“Maulana, antum kenapa bisa sekokoh dan sekekeh ini untuk mengajar?.” Tanya saya kepada guru saya, Syeikh Abdul Aziz Syahawi suatu ketika. Waktu itu cuaca Kairo sedang panas-panasnya, suhu 41° beliau tetap mengajar di tiap majelis. Saking panasnya, dalam perjalanan kaki dari Masjid Al Azhar menuju majelis lain beliau membasahi jubah bawahnya untuk sedikit mengurangi panas.
Beliau menjawab dengan jawaban yang cukup singkat: “Aku berharap agar hidupku ditutup dengan menyebarkan ilmu.”
Itu juga artinya beliau sudah menjadikan kesehariannya dengan menyebarkan ilmu.
Saat ini beliau sudah tidak boleh membaca dikarenakan larangan dari dokter setelah menjalankan operasi mata lima tahun yang lalu. Jadi jika melihat beliau mengajar di al-Azhar dan majelis lain maka ketahuilah bahwa beliau tidak pernah sama sekali mempersiapkan materi pelajaran.
Bagi yang sering hadir di majelis beliau pasti bisa merasakan, bahwa banyak yang beliau sampaikan itu ada di kitab dan juga hasiyah dengan tambahan penjelasan dan pemahaman yang beliau paparkan. Sebut saja contoh di pengajian tafsir Jalalain, sebelum dibacakan matan kitabnya, beliau sendiri yang terlebih dulu menjelaskan ayat yang akan dibaca, seringkali penyampaian itu sama persis dengan apa yang di kitab huruf per huruf.
Apabila datang pembahasan Qiraat pasti beliau sampaikan macam-macamnya dan cara membacanya dengan praktek lengkap dengan nama-nama qiraat beserta imamnya dan juga istisyhad Syatibi dan Durroh. Ketika pembahasan fiqih, nahwu, sejarah dan materi lainnya pun juga seperti itu.
Ajaib memang. Perlu diketahui juga, bahwa semua kitab-kitab beliau untuk mengajar di Kairo dititipkan di rumah saya. Kapan beliau murojaah? Saat ini saya tidak pernah melihat beliau murojaah kecuali hanya al-Quran sebagai wirid harian. Bahkan kitab kitab beliau yang di dibawa ke majelis itu bukan untuk beliau, tapi disiapkan untuk qori’nya, jadi beliau sendiri tidak melihat kitab yang dibaca saat majelis.
Pernah suatu ketika ada salah satu ulama dari Irak bertanya kepada beliau, apa rahasia kecerdasan dan kekuatannya hingga saat ini? Beliau menjawab: Semua ini karena karunia Allah, dan buah dari pahitnya mencari ilmu di waktu muda.
Kemudian ulama Irak itu berkata:
علمكم في قلبكم
“Ilmu engkau sudah ada di hati.”
Juga Syaikh Aiman al-Hajjar pernah bertanya kepada beliau: Maulana, apa rahasiamu sehingga di kondisi apa pun siap dengan ilmumu? Lalu beliau menjawab dengan perkataan Imam Syafi’i:
عِـلْـمِـي مَـعِـي حَـيْـثُـمَـا يَـمَّـمْـتُ يَـنْفَعُنِي
قَــلْــبِــي وِعَــاءٌ لَــهُ، لَا بَــطْــنُ صُـنْـدُوقِ
إِنْ كُـنْـتُ فِـي الْـبَيْتِ كَانَ الْعِلْمُ فِيهِ مَعِي
أَوْ كُنْتُ فِي السُّوقِ كَانَ الْعِلْمُ فِي السُّوقِ.
فسح الله في مدته ونفعنا به دنيا وأخرى