Catatan singkat wafatnya seorang ulama perempuan Indonesia.
Kenangan ini dimulai 10 tahun yang lalu.
Tepatnya pada tahun, 2011, saat saya harus
mengikuti mata kuliah fikih muqaran. Mata kuliah 3 semester di Fakultas Dirasat
Islamiyah (FDI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diampu oleh Prof. Dr. Huzaemah
Tahido Yanggo.
Figur yang selama ini saya dengar sebagai “bukan
sembarang” dosen. Banyak kakak kelas yang menceritakan kepakaran lulusan
al-Azhar Kairo ini. Beliau adalah perempuan Asia Tenggara pertama yang meraih
gelar doktoral perbandingan mazhab di universitas negeri Kinanah pada tahun
1984. Universitas yang menjadi “kawah candradimuka”-nya sejak jenjang S1 dan
S2.
Setidaknya ada tiga kenangan yang hingga kini
masih tertinggal. Menjadi secercah terang bagaimana saya memahami keilmuan dan
praktik berislam.
Pertama,
terkait dengan diskursus perbandingan mazhab. Sedari awal mengikuti
perkuliahan, saya menaruh prasangka. Fikih perbandingan mazhab adalah mata
kuliah yang akan “menggerus” komitmen mahasiswa dalam berfikih. Khususnya dalam
mengamalkan fikih mazhab Syafi’i. Lintas mazhab adalah langkah gegabah.
Mendorong seseorang untuk memilih-milih pendapat yang ringan ataupun mencampur
adukannya (talfiq). Prinsip inilah yang dulu, secara fanatik saya peganggi.
Terbentuk dari forum-forum bahtsul masail se-Kawedanan Pare Kediri. Dimana
pendekatan lintas mazhab adalah sesuatu yang tabu.
Setelah sekali dua kali mengikuti pengantar
perkuliahan dari Prof. Huzaemah, berlahan saya menjadi tersadarkan.
Perbandingan mazhab adalah niscaya bagi pengkaji fikih tingkat lanjut. Tujuannya
adalah untuk mematangkan penguasaan fikih itu sendiri. Bukan sebaliknya. Fikih
perbandingan mazhab adalah kekayaan keilmuan yang telah banyak ditulis oleh
ulama klasik ataupun kontemporer.
Sebagai misal kitab al-Mughni karya Imam
Ibnu Qudamah (541-620 H), Bidayah al-Mujtahid karya Imam Ibnu Rusyd
(520-595 H), al-Majmu’ karya Imam al-Nawawi (631-676 H). Dengan mengkaji
perbandingan mazhab, kita dihantarkan untuk memahami keluasan fikih, serta
mengetahi corak kekuatan metodologi masing-masing mazhab.
Kenangan kedua adalah terkait eksistensi ulama
perempuan. Sebelum kuliah di UIN Jakarta, tidak terlintas di benak saya,
menjumpai seorang wanita yang pakar dalam bidang fikih. Selama nyantri di
Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung Pare Kediri, saya tidak menjumpai seorang
ustadzah ataupun ibu Nyai yang membacakan kitab kuning untuk santri putra.
Malah sebaliknya, banyak ustadz atapun kiai yang mengampu pengajian untuk
santri putri. Demikian halnya dalam forum bahtsul masail, baik dalam lingkup
Kediri ataupun Jawa-Madura, belum saya jumpai ada perumus ataupun mushohih dari
perempuan. Dalam bahtsul masail putripun, sering kali dewan perumus dan
mushohihnya diambilkan dari ustadz ataupun Kiai.
Kenyataan ini berbeda ketika saya mengenal Prof.
Huzaemah. Rekam sejarahnya, sejak 1987, ulama kelahiran Donggala Sulawesi
Tengah 1946 ini sudah aktif menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Pandangan
dan argumentasinya banyak mewarnai perumusan fatwa-fatwa MUI. Demikian pula,
santri lembaga pendidikan al-Khairat ini juga aktif terlibat di forum-forum
ilmiah tingkat internasional. Duduk sejajar dengan para pakar fikih lintas
negara, yang banyak didominasi oleh kaum laki-laki.
Dalam beberapa kesempatan, hal ini saya temukan
langsung ketika di UIN Jakarta diselenggarakan seminar atau konferensi
internasional. Sebagai mahasiswa yang diajar beliau di ruang kelas, melihat
kiprah ini adalah sebuah “kebaruan” sekaligus kebanggaan tersendiri.
Ketiga adalah terkait “role model” emansipasi
wanita. Meskipun dengan segudang kesibukan dan keilmuan, Prof. Huzaemah tetap
tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Dalam beberapa
kesempatan, sebelum memulai perkuliahan, beliau menyatakan bahwa tidak mungkin
meninggalkan rumah sebelum memastikan anggota keluarga tersiapkan makanan dan
kebutuhan lainnya.
Sisi unik lainnya, saat mengajar ataupun di
forum-forum resmi lainnya, satu hal yang mengundang tanda tanya dari saya
pribadi adalah kekhasan gaya pakaian beliau. Selalu berpenampilan rapi dan
anggun dengan selendang lebar. Melingkar dari pundak hingga terapit kedua
tangannya. Warna selendang selalu serasi dengan warna kerudung dan gaun yang
beliau kenakan. Selaras dengan ungkapan bahwa pakaian adalah cermin
kepribadian.
Kemarin pagi, 23 Juli 2021, di hari Jumat yang mulia,
Prof. Huzaemah berpulang. Jelang Shubuh hingga pagi, tidak seperti biasanya,
Ciputat diguyur hujan. Dua hari ini masih sejuk dengan mendung bergelayut.
Mungkin saja isyarat mengiringi kepergian Prof. Huzaemah. Tenang beristirahat
di kompleks Pemakaman Para Guru Besar UIN Jakarta.
Lahal Fatihah.