Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Agama dan Manusia, Upaya Memahami Sistem Terpelik dalam Peradaban

Avatar photo
18
×

Agama dan Manusia, Upaya Memahami Sistem Terpelik dalam Peradaban

Share this article

Apa itu agama? Pertanyaan ini butuh uraian panjang, tentu saja. Definisi, sejarah, hingga perdebatan segera muncul setelahnya.

Kepercayaan adalah fondasi awal suatu ruang besar bernama agama. Dan kepercayaan, meminjam frasa Kesadaran Sartre, adalah selalu kepercayaan akan sesuatu. Karena dengan demikian, seperti halnya Intensionalitas, akan terjadi objektivikasi dan identifikasi. Dari sinilah kita kemudian akan berangkat tanpa harus membonceng beban berat sejarah itu.

Bukan kemudian kita menyimpulkan bahwa sejarah tentang agama, juga keberagamaan, menjadi tidak penting. Tapi apa yang ingin kita bicarakan bukanlah persoalan asal-usul. Selain bahwa obrolan itu akan sampai juga kepada asal-usul ‘kepercayaan akan sesuatu’—entah itu terhadap suatu zat yang transenden ataupun norma-yang niscaya akan bersinggungan dengan frasa Homo Religiosus sebagai afirmasi, kita juga tidak mengarah kepada pembuktian bahwa pada dasarnya manusia memiliki hasrat kodrati untuk menyadari ada sesuatu yang absolut di luar dirinya, yang menjalankan dan mengatasi segala hal.

Berangkat dari ‘kepercayaan akan sesuatu’, kita akan melihat suatu fenomena di mana agama pada dasarnya tidak hanya berisi perbincangan di-dalam-dirinya sendiri. Kepercayaan adalah aksi yang menarik suatu subjek dari realitasnya untuk kemudian menjadi realitas bagi subjek tersebut.

Sehingga, Agama, sebagai suatu kepercayaan yang mengonstitusi melalui Intensionalitas, akan berurusan langsung dengan realitas subjektif. Maka agama akan selalu mengandaikan suatu relasi, asimilasi, bahkan kompromi dengan realitas. Lebih rinci lagi dengan subjek di dalam realitas. Dengan demikian pergumulan agama tentang kepercayaan justru tidak lebih pelik ketimbang persoalan agama dengan entitas subjek: Manusia.

Mengapa manusia? Atau, apakah hanya manusia, entitas yang berurusan langsung dengan agama?

Dalam teks keagamaan, Islam misalnya, Al-Quran memang menyebutkan bahwa alam semesta juga turut menyembah Tuhan: “Langit yang tujuh, bumi dan segala isinya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada apa pun selain bertasbih dan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.” Al-Isra: 44.

Baca juga:

Meskipun, kita tidak bisa menyentuh bukti empiris tentang bagaimana semesta bertasbih (sebagaimana yang juga dikatakan di dalam ayat tersebut: Kamu tidak mengerti tasbih mereka). Dan barangkali kita memang tidak perlu membuktikan apa pun tentang bagaimana mereka menyembah Tuhan, yang di dalam agama samawi, misalnya, adalah titik tolak dari kepercayaan itu sendiri.

Tapi, jelas bahwa semesta, selain manusia, tidak menyembah Tuhan melalui sebuah konsep dan sistem. Hanya manusia yang memiliki perangkat untuk menyentuh pemahaman yang kita sebut sebagai akal dan pemaknaan melalui kesadaran. Sehingga persoalan tentang agama dan relasinya dengan realitas hanya akan muncul dari manusia.

Tidak sekedar persoalan kepercayaan yang kemudian dipahami manusia secara subjektif, sehingga muncul subjektifitas pemahaman yang berbeda-beda, bahkan dalam sebuah konsep agama yang sama, tapi dari subjektifitas itu juga lahir persoalan sosio-kultural yang tak kalah pelik. Bukankah manusia yang berperang atas nama agama? Juga terorisme, juga pembunuhan, dan kejahatan sosial lainnya?

Barangkali perlu menyoroti relasi antara manusia dan agama. Antara manusia sebagai subjek dan persoalan agama dalam realitas sosial, seumpama yang kita singgung di atas, pada mulanya, apakah manusia dilahirkan untuk agama? Atau sebaliknya, justru agama diproduksi untuk manusia?

Pilihan pertama, secara mendasar akan mengantarkan kita kepada afirmasi beragama, yang dengan demikian akan menuju pada konsep teologis, seperti misalnya, dalam agama samawi. Agama adalah suatu keadaan yang diterima oleh manusia sebagai keharusan.

Barangkali, pilihan pertama ini akan terasa lebih dekat dengan realitas keberagamaan kita ketimbang pilihan kedua. Sebab, apabila agama yang justru ‘diproduksi’ untuk manusia maka pengandaian ini akan merujuk pada sebuah keadaan di mana agama adalah sebuah pilihan. Dari pengalaman subjektifitas, kita justru bebas menentukan untuk beragama atau tidak. Dengan demikian pula kita tidak bisa menghakimi pilihan manusia yang berbeda. Sederhananya pilihan ini tampak sebagai persoalan etis.

Tapi apakah kemudian kita bisa membenarkan penghakiman, atau paling tidaknya, mempersoalkan apa yang dipercaya oleh seseorang dengan memilih opsi yang pertama? Sedangkan, dalam realitas kita, persoalan teologis malah tidak jarang memicu perselisihan. Dan persoalan etis, kadang kala justru membuat konsep agama itu sendiri menjadi tidak relevan. Ketika orang melihat tindakan amoral mengatasnamakan agama, mereka yang cenderung etis-praktis akan memicingkan mata sekaligus mencibirnya.

Baca juga:

Lalu, di manakah posisi persoalan realitas yang berbanding terbalik dengan konsep agama itu berpijak? Di manakah, pada dasarnya, perang atau pembunuhan atau terorisme atas nama agama itu bermuara?

Seseorang mungkin bisa menjawab, bahwa pilihan-pilihan tersebut justru tidak perlu atau malah sesat! Agama, secara utuh, tentu memiliki dasar sebagai pijakan teologis, juga etis sebagai konsep dan praktis sekaligus. Dalam teks-teks kitab suci, itu mudah sekali kita jumpai. Dan laku kejahatan yang muncul hanyalah ulah pemeluknya tanpa mengurangi secuil apa pun dari agama itu sendiri.

Tapi di sanalah letak dilematisnya. Apa yang kita persoalkan, sedari awal, justru relasi antara manusia dengan agama itu sendiri sebagai realitas. Bahwa pengandaian ini, menyoroti realitas dengan konsep tentang agama juga keberagamaan.

Dari persoalan semacam itulah, kita barangkali memang perlu menilik ulang pemahaman maupun pemaknaan kita tentang konsep agama di dalam realitas melalui kesadaran subjektif. Apakah agama yang kita maknai selama ini hanyalah doktrin yang mentah-mentah diterima begitu saja? Sehingga ruang agama justru tergerus di dalam realitas kita.

Atau bisa jadi kita begitu takut membincang agama dan menelaahnya secara kritis sebab ia sudah menjadi warisan kultural juga sosial yang demikian sakral? Sehingga kita harus hati-hati, sebab banyak kasus seperti para pemikir besar yang kemudian alih-alih sekedar menolak konsep tentang agama, mereka bahkan membangun ulang apa yang mereka bayangkan tanpa atribut agama.

Namun, apabila kemudian kita sungguh-sungguh menilik kembali pemaknaan tersebut, dan nahasnya kita justru malah menolak konsep tentang agama, maka esai pendek ini tidak memiliki tanggung jawab moral apa pun. Sebab pada dasarnya, itu adalah pemahaman opsi ke dua tentang relasi manusia dan agama, seperti kita kemukakan di atas, agama hadir sebagai pilihan. Dan memilih adalah kehendak bebas, maka penolakan tersebut adalah murni pilihan kita. Sekian.

Kontributor

  • Husni I. Nasution

    Lahir di Putri Hijau, Bengkulu Utara, 01 Oktober 1998. Kadang-kadang menulis esai, kadang puisi, sesekali cerpen. Mahasiswa Akidah Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo.