Berbicara tentang pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah pendidikan Islam telah dimulai pada masa Nabi Muhammad di abad ke-7 M. Di mana ketika awal risalah Islam turun, Nabi telah diperintahkan untuk mengajarkan Alquran dan keilmuan Islam dengan metode pengajaran secara langsung kepada keluarga dan sahabat terdekatnya, semacam les privat di masa ini. Hal ini beliau lakukan selama tiga tahun awal perjuangannya di Mekkah. Para sahabat senior pun kemudian juga ikut membantu dalam proses pengajaran kepada sahabat lain dengan berbagai cara.
Salah satunya ialah sahabat Khabbab bin al-Artt, ia mengajar tarbiyah Islam dengan mendatangi muridnya dari rumah ke rumah. Kemudian, semenjak orang-orang yang tertarik dan memeluk Islam menjadi banyak, dalam riwayat dikatakan berjumlah 30 sahabat, Nabi memilih rumah sahabat Arqam bin Abil Arqam (Dar al-Arqam) sebagai tempat untuk menjalankan aktivitas pendidikan bagi Umat Islam.
Beberapa santri Nabi saat itu sudah mampu membaca, menghafal, dan menulis, sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat masyhur bahwa Khabbab al-Artt mengajarkan Fatimah, adik Umar bin Khattab dengan catatan mushaf sebagai sarana belajar Islam. Dari riwayat ini kita pahami, bahwa di masa permulaan Islam kaum perempuan juga mendapat hak untuk mendapatkan pendidikan. Ini juga didukung oleh riwayat yang telah disebut di atas bahwa Nabi dan para sahabat mengajarkan risalah Islam kepada kaum lelaki dan perempuan.
Kemudian, setelah hijrah ke Madinah, Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal tersebut juga akhirnya berdampak besar untuk pendidikan Islam sendiri. Karenanya, Nabi memfasilitasi tempat khusus semacam serambi (shuffah) di Masjid Nabawi untuk digunakan para sahabat sebagai tempat berteduh sekaligus tempat pendidikan berlangsung.
Pusat Pendidikan Islam di Madinah
Shuffah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam pertama di Madinah. Di mana Nabi Muhammad secara langsung mengajarkan mereka tentang Alquran, hadis, dan prinsip-prinsip dasar Islam. Santri ataupun para pelajar yang datang ke Suffah berasal dari berbagai latar belakang.
Di antaranya adalah penduduk asli Madinah, seperti Hanzalah dan Ka’ab bin Malik. Juga orang-orang muhajirin dari Mekkah yang tidak memiliki kerabat dan miskin, seperti Sayidina Abdullah bin Mas’ud dan ‘Ammar bin Yasir. Selain itu, mereka yang berasal dari luar Mekkah seperti Abu Hurairah, Said bin ‘Amr, dan Wasilah bin al-Asqa’. Ada pula masyarakat dari kabilah Arab non-penduduk Mekkah yang berhijrah ke Madinah.
Kelompok lain ialah tamu-tamu Nabi yang berasal dari berbagai negara, mengunjungi Madinah dalam rangka ingin belajar Islam. Tepatnya pada tahun ke-10 H, terjadi periode sanah al-wufud, yakni tahun ketika orang-orang berbondong-bondong masuk Islam, dan di tahun tersebut, shuffah sampai-sampai tidak bisa memadai untuk ditinggali maupun sekadar menjadi tempat singgah para tamu.
Ahlu Suffah yang berasal dari berbagai suku dan latar belakang tersebut, mencerminkan keragaman dalam komunitas umat Islam di awal. Hal ini juga menunjukkan semangat inklusivitas dalam pendidikan yang dipelopori oleh Nabi Muhammad saw..
Para pengajar dan metode pendidikan di Shuffah
Nabi Muhammad menjadi salah satu pengajar yang turun tangan langsung menarbiyah dan membina ahlu as-Shuffah. Akan tetapi sering kali beliau juga mewakilkan sahabat lain untuk mengajar dan membina mereka. Di antaranya adalah sahabat Salim al-Maula, Abu Hudzaifah, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab sebagai pengajar Alquran. Di mana Nabi pernah bersabda bahwa kapasitas ilmu Alquran mereka tidak diragukan lagi.
Ada juga sahabat Abdullah al-Ash dan Ubadah bin Shamit yang menjadi pengajar di Shuffah. Sebagaimana dari Ubadah sendiri mengatakan, “Saya dulu mengajarkan Ahlu Shuffah cara menulis, dan membaca Alquran”. (HR. Ahmad)
Hal tersebut menunjukkan bahwa perhatian Nabi terhadap pendidikan kaum muslimin sangatlah besar, sehingga beliau sae memerintahkan para sahabat untuk mengajar dan mendidik ahlu Shuffah tentang perkara dan keterampilan penting yang dibutuhkan oleh seorang muslim, utamanya pada perkara yang beliau sendiri tidak menguasainya yaitu membaca dan menulis.
Sebagai murabbi, beliau tidak hanya mendidik atau mentrasfer ilmu kepada mereka dengan pemberian maklumat. Namun beliau membina mereka dari berbagai segi kehidupan, mulai pembinaan akhlak, ibadah, tazkiyatunnafs, sikap zuhud, dan lainnya. Karenanya, Ahlu Shuffah menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Lebih dari pada itu, Nabi juga seringkali memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah sifat Murabbi yang Rabbani, yang tidak hanya memberikan solusi ukhrawi, tapi juga solusi duniawi, serta menjadikan kehidupan para santri sebagai bagian dari kehidupannya.
Kontribusi dalam Pendidikan Islam
Pusat Pendidikan Shuffah ini kemudian yang menghasilkan alumni-alumni handal dan menjadi pejuang serta pahlawan umat Islam dalam berbagai bidang. Seperti di bidang keilmuan ada Mu’adz bin Jabal sebagai guru sekaligus menjabat gubernur di Yaman, Abu Darda’ mendirikan pesantren di Syam, dan keilmuan hadis seperti Abu Hurairah dan Hudzaifah bin Al-Yamman.
Dalam bidang pemerintahan, alumni as-Shuffah yakni Abu Ubaidah bin Jarrah yang dipercaya mengelola keuangan negara di masa kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar, Huzaifah bin Yaman yang menjadi walikota Mada’in di masa Khalifah Umar dan Utsman.
Mayoritas Ahlu Shuffah memainkan perannya dalam menyebarkan Islam ke daerah-daerah lain, menjadi pengajar dan ulama di komunitas mereka masing-masing. Sejarah mencatat, bahwa berkat mereka dakwah Nabi akhirnya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan sampai sekarang menjadi salah satu agama yang banyak dipeluk di dunia.
Akhir kata, tradisi belajar yang dimulai oleh Ahlu Shuffah ini menjadi inspirasi bagi lembaga pendidikan Islam, termasuk madrasah dan universitas, utamanya pesantren di Nusantara yang memiliki kaitan erat dengan tempat pendidikan khas bagi sufi tersebut. Di mana penyebaran Islam di Indonesia, dalam sejarah dikenal dekat dengan tarekat para sufi. Dari situlah pesantren pertama kali dikenalkan dan dianggap khas pendidikan Islam di Indonesia. Wallah a’lam.