Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Meneladani Ibnu Majid, Navigator Muslim Berjuluk Singa Lautan

Avatar photo
18
×

Meneladani Ibnu Majid, Navigator Muslim Berjuluk Singa Lautan

Share this article

Profesor Hamad Bin Seray, pakar sejarah dan arkeologi di Universitas Uni Emirat Arab, mengajak kita meneladani Ahmad Ibnu Majid. Dia navigator muslim yang sampai hari ini selalu disebut-sebut di dunia maritim dan ilmu-ilmu pelayaran. Kebetulan, sama halnya dengan Ibnu Majid, Profesor Seray juga berasal dari Julfar. Saat ini masuk Ra’s al-Khaimah, satu dari tujuh keamiran Uni Emirat Arab.

Profesor Seray mengungkapkan bahwa Ahmad Ibnu Majid adalah seorang pelaut yang gigih mendalami ilmu-ilmu pelayaran. Sebuah ilmu yang juga digandrungi dan digeluti oleh ayah dan kakeknya. Tidak hanya dari mereka berdua, Ibnu Majid acap kali mendengarkan dongeng-dongeng lautan dari siapa saja yang berlabuh di dermaga Julfar. Di tempat itu, ia bermain dan tumbuh dewasa.

Tidak aneh bila Ibnu Majid menguasai banyak bahasa asing. Pasalnya, dermaga tersebut merupakan salah satu pelabuhan penting tempat para pelayar internasional bernegosiasi dan bertransaksi.

Lebih jauh lagi, Profesor Seray berpendapat bahwa Ibn Majid menerapkan teori dan praktik secara langsung dengan memadukan antara ambisi, keimanan, ketakwaan, penguasaan matematika, inovasi, serta pengetahuan ensiklopedis tentang geografi dan astronomi. Sebuah kombinasi unik yang akhirnya menjadikannya salah satu figur penting sebagai sarjana pelayaran terkemuka di masanya.

Tidak bisa dipungkiri, Ibnu Majid adalah seorang produk zaman, sebuah masa di mana teknologi bahari berkembang pesat lantaran perdagangan laut adalah kebutuhan pokok dunia internasional.

Hal itu sangat selaras lantaran Julfar sendiri adalah kota besar dengan koneksi internasional. Sebuah titik penting yang menghubungkan berbagai jalur pelayaran ke seluruh perairan dunia.

Baca juga: Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia

Tetapi yang paling inspiratif dari sosok Ibnu Majid dan para pengembara seperti dia, menurut Profesor Seray, adalah tekadnya yang mengingatkan kita akan arti sesungguhnya petualangan. Yaitu tentang menguji diri dengan meninggalkan zona nyaman pelabuhan kehidupan untuk menjelajahi zona-zona yang belum terinjak kaki manusia. Berbekal iman, berjubah takwa, dan bersenjatakan tawakal.

Ketika setiap smartphone saat ini memiliki kompas berikut berbagai perangkat lunak yang mempermudah kehidupan, masih tersediakah ruang bagi kita untuk membangkitkan kembali keterampilan kuno yang justru menjadikan kita lebih manusia? Tidak perlu dijawab.

Ibnu Majid dikenal sebagai penemu kompas dalam bentuk paling modern adalah satu hal, tapi ketika ia sama sekali tidak mengetahui ujung dari pengembaraannya adalah satu hal lain.

Begitu layarnya berkibar dan meninggalkan dermaga, dia tidak tahu apakah dia akan kembali dengan utuh atau tidak. Itu adalah misi dan tekad yang berat, tapi itulah yang dinamakan petualangan dalam definisi sebenarnya.

Ibnu Majid mengembangkan keterampilannya dalam dunia pelayaran, memupuk kepercayaan diri, dan tidak segan beralih dari rute yang dia ketahui ke rute lain yang belum diketahui.

Dia memiliki ambisi untuk mencapai cakrawala baru yang belum dicapai para pendahulunya. Hanya dengan jalan demikian dia berhasil merubah sejarah pelayaran hampir di segala aspek.

Baca juga: Ibnu Jubair Menenggak Tujuh Cangkir Anggur Lalu Berangkat Haji

Ia bernama Syihabuddin Ahmad bin Majid bin Muhammad, memiliki beberapa julukan antara lain mu’allim al-arab (guru bangsa Arab) dan asad al-bihar (singa lautan). Orang-orang Portugis yang sangat kesohor dalam berlayar, justru melakabinya Almirante yang artinya pangeran laut atau laksamana.

Sang Almirante lahir sekitar tahun 1432 Masehi di Julfar (saat ini Ra’s al-Khaimah) dan menutup usia pada tahun 1500 Masehi. Ia berasal dari keluarga kaya yang mengelola beberapa kapal dagang.

Kekayaan keluarganya justru memicunya mengembangkan dunia pelayaran dengan mendorongnya keluar dari zona nyaman, mencari jati diri di tengah lautan mengais wawasan dalam ambisi berpetualang.

Pada usia 17 tahun Ibnu Majid sudah piawai menavigasi kapal. Di Barat sampai hari ini namanya harum sebagai navigator yang mempermudah rute Vasco da Gama dalam pelayaran yang kisahnya abadi sampai hari ini.

Selain berlayar, Ibnu Majid juga memiliki kecintaan yang mendalam dalam puisi dan prosa, tercatat ia menerbitkan hampir empatpuluh karya tulis.

Ibnu Majid menulis beberapa buku tentang ilmu kelautan dan pergerakan kapal, karya yang kemudian membantu orang-orang Teluk Persia untuk mencapai pesisir India, Afrika Timur dan sejumlah pantai lainnya.

Di antara banyak bukunya tentang navigasi, Kitab al-Fawa’id fi Usul ‘Ilm al-Bahr wa al-Qawa’id yang ia tulis pada tahun 1490 Masehi, dianggap sebagai masterpiece, sebuah buku yang memuat informasi tentang prinsip dan kaidah-kaidah dalam bernavigasi.

Buku tersebut dikenal sebagai mausu’ah (ensiklopedia) ilmu-ilmu pelayaran, yang menjelaskan secara detil sejarah dan prinsip-prinsip dasar navigasi, lintang serta bujur berdasarkan navigasi celestial (bersifat astronomis), stasiun bulan [1], loksodrom [2].

Buku itu juga memuat perbedaan antara pelayaran di daerah pesisir dan di laut lepas, penggambaran lokasi pelabuhan dari Afrika Timur hingga Indonesia. Kemudian berisi catatan tentang angin muson dan angin-angin musiman lainnya. Begitu juga tentang angin topan dan topik-topik lain yang sangat dibutuhkan seorang navigator profesional.

Baca juga: Pajaro Negro, Musik dan Budaya Bersolek di Eropa

Kitab Fawa’id disandarkan atas hasil riset serta pengalaman Ibnu Majid sendiri. Juga yang ia dengar dari ayah maupun para navigator terkenal zaman itu, serta dari data-data para pelaut Samudra Hindia.

Buku tersebut memuat seluruh ilmu navigasi di Samudera Hindia pada saat itu. Betul-betul warisan tak ternilai dari seorang ilmuwan dan petualang sejati.

Semasa karir Ibnu Majid, pelayaran Bangsa Arab berada di barisan terdepan di bawah pengaruhnya. Di saat yang sama orang-orang Ajami hanya memiliki pemahaman yang terbatas tentang geografi laut merah dan teluk barbera. Terutama kondisi dan rute ke Samudra Hindia, Selat Malaka, hingga ke Laut Cina Selatan.

Panduan dan penjelasan yang ditulis Ibnu Majid banyak digunakan para pelaut asing untuk menimba ilmu navigasi, astronomi, pola cuaca, dan titik-titik berbahaya di laut untuk diarungi.

Nenek moyang kita adalah pelaut, demikian salah satu jargon terkenal bangsa Indonesia. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang adanya kontak langsung antara Ahmad Ibnu Majid dengan para pelaut Nusantara abad 15. Supaya fakta-fakta baru bisa terkuak dan dikaji. Tentu, kitab karangan Ibnu Majid di atas bisa dijadikan pintu masuk. Banyak kemungkinan yang akan terbuka lebar. Masa lalu layak digali terus-menerus seperti halnya masa depan yang musti dihadapi. 

***

Perbendaharaan Kata:

  1. Stasiun Bulan: Disebut juga rumah bulan, adalah titik ekliptika atau garis edar yang dilalui bulan dalam orbitnya mengelilingi Bumi.
  2. Loxodrome: Jalur antara dua titik di sebuah permukaan bola yang jika ditelusuri arahnya tidak pernah berubah. Pada bola dunia, kendaraan yang mengikuti jalur loksodrom hanya cukup diarahkan pada arah mata angin tertentu. Dan akan sampai tujuan jika tidak pernah mengubah arahnya.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.