“Jika ingin direkonstruksi, ilmu kalam ada kalanya harus dibasiskan pada tasawuf atau disempurnakan olehnya.” Inilah salah satu poin yang saya tangkap dari film dokumentari tentang Filsuf Pembaharu Taha Abdurrahman yang tayang di Youtube Al Jazeera.
Poin ini pula yang saya tangkap dari beberapa tahun menggeluti tiga disiplin yang saling terkait: filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf.
Al-Jabiri menaruh jurang pada tiga disiplin di atas dan memisahkannya dalam tiga epistem: (1) bayani untuk ilmu kalam, (2) burhani untuk filsafat, dan (3) irfani untuk tasawuf.
Demi merekonstruksi nalar Arab, di akhir bukunya ‘Bunyah al-‘aql al-‘Arabi’, Al-Jabiri menyarankan untuk kembali kepada tokoh-tokoh di Barat Islam ini: Ibnu Hazm dengan kritisismenya, Ibnu Rusyd dengan logismenya, Asy-Syathibi dengan formalismenya, dan Ibnu Khaldun dengan historisismenya; alih-alih tokoh di Timur Islam ini: Al-Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, dan Al-Iji.
Dengan demikian, dapat kita lihat perbedaan mendasar antara dua pemikir dari Maroko di atas. Abid Al-Jabiri memisahkan epistemologi tiga disiplin di atas secara mutlak, sedangkan Taha Abdurrahman berupaya menjembatani ketiganya, atau paling tidak menunjukkan interkoneksi antara ketiganya. Salah satu cara yang ditempuh Taha adalah dengan menunjukkan makna asali dari akal/nalar.
Taha membedakan antara dua pemaknaan akal: (i) makna yang diimpor dari Yunani, dan (ii) makna original umat Islam.
Akal menurut para filsuf Yunani adalah ‘jauhar’ atau substansi. Akal ini dapat berdiri sendiri, otonom dan independen. Sementara itu tradisi Islam melalui pemaknaan linguistik maupun Quranik, memaknai akal ada kalanya sebagai sifat atau ada kalanya sebagai tindakan. Akal dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘Aqala yang artinya menjerat. Akal itu menjerat al-ma’qul sebagaimana penjerat (tali) menjerat kuda, misalnya. Al-Quran sendiri tidak pernah menyebutkan kata akal selain sebagai kata kerja, seperti dalam surat Al-Ankabut: 63.
Menaruh akal bukan sebagai suatu substansi yang independen dan meletakkannya dalam korpus tindakan ialah ibarat menyatakan bahwa aktivitas melihat tidak bisa terlaksana tanpa mata, mendengar tanpa telinga, mencecap tanpa lidah, dan seterusnya. Jika akal itu dependen, lantas dengan apa ia terpaut? Di sinilah kritik Taha terlayangkan terhadap akal murni atau nalar spekulatif, terutama dalam perkara metafisika ketuhanan.
Film Dokumenter Al Jazeera Bertajuk Taha Abdurrahman Filsuf Pembaharu
Dalam bukunya ‘al-‘Amal ad-Dini wa Tajdid al-‘Aqli’, Taha menunjukkan keterbatasan akal murni yang dilihat tidak lain sebagai substansi, kemudian menawarkan konsep bernalar dengan kalbu.
Melalui Immanuel Kant, kita tahu bahwa akal murni tidak memadai untuk dipakai dalam membuktikan adanya Tuhan. Taha melangkah lebih jauh dari itu. Menurutnya, spekulasi metafisis yang dibasiskan kepada akal murni mengantarkan kepada tiga hal sekaligus sebagaimana di bawah ini:
a. Spekulasi metafisis bersifat nominalis bukan eksistensialis
Nalar spekulatif menggunakan tunggangan bahasa yang tidak lain adalah kumpulan dari simbol-simbol. Kita tahu bahwa antara simbol dan yang disimbolkan tidak ada statua quo selain bahwa itu dijembatani oleh abstraksi dalam pikiran manusia.
Itulah kenapa ilmu kalam dengan sangat legowo mengakui kaidah yang berbunyi: “Apa pun yang terlintas dalam benakmu, Allah sama sekali bukan begitu.”
b. Spekulasi metafisis bersifat meragukan bukan meyakinkan
Bukti adanya Tuhan tidaklah dicapai dengan proposisi formalis murni, melainkan melalui forma individual. Ilmu kalam banyak terjebak di sini. Bahkan proposisi yang benar pun tidaklah cukup membuktikan adanya Tuhan. Lihatlah pembuktian logis berikut:
Adakalnya alam semesta itu tidak ada atau Allah itu ada
Tetapi alam semesta ada
Maka Allah ada
Premis mayor dalam silogisme di atas lebih samar daripada kesimpulannya, dan dengan begitu tidak bisa mengantarkan pada keyakinan. Lain daripada nalar spekulatif, Al-Quran menunjukkan adanya Tuhan dengan metode yang akrab dengan manusia.
Ibnu Rusyd telah merumuskan dua pembuktian yang ia namai dalil “inayah” dan “ikhtira”. Lebih lanjut, lihat kitab ‘Manahij al-Adillah’.
c. Spekulasi metafisis bersifat penyerupan bukan penyucian
Spekulasi metafisis terjebak dalam penyerupaan. Penyerupaan ini, menurut Taha, ada kalanya secara terpaksa dan ada kalanya secara suka rela. Menghadapi teks suci, akal murni akan cenderung pada dua hal: menerima bahasa antropomorfisme teks tanpa interpretasi, atau menerimanya dengan interpretasi.
Sikap yang pertama adalah sikap yang berdasarkan keterpaksaan sedangkan yang kedua adalah sikap yang berdasarkan pilihan bebas. Keduanya terjatuh kepada nalar penyerupaan, karena dibangun dari analogi yang tampak (manusia) atas yang tak tampak (Tuhan).
Nah, apabila akal murni tidak bisa menjangkau Tuhan, lantas dengan akal apa? Kant menjawabnya dengan: akal praktis, atau moralitas. Moralitas adalah kenyataan dalam kehidupan manusia yang tak bisa dibantah. Moralitas bisa absah ketika punya postulat yang salah satunya adalah adanya Tuhan.
Melangkah lebih jauh, Taha Abdurrahman tidak hanya berkutat pada soal pembuktian Tuhan, melainkan juga soal sifat, tindakan, dan nama-nama Tuhan. Taha menjawabnya bukan melalui akal praktis, ia menawarkan konsep tahapan akal, mulai dari akal mujarrad (murni), akal musaddad (terpandu), kemudian akal muayyad (terkokohkan). Menyimpulkan ketiga akal ini, Taha berkata:
“Apabila akal mujarrad hendak memikirkan sesuatu dari sifat lahirnya saja atau dalam istilahnya disebut ‘firgur’, dan akal musaddad hendak memikirkan sesuatu berdasarkan tindakan eksternalnya saja atau (istilahnya disebut)‘aktivitas’, maka akal muayyad, berbeda dari dua akal sebelumnya, di samping figur dan aktivitas, ia hendak menjangkau sifat batin dan aktivitas internal dari sesuatu atau (istilahnya disebut) ‘esensi’.”
Akal muayyad, tingkatan akal paling sempurna, dibasiskan kepada kalbu yang merupakan alat dalam diri manusia yang tidak hanya perlu didikan kognitif, melainkan juga didikan moral dan spiritual.
Taha menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar yang intinya memuara pada perlunya kolaborasi antara disiplin ilmu yang memakai akal murni, yakni ilmu kalam dan filsafat, dengan ilmu yang menggabungkan antara akal dan tindakan, yakni tasawuf.
Barangkali kesimpulan paling mengena soal ini adalah kutipan dari Al-Ghazali yang tertuang dalam kitab ‘al-Arba’in fi Ushul ad-Din’ berikut ini:
“Tak akan ada yang bisa mencapai cahaya makrifat hakiki (tentang ketuhanan) kecuali kalbu yang bersih. Kalbu yang bersih itu ibarat cermin yang memantulkan. Demikian dapat terjadi dengan jalan fitrah yang kokoh dan niat yang lurus, kemudian dengan cara melunturkan kotoran-kotoran duniawi dari hadapannya.”