Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Alasan minimnya pendapat Alawiyin dalam literatur fikih

Avatar photo
21
×

Alasan minimnya pendapat Alawiyin dalam literatur fikih

Share this article

Alawiyah merupakan nama marga yang tak asing dalam benak banyak orang.  Keotentikan garis keturunan yang tersambung hingga Rasulullah saw. menjadikan metode dan tuntunan mereka masih menjadi panutan bagi seseorang yang haus kemurnian amalan para leluhur (salafus saleh).

Alawiyah adalah sebuah istilah dari anak-turun Habib Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Sebuah marga yang mendedikasikan umur, tenaga, harta, serta ilmu mereka demi perkembangan dakwah Islam ke seantero jagat. 

Namun, jika kita telisik aspek keilmuan lebih dalam lagi, jarang kita temui pendapat atau argumen mereka terabadikan dalam kitab dan literatur keislaman, baik dalam bidang ilmu akidah, fikih, gramatika Arab, atau konsentrasi ilmu lainnya.

Contohnya dalam bidang ilmu logika dan teologi, pastinya pendapat atau teori dari Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar  ar-Razi (543-606 H) terabadikan dalam khazanah keilmuan Islam, dibanding pendapat dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574-653 H). Padahal mereka berdua sama-sama hidup sezaman dan telah mencapai derajat keilmuan yang tinggi.

Beralih ke bidang ilmu fikih, seperti nama Imam Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami (909-973 H), Imam Syamsuddin ar-Ramli (919-1004 H), Imam Muhammad bin Ahmad al-Khotib asy-Syirbini (w. 977 H) dan ulama-ulama lain yang notabenenya merupakan jebolan lembaga al-Azhar Mesir. Pendapat mereka mendominasi literatur kitab-kitab fikih.

Di manakah pendapat para cendekiawan fikih dari kalangan Alawiyin dalam literatur ilmu fikih? Faktor apa yang membuat pendapat Alawiyin atau karangan mereka minim dijumpai di pasaran, layaknya kitab Minhaj ath-Thalibin, Mughni al-Muhtaj, Tuhfat al-Muhtaj, dan lain-lain.

Faktor yang disinyalir menjadi penyebab minimnya hal tersebut adalah:

1. Tarbiyah ar-Rijal (mencetak kader dai dan ulama).

Kesibukan mereka memakmurkan dakwah Islam dalam sektor mencetak kader ulama, menuntut mereka tidak menyelam dalam kubangan ghowamid al-masail (teori rumit), baik dalam studi ilmu fikih, teologi, maupun lainnya—seperti yang dilakukan para cendekiawan pada umumnya.

Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi (w. 1144 H) salah satu cendekiawan fikih dari kalangan Alawiyin menyatakan,  “Alasan minimnya karangan kitab-kitab dari Alawiyin khususnya bidang fikih, dikarenakan lazimnya fuqaha mendatangkan dalam kitabnya permasalahan rumit dan bercabang, sedang hukum dari permasalahan tersebut umumnya berupa buah pikiran dari mereka, bahkan sebagian darinya merupakan argumen yang tak berdasar. Faktor inilah yang menyebabkan minimnya karangan kitab-kitab fikih dari kalangan Alawiyin. Mereka lebih memilih tindakan preventif agar tidak terjebak dalam membahas permasalahan yang tak berdasar, serta memilih untuk beramal dengan hal yang bersifat fundamental.”

Beliau meneruskan,

وأنهم اهتموا بتخريج الرجال بدل الكتب التي أكثر تأثيرا من الكتب التي يحتملها السهو، والسقط، ورداءة الخط

“Para Alawiyin lebih mementingkan urusan mencetak kader ulama Islam yang berpengaruh  besar dibandingkan mengarang kitab. Sebab karangan kitab dimungkinkan terjadi ralat, lenyap, rusak, dan tulisan yang buruk (hingga tak mampu disalin).”

2. al-Iktifa bil-Ahamm wa Tazkiyat an-Nafs (merasa cukup dengan hal esensial dan sibuk membenahi jiwa).

Dari poin ini, bisa diketahui berapa banyak pakar, dan cendekiawan dari kalangan Alawiyin lebih memilih jalur membaktikan diri kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah. Serta tidak menyibukkan diri dengan diskusi dalam cabang-cabang ilmu yang rumit.

Dikisahkan bahwa ketika al-faqih al-muqaddam Sayyid Muhammad bin Ali Ba’alawi (muara para leluhur Alawiyin di seluruh dunia) telah mencapai tingkatan yang tertinggi dalam ilmu logika dan teologi, ia memilih untuk tidak menyelam lebih dalam lagi, serta malah banting setir ke ranah tasawuf (penyucian batin). Sebagian pembimbing dan guru-gurunya menyayangkan keputusannya. Mereka berkata,

رجوناك ان تكون كابن فورك فأخذت طريق التصوف والفقر

“Aku berharap kau (wahai Muhammad bin Ali) bisa menjadi layaknya Ibnu Fawrak, namun kau lebih memilih jalur Tasawuf dan kesederhanaan.”

Kala itu Ibnu Fawrak merupakan pakar ilmu logika dan teolog ulung, hingga Imam Fakhruddin ar-Razi kagum kepadanya, seraya memuat argumen-argumennya dalam kitab Asas at-Taqdis.

Juga diriwayatkan bahwa Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1044-1132 H) telah mencapai tingkatan tertinggi dalam ranah ilmu fikih (Mujtahid Mutlaq), namun ia tinggalkan hal tersebut guna menjaga adab terhadap Imam Asy-Syafi’I serta memilih  fokus untuk mengembangkan ranah ilmu suluk, tasawuf, serta dakwah.

3. Maqam al-Khumul (Menjauhkan diri dari ketenaran dan kemasyhuran).

Beberapa tokoh dari kalangan Alawiyin lebih memilih untuk menutup diri dari lika-liku kehidupan dunia, baik dari segi keilmuan, budaya dan lain sebagainya, serta memilih untuk menepi dan memantas diri dalam bermunajat kepada Allah ta’ala. Oleh sebab itu, jarang dari mereka sibuk dalam berdiskusi ihwal cabang ilmu fikih yang rumit, atau pun perdebatan dalam ranah ilmu logika.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berpesan kepada murid-muridnya,

مقام سادتنا آل أبي علوي الضعف والمسكنة والخمول، غير ما هو لغيرهم من الأولياء من ضد هذه الصفات.

“Kalangan Alawiyin lebih memilih ranah kesahajaan, sederhana, dan menutup diri. Adapun ranah-ranah yang lain merupakan bagian para pakar dan cendekiawan dari kalangan selain Alawiyin.”

Meskipun peran, serta sumbangsih cendekiawan dari kalangan Alawiyin tidak tersurat dalam literatur keislaman, namun cahaya keikhlasan dan kesungguhan dari mereka sungguhlah  tersirat dalam setiap hati murid-muridnya yang akan menjadi pelita perubahan bagi dakwah Islam hingga akhir zaman nanti. Wallahu a‘lam bis showab.

Referensi:

1. Tastbit al-Fuad bi dzikri Majalis al-Haddad, karya Syekh. Ahmad bin Abdul karim al-Hasyawi.

2. al-Ara al-Fiqhiyyah lil Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, karya Abdurrahman bin Toha al-Habsyi.

3. al-Qirtas fi Manaqib al-Attas, karya; al-Habib Ali bin Hasan al-Attas.

Kontributor

  • Muhammad Fahmi Salim

    Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim