Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Agama samawi dan agama ardhi

Avatar photo
29
×

Agama samawi dan agama ardhi

Share this article

Tidak terlampau jelas sejak kapan masyarakat mengetahui ada perbedaan agama sawami (langit) dan agama ardhi (bumi). Kategori-kategori ini baru muncul belakangan, bukan muncul sejak hadirnya Islam. Kalau kita baca Al-Qur’an dan Hadits, tidak ada penjelasan tentang adanya kategori agama samawi dan ardhi.

Terlebih, kalau kita melihat sejarah kemunculan agama-agama, hampir semua agama bermula dari permenungan yang bersifat individual, dari kontemplasi yang privat, baru kemudian menyebar menjadi milik komunal hingga publik secara umum. Pertanyaannya adalah, bagaimana sebenarnya hadirnya agama Islam?

Syahdan, ketika Nabi Muhammad menjelang umur 40 tahun, kanjeng Nabi punya tradisi datang ke gua untuk bertahannuts (meditasi). Di tempat ini kemudian selang beberapa hari Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu. Adalah surah iqra’ yang pertama kali turun. Wahyu ini akhirnya kemudian di informasikan kepada orang lain. Maka sang istri, Siti Khadijah mengetahui tentang Wahyu ini, demikian juga Sahabat Abu Bakar mengetahuinya. Semakin lama, pelan dan pasti semua orang mengetahuinya terhadap wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. hingga kemudian membentuk komunal Islam dan melebar ke seantero dunia.

Hal yang sama juga di alami oleh Kristen, yang pada mulanya, ke Kristenan muncul lebih merupakan kepada permenungan pribadi dari Nabi Isa as, dari Yesus Kristus. Begitupun dengan agama Buddha yang lebih kepada permenungan pribadi dari Sidharta Gautama, yang melahirkan agama Buddha. Dengan demikian, seluruh agama adalah hasil komunikasi manusia dengan Allah SWT, komunikasi manusia dengan langit, dalam hal ini seluruh agama pada mulanya adalah agama langit. Tapi ketika hasil dari agama langit diterjemahkan dan diajarkan, maka seluruh agama langit menjadi agama bumi.

Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, seringkali agama ardi (bumi) dikenakan pada agama Timur, yaitu agama-agama yang muncul di India, bukan dari kawasan Timur Tengah. Secara tidak langsung, ini ingin menunjukkan bahwa ada diskriminasi dan cara pandang terhadap agama-agama yang muncul bukan dari Timur Tengah, seakan agama langit dikesankan sebagai agama yang paling benar, agama yang merujuk pada ketuhanan. Sementara agama bumi dikesankan dan diciptakan oleh manusia, padahal disitu juga ada hasil komunikasi antara manusia atau pendiri agama dengan Tuhannya.

Yang tidak kalah ironisnya, agama ardhi juga seringkali disematkan pada agama-agama yang tidak memiliki kitab suci. Sebenarnya kalau kita merujuk pada sejarah, bahwa seluruh agama-agama semitik, Yahudi, Kristen dan Islam bukan hanya memiliki tokoh suci yang disebut sebagai Nabi, tapi juga memiliki kitab suci. Itu sebabnya, agama-agama lokal di Indonesia yang tidak memiliki kitab suci, sekalipun mereka memiliki tokoh suci, pendiri agama, dan hari suci tidak disebut sebagai agama, melainkan disebut sebagai aliran kepercayaan semata.

Cara pandang dan mindset bias agama-agama semitik dan agama-agama yang memiliki kitab suci, harus dirubah untuk memberikan perhatian yang lebih wajar dan proporsional kepada agama lokal yang tumbuh-kembang di Indonesia. Kita tahu bahwa, ada puluhan bahkan ratusan agama-agama lokal yang tumbuh dari orang-orang Indonesia sendiri. Mereka punya hak untuk tumbuh dan berkembang seperti, hak yang dimiliki oleh agama-agama lain yaitu, agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha dan agama lainnya. Tak hanya itu, bahkan agama-agama lokal juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga mereka bisa menjalankan ibadah ritual dengan sangat baik tanpa gangguan dan diskriminasi dari orang lain.

Lalu bagaimana dengan orang murtad?

 Faktanya, masyarakat modern seringkali memberikan kecenderungan baru dibandingkan dengan masyarakat tradisional. Kecenderungan, untuk berpindah dari satu agama pada agama yang lain. Tentunya, ada banyak orang dalam dunia modern yang selama hidupnya bisa tiga sampai empat kali berpindah agama, tak terkecuali berpindah dari agama Islam kepada agama lain.

Yang menarik dalam Al-Qur’an terhadap orang yang menyebut dirinya keluar dari agama Islam, tidak ada sanksi hukum dunia baginya. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ کَافِرٌ فَاُ ولٰٓئِكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰ خِرَةِ ۚ وَاُولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Artinya:“Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)

Jelas sudah, dia dinyatakan sebagai kafir, tapi tidak sanksi hukum dunia terhadap orang yang keluar dari Islam. Kedua, ada fenomena bahwa orang itu tidak keluar dari Islam, tapi dikeluarkan dari Islam atas putusan pengadilan, ini yang terjadi pada Nasr Hamid Abu Zaid, seorang pemikir besar Islam di Mesir. Bahkan, ada juga fenomena yang bukan mengeluarkan satu individu dari Islam, tapi mengeluarkan satu komunitas dari Islam. Misalnya fatwa MUI menyatakan bahwa, Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Pernyataan ini dengan sendirinya ingin menegaskan bahwa Ahmadiyah sudah diluar Islam, padahal orang Ahmadiyah mengaku dirinya berada pada agama Islam.

Jika Al-Qur’an tidak memberikan hukum dunia terhadap orang yang pindah agama, lalu dari mana kita tahu bahwa ada hukum dunia terhadap orang yang pindah agama. Bahwa ada Hadits yang seringkali dikutip:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Artinya:“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari)

Hadits ini ada dalam Sahih Bukhari, Musnah Ahmad bin Hambal, Al-Muwattha’, tak kurang ada tujuh kitab hadits yang menjelaskan tentang bolehnya membunuh orang yang pindah agama.

Namun demikian, salah seorang pemikir besar, Jaudat Said, dalam bukunya laa ikraha fi ad-dhin menyatakan bahwa, hadits ini adalah hadist ahad, yang tidak pernah diketahui oleh publik apa yang menjadi sebab kehadiran hadist ini membolehkan untuk membunuh orang murtad. Begitu juga diragukan perawi hadits ini yang dianggap sangat tidak kredibel. Dengan demikian, hadits itu bukan hanya bermasalah dari sudut perawih haditsnya, tapi juga bermasalah secara sudut teksnya, karena hadits ini dianggap bertentangan dengan prinsip pokok dasar ajaran Islam yang memberikan kebebasan pada setiap orang, apakah dia ingin menjadi orang beriman ataukah tidak.

Kalau kita merujuk pada Al-Qur’an, dan tidak merujuk pada hadits maka, praktis tidak ada masalah terhadap orang yang pindah agama. Rupa-rupanya ternyata persoalan pindah agama tak melulu bisa kita lihat dari soal teologis, pindah agama harus juga dilihat dari aspek sosial-politiknya. Kenapa demikian? Pemilihan orang terhadap suatu agama seringkali dipengaruhi oleh pertimbangan sosial-politik. Karena itu, memilih atau tidak memilihnya seseorang seringkali pertimbangannya bukan atas dasar keyakinan dan teologis, melainkan atas persoalan dorongan sosial dan politik.

Syahdan, ada banyak orang dari kesadaran dirinya dia ingin berpindah dari satu agama pada agama lain, namun karena mendapat tekanan sosial maka kemudian tidak bisa melakukan pindah agama. Apa yang terjadi? Jawabannya dia beragama secara kepura-puraan. Dengan demikian, sangat tidak mudah untuk memberikan suatu keputusan terhadap orang berpindah agama dengan motif yang berbeda-beda. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.