Al-Farabi berulang tahun ke 1150 pada bulan Agustus ini. Ia merupakan filsuf yang berhasil mengintegrasikan filsafat Timur dan Barat. Lahir di daerah yang kini kita kenal sebagai Kazakhstan, ia melalang buana ke berbagai pelosok Asia Timur.
“Kini filsafatnya menjadi lebih relevan untuk menjembatani perbedaan yang mencolok antara dunia Islam dan barat.” tulis The Economic Times pada Rabu (5/8) lalu.
Di Perancis Al-Farabi dikenal dengan nama Alpharabius. Bulan Mei lalu, sebuah konferensi online tentangnya diadakan di Kazakhstan. Di Perancis sebuah festival diadakan pula untuk mengenang jasanya. Bahkan beberapa pakar dari Uzbekistan, negara-negara CIS lain, Finladia, Turki, India, Yunani dan Amerika turut menghadiri festival tersebut.
Al-Farabi yang hidup di Damaskus juga pernah tinggal di Alexandria, salah satu kota romantis peninggalan Alexander Agung di Mesir. Di samping mahir berbicara bahasa Yunani, ia juga lihai menerjemahkan teks-teks Yunani Kuno.
Al-Farabi juga familiar dengan teologi Kristen, filsafat dan pemikiran-pemikiran Yunani Kuno. Meskipun mayoritas karyanya bertema filsafat, ia juga menulis tentang musik dan kimia.
Dikenal sebagai “Sarjana Timur”, Al-Farabi berhasil menulis sekitar 100 karya ilmiah dan beberapa terjemahan teks-teks Yunani Kuno. Bahkan karyanya menjadi salah satu inspirasi ilmuwan dan fisikiawan Arab seperti Ibnu Sina dan Musa bin Maimon, seorang filsuf Yahudi ternama.
Ketertarikan terhadap warisan intelektual Al-Farabi tumbuh subur pada tahun 1920 dan 1930-an, ketika seorang ilmuwan muda dari negara bagian Soviet, Kazakhstan, meneliti sejarah nenek moyang mereka.
“Kita berhutang budi kepada seorang geolog Kazakhstan, Akhzan Mashanov (Mashani dalam ejaan modern) yang pada tahun 1960 menulis surat kepada otoritas negara, menunjukkan fakta bahwa buku-buku Al-Farabi hampir tidak diketahui di Uni Soviet. Meskipun faktanya karya tersebut sering dikutip oleh Oswald Spengler (Filsuf terkenal Jerman) dan para filsuf terkemuka Eropa lainya.” papar sebuah artikel yang meringkas karya-karya ilmuwan Kazakhstan tentang preservasi warisan intelektual Al-Farabi.
“Al-Farabi, pakar hebat yang terkemuka ini merupakan penduduk asli Kazakhstan” koran Nezavisimaya Gazeta mengutip surat Mashani tahun 1960. Harian Rusia itu juga melaporkan dalam sebuah artikel bahwa Di Kazakhstan, nama Al-Farabi semakin dikenal khalayak.
Al-Farabi meurpakan salah satu tokoh pendiri budaya filsafat Arab. Ia bahkan dijuluki sebagai “Guru kedua” setelah Aristoteles. Di Kazakhstan tempat komunitas Yunani bisa hidup bahagia, peradaban Yunani bisa diterima melalui ajaran-ajaran Al-Farabi.