingkungan tersebut, IFEES
misalnya mengerjakan program penghijauan, antara lain bersama pelajar-pelajar muslim
di Indonesia

Salah satu keberhasilan terbesar
Fazlun Khalid bersama IFEES-nya adalah proyeknya di Zanzibar. Yaitu
ketika ia mendapat telepon dari opsir program CARE International di
Zanzibar pada tahun 1999. Di sana, ketika itu para nelayan tidak mampu menghidupi
keluarganya karena penangkapan ikan yang berlebihan sebelum-sebelumnya, juga
lantaran sumber daya yang semakin menipis. Oleh karenanya mereka semakin
membiasakan berburu ikan dengan cara melemparkan dinamit ke terumbu karang. Tim
IFEES berkesempatan mendatangi mereka dan melakukan lokakarya
berdasarkan Al-Quran selama dua hari.

Dalam waktu 48 jam tersebut IFEES
berhasil mencapai apa yang tidak dapat dilakukan organisasi internasional dalam
waktu empat tahun, yaitu menghentikan para nelayan membombardir terumbu karang.

Apa sebenarnya yang membuat para
nelayan tersebut mengubah haluan? Fazlun Khalid menjelaskan bahwa suatu ketika
seorang nelayan berkata kepadanya: “Kita harus mematuhi hukum Pencipta sebagai
bagian dari ciptaan, sebaliknya kita tidak harus mematuhi hukum pemerintah.”
Tentu saja IFEES tidak mendorong masyarakat untuk melanggar hukum, namun
cukup menyadari bahwa kandungan Al-Quran bisa berdampak kuat pada manusia.

Kepada seorang wartawan bernama Franziska
Badenschier, Fazlun Khalid memberikan metafora yang menarik, yakni orang-orang
dari agama yang berbeda duduk di satu ruangan kemudian tiba-tiba atapnya runtuh
melukai kepala mereka. Apakah seseorang dari mereka akan meninggalkan ruangan
sambil berkata: “Kamu Katolik, kamu Hindu, apa yang terjadi di sini bukan
urusanku, jangan halangi aku pergi!”?

Kita semua tidak memiliki
pilihan lain kecuali berbagi dalam planet yang sama, imbuh Fazlun Khalid, Jadi
kita perlu berkomunikasi dan bekerja sama.

Fazlun Khalid memimpin
konferensi tentang agama dan konservasi alam di Jepang pada tahun 1995, dihadiri
oleh sembilan tradisi keagamaan yang berbeda. Konferensi tersebut sampai pada beberapa
poin yang tidak memberatkan satu sama lain.

Semua orang ingin mewariskan
bumi ini untuk generasi-generasi berikut dalam kondisi yang lebih baik daripada
yang saat ini tampak. Apa yang akan kita wariskan? Pertanyaan semacam ini bisa
membuat siapa saja mendadak peduli terhadap lingkungan. Tentu, ini adalah
nasihat yang sifatnya umum, bukan religius secara spesifik. Tetapi Al-Quran
juga mengatakan dalam Surah Ghafir ayat 57: “Sungguh penciptaan langit dan
bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”

Setiap hal yang dilakukan
seseorang akan berdampak pada orang lain. Jika saya menebang pohon di Inggris,
ucap Fazlun Khalid, cepat atau lambat seseorang di Jerman akan merasakan
konsekuensi dari tindakan saya; atau jika seseorang di China menanam pohon, kelak
seseorang di Eropa akan merasakan faedahnya.

Setiap
individu harus mengubah gaya hidupnya karena konsekuensi dari kehidupan modern yang
bersifat global dan tidak jarang mematikan. Manusia harus mengurangi gaya hidup
dengan emisi setinggi ini; semua musti mengurangi konsumsi dan transportasi. Jika
hal-hal kecil tersebut tidak lekas diupayakan, itu sama halnya manusia beramai-ramai
bunuh diri massal.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.