Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Ibnu Jubair Terpana Mercusuar Alexandria dan Kedermawanan Shalahuddin Al-Ayubi

Avatar photo
21
×

Ibnu Jubair Terpana Mercusuar Alexandria dan Kedermawanan Shalahuddin Al-Ayubi

Share this article

Setiba di Alexandria, Ibnu Jubair dibuat geram oleh petugas setempat yang bersikeras memungut zakat dari rombongan, terlepas dari apakah mereka wajib membayarnya atau tidak. Masih di area pesisir, ia mengunjungi Mercusuar (lighthouse) Alexandria yang ketika itu masih berdiri kokoh, ia terkagum-kagum dengan ukuran dan kemegahannya.

Ibnu Jubair bahkan menjelaskan fungsi mercusuar sebagai panduan bagi para peziarah, karena tanpanya mereka tidak dapat menemukan jalan yang tepat untuk berlabuh. Menara kuno warisan orang Romawi tersebut dapat dilihat dari jarak lebih dari tujuh puluh mil.

Karena saking menjulangnya, dalam majaz yang diutarakan Ibnu Jubair, menara tersebut bersaing dengan ketinggian langit. Penggambaran tentangnya akan gagal, demikian pula sepasang mata gagal memahaminya, kata-kata tidak akan pernah cukup menuliskan kemegahannya.

Ilustrasi yang memperkirakan kemegahan mercusuar Alexandria

Dia juga terkesan dengan manajemen perguruan tinggi gratis, asrama untuk pelajar asing, pemandian umum, dan sejumlah rumah sakit di Alexandria yang dikelola oleh badan wakaf, demikian pula pengelolaan pajak dari orang-orang Yahudi dan Kristen yang menetap di sana. Dia mencatat bahwa ada ribuan masjid di Alexandria dengan kemegahan arsitektur masing-masing.

Setelah menginap selama delapan malam di kota Alexander The Great tersebut, Ibnu Jubair berangkat ke Kairo.

Sesampai di Kairo Ibnu Jubair menziarahi beberapa makam keturunan nabi berikut para ulama saleh di al-Qarafah; mendatangi Masjid Husein; Masjid Imam Al-Syafi’I; juga Sekolah Al-Nassiriya; sowan ke para syekh dan ulama; berbicara tentang Shalahuddin berikut beberapa tokoh yang mendirikan dinasti Ayyubiah; melihat Benteng Shalahuddin di bukit Muqattam yang tengah diperpanjang demi memperkuat pertahanan dari kepungan tentara Salib; juga jembatan yang dipugar untuk kemudian dipertinggi supaya terhindar dari petaka banjir tahunan; ia juga menyempatkan diri mengunjungi tiga piramida di Giza dan alat untuk mengukur ketinggian air sungai Nil (Nilometer).

Baca juga: Daging Segar Shalahuddin Al-Ayyubi

Di Kairo, Ibn Jubair mencatat, perguruan tinggi dan asrama yang didirikan untuk mahasiswa dari penjuru negeri difasilitasi oleh Shalahuddin. Di kampus-kampus tersebut, siswa mendapatkan hak tinggal di asrama dan tutor untuk mengajari mereka ilmu yang mereka inginkan serta tunjangan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sang Sultan menyediakan mereka kamar mandi khusus pelajar, pusat penyehatan, dan dokter siap siaga yang bahkan bisa datang mengunjungi bilik-bilik mereka dan bertanggung jawab atas kesembuhan mereka.

Salah satu tindakan dermawan Shalahuddin lainnya yang memukau Ibnu Jubair adalah bahwa setiap hari, setidaknya 2000 potong roti dibagikan kepada orang-orang miskin. Jumlah masjid di Kairo sangat mengesankan Ibnu Jubair, diperkirakan antara 8.000 sampai 12.000. Dalam satu blok yang sama, bisa terlihat empat atau lima masjid sekaligus. Jauh lebih banyak dibanding yang dilihatnya di Alexandria.

Dari catatan Ibnu Jubair, Masjid Ibnu Tulun yang juga merangkap sebagai maristan (rumah sakit) menjadi tempat berteduh bagi peziarah asing asal Maroko, dimana mereka mempelajari ilmu kedokteran dengan menetap di asrama Masjid.

Selanjutnya, ia berperahu di atas Sungai Nil ke Mesir Hulu dan melihat kota-kota yang terletak di tepi sungai, khususnya kota Qus (dekat Qena di masa sekarang) yang menjadi tujuan para pedagang, musafir dan peziarah dari Mesir, Maroko, Yaman, India dan Abasinia (Habasah). Dari Qus, ia menunggangi unta ke pelabuhan Laut Merah ‘Aydhab yang merupakan jalur perdagangan rempah-rempah internasional, berdekatan dengan perbatasan Mesir-Sudan saat ini, baru kemudian mengarungi Laut Merah ke Jeddah. Pada bulan Agustus Ibnu Jubair tiba dengan selamat di Makkah al-Mukarramah.

Di kota suci tersebut Ibnu Jubair menggambarkan geliat warga setempat kala musim haji. Selang beberapa hari ia melanjutkan perjalanan ke Madinah mengunjungi Masjid Nabawi dan makam baginda Rasul.

Setelah menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji Ibnu Jubair bertolak menuju ke Irak, Khorasan, Kurdistan dan Levant, dan menjelaskan adat istiadat kerajaan tentara salib di Ekar (Acre), Tirus dan tempat-tempat lain.

Baca juga: Ibnu Jubair Menenggak Tujuh Cangkir Anggur Lalu Berangkat Haji

Kisah epik perjalanan Ibnu Jubair merupakan salah satu warisan paling berharga tentang kondisi Mediterania Timur pada akhir abad ke-12, informasi yang disajikannya tentang tentara Salib di Suriah dan Palestina serta invasi Norman ke Sisilia berikut jatuhnya dinasti Fatimiyah merupakan catatan yang tidak ternilai bagi dunia modern. Data-data tentang Mesir pada era kejayaan Shalahuddin Yusuf ibnu Ayyub atau Shalahuddin al-Ayyubi dalam catatan Ibnu Jubair terhitung salah satu yang paling valid sampai hari ini.

Dengan gaya penulisan yang ringkas dan padat, berselang kutipan ayat-ayat Al-Qur’an, doa dan kalimat-kalimat thayyibah, larik-larik puisi, Ibnu Jubair menawarkan gambaran yang sugestif dari tempat-tempat yang ia lalui. Pemandangan suasana kota, kampung terpencil, juga pasar-pasar dengan cukup detail dan menakjubkan.

Penggambaran ideal sosok Ibnu Jubair oleh Guillermo Munoz Vera (1956)

Deskripsi lengkap Ibnu Jubair tentang masjid, makam, dan monumen-monumen penting lainnya masih sangat membantu para arkeolog dan peneliti sejarah saat ini.

Semenjak bertolak dari Madinah, Ibnu Jubair bergabung dengan karavan peziarah melintasi gurun Hijaz dan Najd ke arah Baghdad, menuju timur dan utara. Di sana, di ibu kota Abbasiyah, ia memuji kesegaran alami udara dan airnya tetapi mengeluhkan kesombongan orang-orangnya.

Khalifah Abbasiyah Al-Nasir Lidinillah, yang berkuasa selama kunjungan Ibnu Jubair di Baghdad, meninggal 35 tahun sebelum daerah itu dihancurkan oleh invasi Mongol pada tahun 1258. Ibnu Jubair tidak banyak berkomentar positif tentang kedaulatan kota tersebut, alih-alih melihatnya sebagai cahaya yang semakin meredup dan hilang bila dibanding pancaran dan kilau keemasan di bawah Harun al-Rashid empat abad sebelumnya. Sebagian besar jejaknya telah hilang, demikian tulis Ibnu Jubair, hanya menyisakan nama yang kesohor.

Ibnu Jubair melintasi tanah subur Mesopotamia, melewati Mosul kemudian menuju Syria via Aleppo. Ia tinggal selama dua bulan di Damaskus, sebuah kota yang membuatnya terpesona. “Surga di Timur,” demikian ia memujinya. Ibnu Jubair beranjak mengambil rute ke pelabuhan Mediterania di Saint John of Acre yang mana masih ditempati oleh tentara Salib, baru kemudian melakukan perjalanan ke wilayah Barat.

Ilustrasi Raja Sisilia, William II (William The Good)

Kapal yang dinaiki Ibnu Jubair menghadapi gelombang yang berbahaya. Kala itu angin sedang tidak bersahabat, membuatnya terdampar di Selat Messina di Sisilia, suatu kawasan yang telah jatuh ke tangan orang-orang Kristen seabad sebelumnya. Di sana ia tinggal selama hampir empat bulan, di bawah keramahtamahan Raja William II yang lancar berbicara Bahasa Arab (dikenal sebagai “William the Good“), yang sangat dikagumi oleh Ibnu Jubair karena mempersilahkan dan menjamu non-Kristen sepertinya ke dalam istana.

Baca juga: Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia

“Dia sangat percaya pada orang Muslim,” tulis Ibnu Jubair tentang Raja William II: “Mengandalkan mereka untuk berbagai urusan, termasuk memancarkan kemegahan kerajaannya.”

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.