Secara etimologis, Asyura berarti “sepuluh”.
Dalam Manahij Al-Imdad (sebuah kitab yang mengomentari Irsyad Al-Ibad
karya Al-Malibari), Syekh Ihsan Jampes Kediri menelusuri asal kata Asyura. Beliau
menulis:
Sebagian ulama mengatakan bahwa
penyebutan kata Asyura didasarkan pada kenyataan bahwa Asyura ada di hari ke 10
dari bulan Muharram. Namun ada ulama yang mengatakan bahwa di hari Asyura Allah
memuliakan 10 nabi:
Pada hari Asyura, Allah menerima tobat
Nabi Adam, Allah mengangkat Nabi Idris ke langit keempat, Allah melabuhkan kapal
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim lahir pada hari Asyura, dan dipilih sebagai Khalilullah
(kekasih Allah) serta diselamatkan dari api Namrudz juga pada hari Asyura, Allah
menerima pertobatan Nabi Dawud, Allah mengangkat Nabi Isa ke langit kedua, Allah
menyelamatkan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun dengan cara membelah laut, Allah
mengeluarkan Nabi Yunus dari perut ikan, Rasulullah Muhammad Saw dilahirkan di
hari Asyura (menurut sebagian pendapat).
Ada juga ulama yang mengaitkannya
dengan urutan keistimewaan bulan atau hari dalam Islam, yang ternyata Asyura berada di
urutan ke 10:
Pertama: Bulan Rajab
diistimewakan dengan syahrullah (bulannya Allah), ia setara dengan kemuliaan umat Nabi Muhammad
dibanding dengan umat-umat terdahulu.
Kedua: Bulan
Sya’ban, yang keistimewaannya setara dengan kemuliaan Nabi Saw dibanding dengan
para nabi yang lain.
Ketiga: Bulan
Ramadhan, yang kemuliaannya tak bisa dibandingkan dengan semua bulan; ia serupa
dengan keagungan Allah di hadapan makhluk-Nya.
Keempat: Lailatul
Qadar, yang dilegitimasi sebagai malam yang lebih baik dari 1000 malam.
Kelima: Hari
Raya Idul Fitri sebagai hari balasan kebaikan.
Keenam: Sepuluh
hari dari Zulhijah yang
disebut dengan hari zikir.
Ketujuh: Hari
Arafah, yang pahala puasa di hari itu setara dengan puasa dua tahun.
Kedelapan: Hari
Raya Idul Adha, hari berkurban.
Kesembilan: Hari
Jumat sebagai pemimpin hari-hari yang lain.
Kesepuluh: Hari
Asyura, yang pahala puasanya bisa mengampuni dosa selama setahun.
Keutamaan Puasa di Hari Asyura
Dalam sebuah riwayat Hisyam bin Urwah,
dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dia berkata: dulu kaum Quraisy di masa jahiliah
berpuasa tatkala Asyura, begitu pula dengan Nabi Saw. Hingga kemudian hijrah ke
Madinah dan puasa Ramadhan diwajibkan. Sejak itu Nabi Saw bersabda, “Dulu saya pernah
memerintah kalian agar berpuasa Asyura. Sekarang kalian bebas memilih: mau
berpuasa atau tidak.”
Ada riwayat Ibn Abbas bahwa Nabi Saw
bersabda, “Barang siapa berpuasa di hari Asyura maka Allah akan memberinya
pahala sepuluh ribu malaikat, Allah akan memberinya pahala sepuluh ribu syahid.
Barang siapa yang mengusap kepala anak yatim di hari Asyura maka Allah akan
mengangkat derajatnya sesuai dengan jumlah rambut anak yatim yang disentuh.
Barang siapa yang menghidangkan buka puasa di hari Asyura maka seakan dia
menjamu semua umat Nabi Saw dan mengenyangkan mereka.”
Para sahabat bertanya kenapa hari
Asyura lebih mulia
dari yang lain? Nabi menjawab bahwa di hari Asyura, Allah menciptakan langit
dan bumi, gunung, lautan, Qalam, Lauh Al-Mahfudz, menciptakan Adam-Hawa, surga
dan neraka dan seterusnya.
Syekh Ihsan Jampes juga mengutip tulisan
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari: siapa yang membaca doa di
bawah ini di malam Asyura maka tak akan mati hatinya, dia juga tak akan mati
pada tahun itu:
سُبْحَانَ
اللهِ مِلْءَ المِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ
الْعَرْشِ
لاَ مَلْجَأَ
وَلاَ مَنْجَا مِنَ اللهِ إِلَّا إِلَيْهِ
سُبْحَانَ
اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ
كُلِّهَا
وَالْحَمْدُ
للهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ
كُلِّهَا
وَاللهُ
أكْبَرُ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ
كُلِّهَا
أسْأَلُكَ
السَّلاَمَةَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
وَصَلَّى
اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ،
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Mahasuci Allah,sepenuh
mizan (timbangan) dan sepanjang batas ilmu pengetahuan, serta sejumlah besar
keridhaan, dan seindah hiasan arasy.
Tidak ada tempat berlindung
dan tempa yang aman dari-Mu Allah kecuali kepada-Mu.
Mahasuci Allah, dengan segenap
dan sejumlah bilangan genap dan ganjil, dan sejumlah kalimat-kalimat Allah yang
sempurna.
Segala puji bagi Allah,
dengan segenap dan sejumlah bilangan genap dan ganjil, dan sejumlah
kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Mahabesar Allah, dengan
segenap dan sejumlah bilangan genap dan ganjil, dan sejumlah kalimat-kalimat Allah
yang sempurna.
Aku memohon keselamatan
kepada-Mu dengan rahmat-Mu, wahai Dzat yang paling belas kasih dari semua yang berbelas
kasih. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Semoga Allah melimpahkan
shalawat kepada junjungan kami Muhammad dan kepada keluarga dan sahabatnya
tanpa terkecuali.
Segala puji bagi Allah
Tuhan seluruh alam semesta.
Manahij
Al-Imdad sendiri
merupakan buku syarah (komentar) atas Irsyad Al-Ibad karya
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Manahij adalah buku yang sangat tebal berjumlah 2 jilid.
Kiai Ihsan
Jampes juga memiliki karya yang monumental berupa komentar atas Minhaj
Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali dengan judul Siraj At-Thalibin. Dulu
kitab ini sempat menjadi diktat di Al-Azhar. Dan kitab ini dicetak berkali-kali
oleh penerbit Timur Tengah seperti Dar Al-Fikr.