Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Apakah Beragama Cuma Pasrah Doang?

Avatar photo
21
×

Apakah Beragama Cuma Pasrah Doang?

Share this article

Apakah beragama berarti kepasrahan? Jika benar demikian, kepasrahan bagaimana yang dimaksud dalam hal ini, karena secara harfiah kata “pasrah”dalam penggunaan sehari-hari menyiratkan arti yang kurang bagus, seperti menandakan kemalasan, kemacetan dan pemberhentian gerak yang mengarah pada dinamisasi?

Dari sini kita menjadi paham, bahwa kita mebutuhkan penempatan yang tepat mengenai kata. Kata tidak selalu selurus sejajar dalam satu ruang pikiran saja, tapi rupanya dia mampu mengisi banyak ruang sesuai dengan tuntan realita dan konteksnya.

Bagaimana maksudnya? Begini. Kita langsung praktik saja. Jika dikatakan agama adalah kepasrahan, maka hal itu adalah benar. Justru kepasrahan adalah pijakan eksistensial bagaimana manusia menyusun hubungannya dengan tuhan. Sebagai sesuatu yang ada, rupanya manusia tak mampu mengemban keadaannya tersebut secara mandiri. Ia butuh yang lain yang memang disengajakan untuk dipasrahi: tuhan, dalam Islam, berarti Gusti Allah Swt.

Kepasrahan dalam bentuk yang lain, telah menjadi titik tolak kesejarahan bagaimana manusia membangun sistem kebudayaan dan peradabannya. Karena sudah pasrah dengan tuhan, maka dengan kesadarannya itulah ia mencari jawaban-jawaban atau rumus-rumus dari persoalan kehidupan. Di sini, kita melihat agama sesuatu yang bergerak, yang dinamis; suatu bahan yang tak habis-habis untuk menyusun keidealan. Itulah sependek pemaknaan saya terhadap idiom agama adalah kepasrahan.

Lalu bagaimana kemudian kita memahami kata pasrah dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan begini. Sebut saja Tono. Saat disebut Tono adalah seorang mahasiswa yang pasrah dalam urusan kuliahnya, maka tak salah jika orang lain yang mendengarkan itu jadi illfeel kepada si Tono tadi. Dilihatnya, sebagai mahasiswa, rupanya Tono adalah tipe anak muda yang malas, gak pernah baca buku, gak aktif, dan  gak menyelesaikan tugas kuliah dengan baik.

Atau dalam hal lain, seperti urusan tanggung jawab dalam keluarga misalnya, dikatakan bahwa si Tono telah pasrah dengan nasib anak istrinya. Kalau ditanya, bagaimana dengan kebutuhan beras dan lain-lain, lalu jawabnya, nggak tahu, pasrah aja. Saya yakin, mungkin para tetangganya akan geram kepada si Tono tadi. Mbok ya setidaknya, ada rencana gerak atau punya strategi apa gitu. Masa cuman pasrah doang.

Rupanya dari sini kita telah sampai pada suatu pemahaman, bahwa kata “pasrah”dalam ucapan sehari-hari memuat pengertian (secara spontan) yang tidak baik. Sedangkan telah dijelaskan pula di awal tadi, bahwa agama adalah lambang kepasrahan, karena ibarat sebuah bangunan, dalam beragama (bertuhan), pasrah adalah pondasinya. Namun demikian itu adalah sebagaimana dalam konteks yang saya jelaskan diatas, yakni kepasrahan sebagai tali pengikat yang mempertemukan sisi ke-“ada”-an manusia dengan adi kuasa tuhannya. Maka dalam hal ini, kata pasrah menjadi kata yang mengandung makna positif.

Lantas setelah itu, dengan melihat agama sebagai ajaran yang bersistem, kita perlu bertanya-tanya, bagaimana doktrin-doktrin yang terkandung di dalamnya mengatur gerak antara orang yang beragama dengan realitas kehidupannya.

Dalam hal ini, kita ambil satu contoh dari persoalan yang mendasar. Yakni dalam urusan berobat. Secara akidah, kita Ahlussunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Baik dan buruk berasal dari satu muasal yang sama, yakni kehendak dan kuasa Tuhan. Lantas jika seseorang mengalami sakit, apa yang musti dilakukan seorang muslim, apakah ia berobat, sedangkan obat sendiri adalah makhluk. Bagaimana mungkin makhluk berkuasa atas makhluk, yakni penyakit yang makhluk tuhan itu bisa dihilangkan dengan obat yang sama-sama makhuk tuhan sendiri. Dari sini kita sebenarnya sedang berhadapan pada persoalan hukum sebab-akibat.

Hakim at Tirmidzi menjelaskan, bahwa terdapat tiga tingkatan kelas dalam hal ini.

Tingkat pertama adalah para nabi dan para wali-Nya. Mereka dalam dalam hal ini memilih untuk berobat, meskipun demikian, yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar ikhtiyar semata, namun pada hakikatnya mereka memasrahkan hasil sepenuhnya di tangan Allah Swt.

Tingkat kedua adalah ahlul Yaqin (orang-orang berkeyakinan tinggi). Karena khawatir terbesit dalam hatinya, bahwa obat-obatanlah yang memberikan mandaat baik kepada dirinya, dan itu bertolak belakang dengan keyakinan awal tadi bahwa kekuasaan sepenuhnya milik tuhan, maka demi menjauhi itu mereka memilih untuk meninggalkan ikhtiyar dalam berobat.

Tingkat yang terakhir adalah tingkatan ahlut takhlit (orang yang mencampuradukkan). Pada tingkatan ini orang-orang begitu terikat dengan hukum sebab akibat, karena dalam pikiran mereka obat bisa memberi kesehatan bagi orang sakit, maka mereka tidak tahan jika tidak berobat. Dan inilah tingkatan orang muslim pada umumnya.

Dalam hierarki di atas, level terbaik menurut Hakim at TirmidIzi terletak pada tingkat pertama, lalu kebawah dan seterusnya. Pemahaman ini berangkat dari penafsiran beliau pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra bahwa Nabi Saw bersabda, “Seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Swt daripada mukmin yang lemah. Dalam setiap kebaikan, berusahalah mengejar apa saja yang bermanfaat untukmu dan janganlah engkau menjadi lemah, lalu jika suatu hal menguasaimu (maksudnya adalah jika usaha yang dilakukan ternyata tak mengubah keadaan) maka katakanlah, “Allah telah mentakdirkan dan Allah telah menghendaki,” dan janganlah sekali-kali kalian berandai-andai, karena sesungguhnya berandai-andai akan membuka perangkap setan.”

Dari penjelasan Nabi Saw di atas, rupanya menjadi jelas bahwa agama islam adalah agama kerja keras. Suatu agama yang menyeru pengikutnya kepada kemajuan, keunggulan dan kekuatan. Dan bagi seorang mukmin tak boleh terburu-buru “pasrah”begitu saja kepada takdir, atau dalam istilah yang lain, seorang mukmin tak pantas mengkambinghitamkan takdir dari sikap kemalasannya sendiri.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat suatu kisah yang menarik yang bisa kita jadikan pelajaran. Dalam suatu momen, Umar bin al-khattab bertemu dengan sekumpulan orang.

Umar bertanya, “Siapakah kalian?”(mungkin dalam bahasa kekinian pertanyaan seperti ini: kalian lagi ngapain?)

Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal.”

Lalu Umar membalas, “Bukan, tapi kalian adalah orang yang meminta-meminta makanan, karena orang yang bertawakkal sesungguhnya adalah seorang laki-laki yang menanam bebijian di dalam tanah, baru kemudian ia bertawakal kepada Allah Swt.”

 

Kontributor

  • M. Farhan al-Fadlil

    Mahasiswa fakultas Usuluddin, universitas Al-Azhar, Mesir. Aktivis Said Aqil Siraj (SAS) Center, Kairo. Saat ini menjabat ketua Himpunan Alumni Pesantren Lirboyo (HIMASAL) cabang Mesir.