Abu Madyan Al-Maghribi merupakan sosok lain
dari Barat Islam di samping Abdus Salam bin Masyisy yang menempati posisi
penting di tengah komunitas kaum Sufi. Seikh Abdul Halim Mahmud menyebutnya
dengan “Seikh As-Syuyukh
(Maha Guru)” didasarkan pada prestasinya dalam mencetak kader ulama dan para
wali Allah. Tak kurang dari seribu orang yang pernah berguru padanya menjadi ulama
sekaligus “wali.”
Menurut komentar Ibnu Atha’illah As-Sakandari atas
Qashidah Ra’iyah Abu Madyan,
dia berhasil mengantar 12.000 murid sampai pada Allah. Suatu prestasi yang
sulit ditandingi. Kita sering tercengang mendengar karamah seorang wali yang
bersifat pribadi. Tapi sebenarnya keberhasilan mengkader 12.000 orang menjadi
wali adalah karamah teragung.
Sebagai Pengembala Kambing
Abu Madyan yang memiliki nama asli Syu’aib
bin Hasan (ada yang menyebut Husein) Al-Anshari dilahirkan di benteng
Qutniyanah Andalusia (Spanyol Islam) pada
517 H. Berasal dari keluarga petani, yang semasa kecilnya mendapat tugas
untuk mengembala kambing.
Abu Madyan bercerita setiap kali berangkat
mengembala kambingnya ke padang safana, dia melewati sekelompok kaum sufi yang sedang shalat, membaca Al-Qur’an
atau berzikir. Hatinya selalu bergetar dan merasakan kesejukan hingga terkadang
meneteskan air mata. “Saya belum hafal Al-Qur’an dan belum tahu tata cara
shalat,”
gumamnya dalam hati.
Setiap pulang ke rumah dia selalu gundah;
muncul keinginan kuat untuk lari dari keluarga demi belajar agama. Keinginan
tersebut benar-benar diwujudkan. Berkali-kali Abu Madyan kecil mencoba kabur
tapi selalu berhasil disusul oleh kakak-kakaknya. Dalam percobaan terakhir,
kakaknya tidak tega dan karena melihat kemantapan hatinya yang menggunung
membiarkannya lepas.
Dari ilustrasi Seikh Abdul Halim Mahmud di
atas, kita bisa menangkap sosok Abu Madyan muda dan latar belakang keluarganya,
yang bukan berasal dari keluarga ulama. Keluarganya petani awam yang hanya
mengajari anak-anaknya mengembala. Tapi bagaimana nanti suatu petunjuk
(hidayah) dan kesugguhan hati bisa mengantar dia pada posisinya sebagai seorang
tokoh berpengaruh abad VI H.
Allah Tak Disembah Tanpa Ilmu
Mula-mula dia menuju ke Tanja (Tangier-Maroko)
tanpa bekal apapun sebab Abu Madyan kabur dari rumah. Setiap merasa lapar dia
pergi ke pantai memancing ikan. Di sana dia bertemu dan dijamu oleh seorang nelayan
yang mengeluarkan ucapan sangat menggugah dan merubah alur hidupnya “pergilah
ke kota agar kamu bisa belajar ilmu agama. Sebab Allah tak bisa disembah tanpa
ilmu.”
Ucapan ini menusuk ke hati Abu Madyan dan
menyadarkannya tentang pentingnya ilmu. Karena di Tangier tak menemukan apa
yang dicari, maka dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Sabtah
kemudian ke Marakish (Maroko). Di sana dia sempat bergabung dengan barisan
tentara untuk membela islam.
Namun panggilan hatinya bukan meniti karier
sebagai tentara. “Mereka terlalu banyak
menuntut dan merampas hak-hak dan ambisiku,”
demikian sesal Abu Madyan. Dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Fes (Maroko).
Semua perjalanan ini dilaluinya dengan berjalan kaki. Fes masa itu adalah kota
ilmu dengan masjid agung Qarawin sebagai tempat ibadah sekaligus penyebaran
ilmu dan kaderisasi ulama.
Guru dan Kitab Favorit Abu Madyan
Saat Abu Madyan sampai di Fes (549 H). Dia bergabung dengan para
pencari ilmu dari berbagai penjuru daerah. “Saya
tinggal di masjid kota Fes; belajar wudhu
dan shalat.”
Tapi dia mengeluh, “Saya tak bisa memahami pelajaran
para syeikh sama sekali.”
Bisa jadi karena keterbatasan pondasi ilmu
yang dibawanya atau karena memang belum dibuka oleh Allah. Pada masa itu setiap
seikh membuka kelas bebas di masjid, jenjang pendidikannya menurut kitab yang
dibaca. Tidak formal seperti saat ini.
Sampai kemudian dia dipertemukan oleh Allah
dengan Abu Al-Hasan bin Hirzihim, yang menjadi syeikh al-futuh (guru
pembuka hati) baginya. Abu Al-Hasan bin Hirzihim sendiri seorang tokoh terkenal
dalam dunia tasawuf karena pengalaman uniknya dengan karya-karya Imam Al-Ghazali.
Sebelum
intens mendalami tasawuf secara suluk, Ibnu Hirzihim terkenal sebagai pengkritik karya-karya imam Al-Ghazali. Hadits-hadits,
utamanya yang ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin,
dikritik habis-habisan olehnya. Hingga pada suatu malam dia bermimpi didatangi
Rasulullah Saw dan dicambuk karena bersikap kurang ajar pada Imam Al-Ghazali. Begitu
terbangun dari tidurnya, Ibnu Hirzihim kaget karena bekas cambuk Rasulullah
dalam mimpi ternyata masih ada di seluruh pundaknya. Sejak saat itu dia
menyatakan tobat dan memilih jalan kesufian.
Di hadapan Abu Al-Hasan bin Hirzihim, Abu
Madyan mengaji kitab Ar-Ri’ayah Li Huquqillah karya Al-Muhasibi, salah
satu kitab wajib dalam ilmu tasawuf. “Tak ada buku yang melebihi Ar-Ri’ayah
dalam menganatomi jiwa manusia menurut perspektif tasawuf,” kata Seikh Abdul
Halim Mahmud. Bahkan Ihya’
Ulumudin Al-Ghazali secara terang-terangan mengaku
terinspirasi oleh karya agung ini.
Dia juga mengaji Ihya’ pada Ibnu Hirzihim. Abu
Madyan memuji maha karya Al-Ghazali tersebut,
“Saya membaca banyak kitab tazkir
(nasehat) tapi tak ada yang seperti Ihya’ Ulumidin.”
Selain itu dia mengaji Sunan At-Tirmidzi
pada Seikh Abu Al-Hasan bin Ghalib. Mengaji Risalah Al-Qusyairiyah pada
Abu Abdillah Ad-Daqqaq, seorang sufi besar di masanya.
Tasawuf Adalah Suluk
Abu Madyan menyadari bahwa tasawuf tak cukup
dipelajari dari buku-buku. Ia adalah ilmu ahwal (perilaku dan pengalaman
intuitif) bukan diambil aqwal (dari ucapan dan tulisan). Dia kemudian
berinisiatif mendekat dan berguru pada Seikh Abu Ya’za, seorang sufi kota Fes
yang terkenal sebagai wali besar dengan teknik mendidik santri sangat keras.
Di hari pertama, Abu Madyan diperlakukan
oleh Seikh Abu Ya’za dengan sangat kejam. Dia tidak boleh masuk ke majlis dan
diperintah duduk di pojok. Jika waktu makan, maka semua dipersilahkan kecuali dia. Perlakuan ini berlangsung
selama tiga hari.
Di hari ketiga, cerita Abu Madyan, saya
hampir pingsan menahan lapar. Karena tak kuat maka saya mendekat ke arah Abu
Ya’za dan jatuh tersungkur di kakinya. Tiba-tiba, mata saya buta. Sambil mengiba saya memohon
belas kasihnya. Kemudian Abu Ya’za menyentuh kedua mata saya seraya berucap, “Anak ini akan menjadi orang
besar di masa depan.”
Jadi benar, Seikh Abu Al-Hasan bin Hirzihim
sebagai syeikh al-futuh, tapi suluk dan penempaan dirinya dalam menapaki
maqamat kesufian adalah buah didikan Seikh Abu Ya’za. Abu Madyan sangat
mencintai gurunya ini hingga mengatakan, “Saya sudah baca semua cerita para
wali semenjak masa Uwais Al-Qarni (tabi’in) tapi saya belum menemukan seorang pun
yang seunik Abu Ya’za.”
Perjumpaan dengan Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani
Menurut Spencer Trimingham dalam The Sufi
Order in Islam, Abu Madyan Al-Maghribi sempat menuju ke masyriq (timur
Islam) dan melaksanakan ibadah haji. Di sana dia berjumpa dengan banyak ulama
dan kaum sufi, termasuk di antaranya
adalah Seikh Abdul Qadir Al-Jilani. Dan kabarnya, Abu Madyan sempat berguru
kepadanya di Mekah.
Abu Madyan di Majlisnya
Sepulangnya dari melaksanakan haji, Seikh
Abu Madyan memilih tinggal di kota kecil bernama Bijayah (Bugie atau Bugia,
Al-Jazair sekarang) untuk menyebarkan ilmu dan mengajar suluk kesufian. Pelan
tapi pasti, popularitasnya semakin menanjak. Dalam dirinya terkumpul ilmu,
ibadah dan kezuhudan.
Di majlisnya, Abu Madyan mengajarkan Al-Maqshad
Al-Asna fi Syarh Asma’ Al-Husna karya Imam Al-Ghazali dengan pendekatan dan
penjelasan ala kaum sufi. Tentu tidak hanya penjelasan teoritis belaka
tapi disertai pengalaman dan zauq kesufian. Sehingga majlisnya dipenuhi
oleh ratusan pelajar dari berbagai penjuru negeri.
Karya-karya Abu Madyan
Muhammad bin Hammad As-Shanhaji, salah
seorang muridnya, bercerita bahwa keterangan Abu Madyan seperti mutiara yang
sangat berharga. Saya, kata As-Shanhaji, termasuk yang mencatat dari awal
hingga akhir namun beliau mengingatkan
agar kami tak mencatat apapun dari keterangannya. Sehingga kalam mutiaranya tak
banyak yang bisa diabadikan.
Hingga saat ini, menurut Seikh Ali Jum’ah,
hanya ada sekitar 4 karya yang bisa diakses:
1. Unsu Al-Wahid Wa Nuzhat Al-Murid
2. Mafatih Al-Ghaib Li Izalat Ar-Raib
(masih manuskrip belum pernah naik cetak)
3. Unwan At-Tawfiq fi Adab At-Thariq
4. Diwan (Syair-syair) yang
dikomentari (disyarah) Ibnu Atha’illah As-Sakandari.
Sepertinya Abu Madyan berada dalam deretan
ulama yang lebih memprioritaskan mencetak kader ulama dan para wali dari
mencetak kitab dan karya tertentu. Kesaksian Ibnu Athai’llah As-Sakandari di
atas cukup untuk menggambarkan kualitas Abu Madyan: dari tangannya lahir 12.000
ulama sekaligus kaum sufi yang sebenarnya.
Lihat saja: Ibnu Arabi (penulis Futuhat
Makkiyah) dan Abdus Salam bin Masyisy masih tercatat sebagai murid Abu
Madyan. Dari Bin Masyisy lahir Imam
As-Syazuli (pendiri Syaziliyah).
Jadi saya pikir keberhasilan terbesar Abu
Madyan adalah kemampuannya melahirkan generasi emas di masanya. Dalam catatan
saya mengenai Al-Faqih Al-Muqaddam,
juga menjelaskan signifikansi beliau dalam
tarekat Alawiyah yang tersebar di Hadramaut Yaman.
Realitas ini menimbulkan kecemburuan
tersendiri bagi para ulama dan fuqaha di masanya. Sehingga Sultan Dinasti Muwahhidun
masa itu, Ya’qub Al-Manshur (595 H), sempat diprovokasi oleh para fuqaha yang
iri, “Tuan harus kuatir pada Syekh ini (Abu Madyan). Dia serupa imam mahdi di mata
murid-muridnya.” Tapi untungnya sang Sultan tak mengindahkannya.
Abu Madyan
wafat di Tilmisan, Al-Jazair, dalam perjalanan ke Bijayah pada 594 H. Rahimahullah
rahmat al-abrar. Amin.