Perihal tolong menolong sesama manusia dalam Islam merupakan hal yang begitu ditekankan dalam sendi kehidupan.
Begitu pula menolong sesama yang memiliki keterbatasan fisik/difabel, adalah sebuah kewajiban bagi seorang muslim dalam rangka membumikan kalam Tuhan (nilai sosial Al-Qur’an) maupun Hadits dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karenanya, perlu adanya perlakuan yang istimewa dan berbeda dari orang normal pada umumnya, yaitu memudahkan orang yang memiliki keterbatasan fisik dalam hal upaya menjalankan ibadah.
Mulai dari menyediakan fasilitas yang layak, menuntun mereka yang memilik kekurangan fisik tidak bisa melihat dan lainnya, merupakan salah satu upaya menghormati antar makhluk-Nya dan bernilai pahala kebaikan.
Berbicara masalah ibadah, persoalan tolong menolong di atas sudah umum banyak diterapkan manusia (muslim/non-muslim sekali pun) sebagaimana hakikat makhluk sosial. Lalu bagaimana jika ada seorang yang tuna netra (cacat penglihatan) menggunakan anjing sebagai penuntun untuk pergi ke masjid dengan maksud ibadah? Akankah hal demikian didekte haram atau tidak diperkenankan?
Dalam buku Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU hal demikian merupakan masalah yang perlu dipecahkan. Menilik permasalahan di atas, mengingat tuna netra yang memiliki kebutuhan khusus selama 24 jam, bisa jadi dalam suatu keadaan tidak ada manusia bahkan keluarganya sendiri yang mempu mendampingi kemana pun ia menjalankan aktivitasnya. Pada akhirnya, yang sudah menjadi rahasia umum, anjing banyak digunakan sebagai alat bantu dalam berbagai bidang, baik itu pelacak, penjaga rumah, bahkan pada bab ini pun bisa jadi digunakan sebagai penuntun.
Terkadang bab demikian menjadi dilema oleh sebagian muslim karena dalam Islam sendiri anjing dihukumi sebagai najis berat (mughalladah) yang tata cara penyuciannya tidak biasa. Bagitu pula di Indonesia, tidak semua pun menerima atas keberadaan anjing di lingkungan masyarakat yang mayoritas muslim. Lalu bagaimana fiqih Islam menjawab persoalan ini?.
Hal penting yang perlu diketahui bahwa, meski sebagian ulama menghukumi anjing sebagai hewan yang kategori najis, namun bukan berarti pula manusia dilarang untuk memanfaatkannya oleh agama. Secara sosio historis, dulu Nabi Muhammad Saw, pemanfaatan anjing sudah diterapkan dalam hidup seorang muslim, mulai dari menjaga rumah, berburu, dan keperluan lainnnya. Bahkan hal demikian diabadikan dalam QS. al-Ma’idah: 4.
Maka dari itu, dari segi fiqih menggunakan sebagai guide bagi penyandang disabilitas hukumnya boleh. Bab yang dipermasalahkan oleh sebagian ulama dalam beberapa kajian kitab fiqih bukanlah dari segi memanfaatkan anjing itu sendiri, karena jelas bahwa agama tidak melarangnya. Namun yang dipermasalahkan adalah bagaimana hukum sewa menyewa anjing, boleh ataukah tidak.
Seperti halnya dalam sebuah kutipan berikut yang dinukil dari al-‘Aziz Syarh al-Waziz karya Abu al-Qasim ar-Rafi’i:
“Yang keempat tentang menyewa anjing yan terlatih untuk menjaga atau berburu ada dua pendapat. Pertama: boleh menyewa seperti halnya boleh menyewa harimay, elang dan jaring untuk berburu atau kucing untuk menolak tikus. Pendapat kedua yang paling shahih adalah dilarang menyewa kecuali kalau memang dibutuhkan. Sedangkan apa yang diperbolehkan sebab butuh hukumnya tidak boleh disewakan. Selain itu dalam diri anjing juga tidak ada harganya (sebab najis) dan begitu juga untuk manfaatnya”.
Lalu bagaimana pendapat para ulama terhadap kenajisan anjing? Nyatanya tidak semua ulama menghukuminya najis. Seperti halnya Imam Malik yang berpendapat bahwa anjing beserta kotorannya sekali pun tidaklah najis, sehingga dalam kondisi kering maupun basah jika bersentuhan dengan anjing tidaklah najis. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah, Imam Malik menghukumi sunnah untuk dibasuh 7 kali yang salah satunya dicampuri debu jika terkena air liur anjing itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, penerimaan masyarakat muslim terkadang mendapat pro-kontra tentang penggunaan anjing sebagai penuntun ke masjid, karena di Indonesia sendiri hal demikian tidaklah umum. Karena mayoritas masyarakat Indonesia bermazhab Syafi’i, maka kedudukan anjing masih dipandang rendah, dan jika bersentuhan dalam keadaan apa pun haruslah dibasuh dalam tujuh kali basuhan yang salah satunya dicampuri debu.
Meski pun secara hukum fiqih penggunaan guide dog dalam lingkup sosial keagamaan masih diperbolehkan dengan catatan kebutuhan, akan tetapi hal demikian terkadang dapat menciptakan ketidakharmonisan sosial. Oleh karena itu, dengan berbagai pertimbangan pula, penggunaan anjing sebagai pemandu atau penuntut penyandang netra untuk pergi ke masjid untuk beribadah sebaiknya diletakkan pada opsi terakhir.