Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Rasulullah SAW. Diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab di mana manusia dan jin tidak mampu membuat yang sepertinya, meski satu surat pun.
Kemukjizatan Al-Qur’an meliputi beberapa aspek. Di antaranya kandungan maknanya dengan beberapa komposisi yang mengagumkan, deskripsinya yang luar biasa, keindahan tata bahasanya, serta makna-makna lain yang tidak terkumpul dalam satupun kitab suci yang diturunkan sebelumnya.
Untuk memahami kandungan makna Al-Qur’an, mutlak dibutuhkan berbagai perangkat seperti penguasaan pemahaman bahasa Arab, hadits-hadits Nabi yang menjelaskan makna kata yang dikehendaki, atau atsar sahabat yang menjadi saksi turunnya ayat yang bersangkutan.
Tanpa itu semua, mustahil kita mengetahui makna yang dikehendaki dari kata-kata Al-Qur’an, dan bahkan bisa terjerumus dalam pemaknaan keliru sesuai akal pikiran kita sendiri.
Tidak jarang, sebagian orang memahami beberapa kata dalam Al-Qur’an secara keliru. Mereka memaknai bukan makna yang dikehendaki kata tersebut.
Pusat Fatwa Elektronik Al-Azhar merangkum 10 kata dalam Al-Qur’an yang dipahami secara keliru oleh sebagian orang, kemudian meluruskannya.
Pertama: surat Al-Baqarah ayat 219
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka infakkkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Al-Baqarah: 219)
Kata Al-‘Afwu seringkali dipahami oleh sebagian orang dengan makna maghfirah yakni pengampunan. Padahal makna dari kata Al-‘Afwu dalam ayat tersebut adalah kelebihan dari kebutuhan seseorang beserta keluarganya.
Jadi hendaknya ia tidak menginfakkan apa yang dibutuhkannya sehingga dirinya terlantar, sementara bersedekah dengan kelebihan harta tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah.
Kedua: Surat Al-Baqarah ayat 207
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207)
Makna kata Yasyri bukanlah membeli (Yasytari), namun bermakna mengorbankan (menjual) dirinya demi mengharap ridha Allah swt.
Ketiga: kata Qâmû dalam surat al-Baqarah ayat 20
Allah swt. menggunakan kata Qâmû dalam mengumpamakan orang-orang munafik seperti orang-orang yang berjalan dalam cahaya kilat yang ada pada surat Al-Baqarah ayat 20:
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ ۖ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُم مَّشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Makna Qâmû di sini adalah mereka berhenti dan diam di tempat dalam keadaan bingung, bukan bermakna berdiri.
Keempat: kata Fishâlan dalam surat Al-Baqarah ayat 233
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”
Yaitu ketika Al-Qur’an membicarakan tentang keputusan suami istri dalam sebagian urusan rumah tangganya. Kata fishâl bukan bermakan cerai, akan tetapi bermakna menyapih bayi.
Kelima: Kata Yafraqûn dalam surat At-Taubah
وَلَٰكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ
“Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepada-Mu).” (At-Taubah: 56)
Yaitu ketika Allah swt. membicarakan sebagian sifat-sifat orang munafik. Kata yafraqûn di sini bermakna sangat takut dan khawatir atas perkara yang akan menimpanya, bukan bermakna pisah, putus, dan perselisihan.
Keenam: kata Khullifu dalam surat At-Taubah
وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka.” (At-Taubah: 118)
Yaitu ketika Allah swt. menyebutkan kisah tiga sahabat yang tidak ikut perang Tabuk bersama Nabi Muhammad saw. Maksud dari kata Khullifu di sini adalah ditangguhkan penerimaan apologi dan tobat ketiganya, bukan bermakna tertinggal dari perang.
Ketujuh: Kata Yansiluun dalam surat Al-Anbiya’
حَتَّىٰ إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُم مِّن كُلِّ حَدَبٍ يَنسِلُونَ
“Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya: 96)
Kata Yansilûn di sini bukan berasal dari kata An-Nasl yang bermakna mereka bertambah banyak, namun kata ini bermakna mereka bergegas atau keluar dengan cepat.
Kedelapan: Kata Jâbû dalam surat Al-Fajr
وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (Al-Fajr: 9)
Kata jâbû ini bermakna mereka memotong batu-batu besar dan memahatnya, bukan bermakna mengambil atau mendatangkannya.
Kesembilan: Kata Adzinat dalam surat Al-Insyiqaq
وأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
“Dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh.” (Al-Insyiqaq: 2)
Kata ini bermakna langit mendengar, patuh, dan tunduk. Bukan bermakna izin dan kebolehan seperti kata Al-Idznu.
Kesepuluh: Kata Umm dalam surat Al-Qari’ah
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
“Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.” (Al-Qari’ah: 8-9)
Makna kata Al-Umm di sini adalah bagian depan kepala manusia. Maksudnya adalah diri pribadi dan personal orang tersebut, bukan bermakna ibu yang melahirkannya.
Demikian contoh kata dalam al-Qur’an yang keliru dipahami bila tidak memiliki ilmu dan pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki untuk memahami kandungan wahyu ilahi.