Murid Imam As-Suyuthi, Abdul Qadir As-Syazili, bercerita bahwa suatu kali gurunya berjumpa dengan Burhanudin Al-Kurki. “Kami mendahuluimu belajar pada para Syekh, sementara kamu mengambil imu dari buku (kitab) dengan kecerdasanmu,” tegur Al-Kurki dengan nada keras pada As-Suyuthi.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi hanya menjawab, “ilmu adalah cahaya (nur) yang dihujamkan Allah ke dalam hati hamba yang dikehendakiNya.”
Dialog ini mengindikasikan pencapaian pengarang Tafsir Jalalin itu yang melampaui ulama di masanya, popularitasnya yang semakin tersebar, serta sikap iri dari beberapa ulama lain seperti Al-Kurki.
Pembaca bisa juga memahami bahwa belajar secara otodidak ala Imam As-Suyuthi dibenarkan selama orang tersebut sudah melengkapi diri dengan ilmu-ilmu perangkat yang dibutuhkan sesuai tahapan-tahapan ilmu. Bahkan pola belajar semacam ini bisa jadi harus dijalani seorang pelajar karena tak mungkin menghabiskan umur dengan duduk di hadapan guru terus menerus. Ilmu ini terlalu luas sementara umur sangat singkat.
Namun jangan dibayangkan Imam Jalaluddin As-Suyuthi seperti banyak sarjana masa kini yang menggelorakan semangat belajar otodidak ala beliau tapi tidak mau meneladani awal langkahnya membangun karakter diri, sehingga penelitian yang dihasilkannya ngawur atau akal-akalan. Tak ada tanggung jawab ilmiah.
Langkah Awal Imam As-Suyuthi
Nama lengkapnya adalah Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, lahir di Kairo 849 H dan wafat di Kairo 911 H. Setelah menghafal Al-Qur’an secara tuntas di usianya yang ke-8, beliau mulai menghafal kitab Umdat Al-Ahkam karya Al-Maqdisi, Minhaj At-Thalibin karya An-Nawawi, Alfiyah Ibn Malik, dan Minhaj Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul karya Al-Baidlawi.
Dia duduk belajar di hadapan para syekh agung di masanya: Syihabuddin As-Sarmahani As-Syafi’i, Syamsuddin Al-Hanafi, Imam Al-Bulqini yang sangat dihormatinya hingga wafatnya, Al-Manawi, berguru pada Izzudin Al-Kinani Al-Hanbali selama 14 tahun, Taqiyudin As-Samni Al-Hanafi, Saifudin dan Muhyiddin Al-Kafiji. Sebuah formulasi guru lintas mazhab yang biasa saja di masa itu.
Menurut otobiografi yang ditulisnya sendiri, yang berjudul At-Tahaddus bi Ni’matillah: pada hari Sabtu, Senin dan Kamis saya menghadiri majlis Imam Al-Bulqini dari terbit fajar hingga waktu zuhur. Di hari Ahad dan Selasa pada Syekh Saifuddin Al-Hanafi; di hari Ahad berlanjut ke majlis Al-Kafiji.
Jadi tidak seperti sarjana kampus masa kini yang absen membangun karakter keilmuannya di masa remaja, kemudian setelah masuk kampus dan mendalami satu bidang ilmu dia langsung memposisikan diri seperti Imam As-Suyuthi. Jauh panggang dari api.
Baca juga: Imam As-Suyuthi: Akan Ada Ujian Besar Tiap Akhir Abad
Ilmu Faraid Sebagai Momok dan Mantiq yang Diharamkan
Hampir semua ilmu di masanya telah Imam As-Suyuthi lahap di hadapan para gurunya, termasuk Faraid (ilmu waris) yang konon menjadi momok baginya. Tuduhan bahwa dia tidak paham ilmu Faraid telah dibantah dalam buku otobiografinya tadi. “Maksudku: penguasaanku pada ilmu Faraid seperti sungai Nil dibandingkan dengan lautan. Ilmu yang lain adalah lautan sementara Faraid seperti Nil.” tulis dia.
Dia juga terkesan enggan mendalami ilmu Kalam. Gurunya, Al-Kafiji, berkali-kali memintanya agar mau menuliskan syarah(komentar) atas karyanya, Anwar As-Sa’adat, tapi dia menolak. “Saya enggan mendalami ilmu ini.”
Bisa jadi karena keterkaitan ilmu Kalam dengan fisafat. Pasalnya, dia termasuk ulama yang memandang haram untuk mendalami ilmu mantiq dan semua filsafat. Faktornya, seperti dia ceritakan sendiri:
“saat saya mengaji Isaghuji (buku mantiq) pada Syamsuddin Al-Hanafi, datang seorang Qadli dari Turtus-Suriah bertamu pada guruku, Al-Kafiji. Waktu itu si Qadli melihat tulisanku tentang ringkasan Waraqat Imam Al-Haramain, dia mengambil dan membawanya ke negerinya kemudian diakuinya sebagai karya sendiri. Si Qadli kebetulan membaca Isaghuji dan saya mendebatnya dalam beberapa persoalan, ternyata Qadli ini tak memiliki ilmu. Sejak saat itu saya menjadi benci ilmu mantiq dan didukung oleh fatwa ulama yang mengharamkannya seperti Ibnu Ash-Shalah dan An-Nawawi. Bahkan seandainya tidak diharamkan saya tetap tak akan mendahulukannya dari ilmu agama.”
Pengalaman pribadi, stigma, selera dan fatwa juga ikut membentuk pilihan seseorang. Seperti As-Suyuthi yang enggan mendalami Faraid, ilmu Mantiq, Filsafat dan ilmu Kalam karena hal di atas. Yang terpenting adalah bagaimana seorang sarjana bertanggung jawab atas piihannya. Ini yang patut diteladani dari Imam As-Suyuthi dengan mengarang buku khusus bertajuk “Al-Ghaitsu Al-Mughriq Fi Tahrim Al-Mantiq.” Bukan dengan menolak sesuatu secara semena-mena.
Baca juga: Menguak Sakralitas Makna Basmalah dalam Literasi Islam
Majlis Imam As-Suyuthi
Setelah menjalani petualangan intelektual yang melelahkan, dengan sekali perjalanan As-Suyuthi berangkat ke Tanah Haram untuk melaksanakan haji dan berjumpa para ulama di sana. Saat dia menginjak usia 21, Al-Bulqini menahbiskannya untuk duduk mengajar di As-Syaikhuniyah. Untuk memperkuat kedudukannya, Al-Bulqini sesekali menghadiri majlis muridnya ini. Di usia ini pula, dia telah sampai pada level mufti.
Imam As-Suyuthi memiliki murid-murid setia yang mengikutinya ke manapun dia mengajar, seperti Badruddin Al-Qaimuri selama 10 tahun, Sirajuddin Al-Anshari 20 tahun. Dia tak hanya membacakan karya-karyanya sendiri. Dia juga membacakan pada santrinya karya ulama lain seperti Minhaj An-Nawawi dan Alfiyah Ibn Malik, dua kitab yang sudah dihafal sejak remaja.
Pada 872 H, sekitar 2 tahun semenjak mengajar di As-Syaikhuniyah, dia diminta agar mengajar di masjid agung Sultan Thulun, yang sempat vakum selama 20 tahun sejak wafatnya Imam Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalani. Dia melanjutkan tradisi ulama yang mengisi hadits semenjak Ar-Rabi’ bin Sulaiman, sebagai ulama pertama yang mengisi pengajian hadis di masjid tersebut.
Hanya saja dia memilih mengajar setiap selesai shalat Jum’at. Dengan alasan meniru kaum muhadisin klasik, seperti Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibn As-Sam’ani dan Ibn Asakir. Sebelumnya majlis berlangsung setiap Selasa pagi, baik di masa Al-Iraqi maupun Al-Hafiz Ibn Hajar. Majlis ini juga pernah libur setahun karena ada wabah (tha’un) pada 873 H.
Klasifikasi Karya-karya Imam As-Suyuthi
Bagi sarjana modern, hampir tak terbayang memiliki karya sebanyak 300an judul seperti Imam As-Suyuthi. Karyanya memuat semua keilmuan Islam di masa itu. Satu judulnya bisa berjilid-jilid. Semua ini didukung oleh perpustakaan pribadi ayahnya, Syekh Abu Bakar As-Suyuthi, dan perpustakaan di Kairo saat itu.
Rasyid Ridla, murid Syekh Muhammad Abduh, menuduhnya hanya plagiator. “As-Suyuthi seperti pengumpul kayu bakar,” katanya. Sebuah tamsil yang menggambarkan dirinya seakan hanya menyalin dan memindah tulisan orang lain. Tak ada inovasi dan sumbangsihnya untuk keilmuan islam. Tuduhan ini tertolak sendiri sebab siapapun yang membaca karya-karyanya akan menyadari kualitas di dalamnya.
Karya-karya tersebut telah diklasifikasi sendiri oleh Imam As-Suyuthi dalam 7 kategori:
- Karya yang dianggap inovatif dan tak pernah dihasilkan ulama sebelumnya, seperti karya fenomenalnya, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (sebuah buku wajib, menurut Ibn Khaldun, bagi siapapun yang mau mendalami studi ilmu Al-Qur’an). Kemudian Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, Turjuman Al-Qur’an, Asrar At-Tanzil, Al-Iklil, Tanasuq Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar.
- Karya yang serupa dengan karya ulama lain namun mendapat tempat istimewa dan diterima oleh kaum muslimin. Di antaranya Tafsir Al-Jalalain yang masyhur itu dengan sekitar 50 karya lain yang disebutkannya di At-Tahadduts.
- Buku kecil namun tak bisa disebut risalah (kitab tipis), yang jumlahnya sekitar 70 buku.
- Risalah yang bukan fatwa-fatwanya.
- Fatwa-fatwanya yang mancapai 80 buku dan ada yang 2 jilid tebal.
- Karya-karya yang oleh Imam As-Suyuthi dianggap tidak penting, sebab hanya berupa periwayatan murni tanpa analisa. Karya semacam ini biasanya ditulis di masa beliau belajar. Jumlahnya tidak disebutkan.
- Karya yang ditulis olehnya namun kemudian didera kebosanan sehingga tidak tuntas. Jumlahnya mencapai 83 karya.
Karya-karya ini kemudian menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini, bahkan saat pengarangnya masih hidup. Sebuah anugerah Allah yang tiada tara.
Baca juga: Karangan Kitab Sebagai Karamah Ilmu Para Ulama
Mengaku Sebagai Mujtahid Mutlak
Imam Jalaluddin As-Suyuthi merupakan ulama ensiklopedis yang menguasai semua keilmuan Islam di masanya. Lihat pengakuan berikut:
Saya mahir dalam ilmu Nahwu, saya telah membaca banyak sekali kitab dalam ilmu ini. Saya kira apa yang telah saya baca belum ada seorangpun di masa kini yang menyamai bacaan saya. Siapapun yang membaca buku saya, Jam’u Al-Jawami’, pasti menyadarinya meski buku ini tergolong kecil.
Kemudian saya berpindah ke ilmu Fikih, dan alhamdulillah, keduanya menjadi ilmu yang paling saya kuasai. Selanjutnya ilmu al-ma’ani (Balaghah), Insya’ dan Musthalah al-Hadits. Adapun ilmu Faraid, pengetahuan saya sama dengan yang lain. Ilmu hitung dan ‘arudl sangat minim. Adapun mantiq dan ilmu filsafat maka saya menjauhinya karena haram, seperti kata Imam An-Nawawi.
Dengan pengetahuan yang luas tak heran bila Imam As-Suyuthi pernah mengaku sebagai mujtahid mutlak. Pernyataan ini menjadi ‘bola panas’ terutama bagi ulama yang merasa iri dengan popularitasnya seperti Al-Kurki dan As-Sakhawi.
Dalam At-Tahadduts, Imam As-Suyuthi telah melakukan pembelaan bahwa yang dimaksud dengan “mujtahid mutlak” adalah dalam bidang ilmu tertentu. Dia mujtahid mutlak dalam tiga kategori (hukum syariat, hadits dan ilmu bahasa Arab) sebagaimana sebelumnya Imam Taqiyudin As-Subki yang juga sampai pada derajat ini.
Lebih tepatnya sebagai mujtahid mutlak muntasib (seorang mujtahid mutlak tapi masih menyandarkan pendapatnya pada mazhab Syafi’i), bukan mustaqil (independen seperti empat imam), tapi juga bukan muqayyad (mujtahid yang terikat seperti Imam An-Nawawi). Pengakuan ini terjadi di umurnya yang ke 40 pada tahun 889 H.
Bagaimana metode fatwa Imam As-Suyuthi? Dia telah menjawab sendiri, “Dalam berfatwa saya tak keluar dari mazhab As-Syafi’i sebagaimana dilakukan Imam Al-Qaffal.”
Saat ditanya, “Mengapa demikian padahal anda mujtahid mutlak?” Beliau menjawab, “Sebab penanya ingin jawaban dalam mazhab yang dianutnya, bukan mazhab saya.”
Terkait pengakuannya sebagai mujtahid, Imam As-Suyuthi pernah akan diadili oleh ulama di masanya. Namun beliau menolak hadir, dengan alasan untuk mengadili seorang mujtahid mutlak maka yang menjadi hakim juga harus setara. Bukan seorang yang berada di bawah levelnya; di masa itu tak ada yang selevel dengan Imam As-Suyuthi.
Saya kira untuk di masanya, abad IX M, tak ada ulama yang sangat ambisius melebihi Imam As-Suyuthi. Dia bahkan menulis buku khusus berjudul Ar-radd ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila Anna al-Ijtihad fi kulli Ashr Fardh untuk menyatakan bahwa pintu ijtihad tak pernah ditutup hingga akhir masa.
Sumber Penghidupan Imam As-Suyuthi
Apakah popularitas dan keulamaannya membuat ImamJalaluddin As-Suyuthi jumawa? Tidak. Dia menolak tawaran mengajar di lembaga-lembaga prestisius milik pemerintah. Dia juga menolak bantuan Sultan Al-Ghuri (w. 922 H), penguasa Mamalik Mesir, dalam bentuk apapun. “Saya hanya butuh pada Allah,” demikian jawaban dia tegas.
Jika mendesak, Imam As-Suyuthi akan menjual karya dan bukunya untuk menopang hidup. “Saya sudah menjual puluhan buku atas perintah guru saya,” cerita Syekh Abdul Qadir As-Syazili, murid kesayangannya.
Untuk menjaga perasaan Al-Ghuri, sesekali dia pernah menerima separuh hadiah yang diantar. Waktu itu hadiah yang ditawarkan berupa uang dinar emas dan seorang budak. Imam Jalaluddin As-Suyuthi memilih menerima budak dan mengembalikan uang dinar emas. Kemudian si budak dimerdekakan. Semoga rahmat Allah menyertainya, amin.