Masa kini, ketika belajar fikih masyarakat terkadang menuntut pengajar untuk mengeluarkan dalil dari sebuah pendapat. Terkadang juga, pertanyaan ini bukan didasari ketidaktahuan, tapi sebatas menguji, apakah si ustadz menggunakan hadits atau tidak.
Perlu diketahui, ketika seorang guru mengajarkan fikih dengan menggunakan kitab klasik seorang ulama, dia tidak sedang mengeluarkan hukum dari hadits. Namun, hukum tersebut lahir dari hasil jerih payah ulama dalam mengumpulkan nash dan membuat kesimpulan hukum yang matang, lalu dituliskan dalam kitab.
Tidak hanya berhenti di situ. Setelah waktu dan kondisi berubah, kitab itu perlu perubahan dan pembaharuan. Maka muncullah kitab yang diberi penjelasan lebih (syarah), atau catatan pinggir. Dari waktu ke waktu, para pelajar yang mulai menurun semangat belajarnya membuat ulama berpikir kembali; bagaimana cara menyampaikan hukum dengan kalimat yang singkat dan mudah diingat. Akhirnya dibuatlah nazam; kitab yang ringkas kalimatnya namun dalam maknanya.
Jika seandainya para ulama mengulang dari awal, dengan menjelaskan dalil kepada masyarakat awam, selain buang-buang waktu, masyarakat awam pun tak akan paham arah pembicaraannya, karena banyaknya disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk memahami satu dalil.
Ibnu Uyainah berkata, “Hadits tentang hukum dapat menyesatkan kecuali bagi para ahli fikih.”
Menjadi tanda tanya; apakah setiap orang yang mendapati hadits shahih, dapat mengamalkan hadits tersebut dan meninggalkan hukum yang sudah muktamad dalam mazhab?
Sebagai jawaban atas pertanyaan di atas, cukuplah apa yang diutarakan oleh Ibnu Shalah berikut:
ممن حكى عنه أفتى بالحديث في مثل ذلك ابو يعقوب البويطي، و ابو القاسم الداركي. و ليس هذا بالهين، فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما رآه حجة من الحديث
“Di antara orang-orang yang diceritakan berfatwa langsung dengan hadits adalah seperti Abu Ya’qub Al-Buwaithi, dan Abu Al-Qasim Ad-Dariki. Perkara ini bukan hal yang remeh. Tidaklah semua ahli fikih diperbolehkan untuk bebas mengamalkan apa yang ia pandang sebagai argumentasi (hujah) dari hadits.” (Kitab Adab al-Mufti wa al-Mustafti, hal 118)
Baca juga: Kesalahan Memaknai Hadits “Sampaikanlah Dariku Walau Hanya Satu Ayat”
Seseorang yang sudah ahli saja belum diizinkan secara bebas menyimpulkan suatu hukum langsung dari hadits, apalagi orang yang sehari-hari hanya sibuk update status di media sosial, lalu menyimpulkan hukum dengan menggunakan ayat atau hadits berdasarkan hawa nafsu sendiri?!
Ibnu Shalah melanjutkan bahwa menerapkan hukum langsung dari hadits shahih bukan perkara enteng. Imam An-Nawawi menyebutkan dalam pengantar kitabnya, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab syarat yang sangat sulit dipenuhi agar seseorang masuk dalam golongan mereka yang mengambil hukum langsung dari hadits shahih. Beliau berkata:
انما هذا يعني كلام الشافعي فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب، و شرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله تعالى لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته، و هذا إنما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها و نحوها من كتب الاصحاب الاخذين عنه
“Ucapan Imam Asy-Syafi’i ini dimaksudkan untuk orang yang sudah sampai derajat mujtahid dalam mazhab. Dan syaratnya adalah dia berprasangka kuat bahwa Imam Asy-Syafi’i belum menemukan hadits ini, atau tidak mengetahui keshahihannya. Syarat ini akan terpenuhi, jika orang tersebut sudah membaca semua kitab Imam Asy-Syafi’i dan murid-muridnya yang belajar langsung dengannya.”
Kemudian di akhir pengantar, Imam An-Nawawi berkata, “Ini adalah syarat yang sangat sulit, sedikit sekali orang yang dapat sampai kepada derajat tersebut.”
Bagaimana tidak sulit? Salah satu syaratnya adalah membaca semua kitab karya Imam Asy-Syafi’i dan para muridnya. Untuk bisa membaca kitab-kitab super sulit itu, kita harus menempuh proses yang tidak sebentar. Membaca kitab-kitab kecil seperti Fathul Qarib dibutuhkan waktu setahun dan Fathul Wahhab 3 tahun. Lalu, bagaimana dengan kitab-kitab babon seperti Al-Hawi karya Imam Al-Mawardi yang berjumlah 23 jilid?!
Meskipun sudah sangat menjamur di kalangan masyarakat, namun hal ini bukan sesuatu yang baru. Ibnu Abi Hatim Ar-Razi menukil sebuah cerita dalam kitabnya, Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal 86:
Abu Ayyub bin Ahmad Al-Bashri bercerita, “Suatu hari, saya membahas suatu masalah dengan Imam Ahmad. Di tengah pembahasan, ada salah seorang yang berkata kepada Imam Ahmad, ‘Wahai Imam, dalam masalah itu engkau tidak menggunakan hadits yang shahih.’ Imam Ahmad pun dengan lembut menjawab, ‘Seandainya betul hadits itu tidak shahih, namun itu adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, dan hujah beliau lebih diunggulkan.’”
Baca juga: Mendurhakai Allah dengan Kebodohan dan Fenomena Orang Tak Berilmu Bicara Agama
Pernyataan Imam Ahmad yang mengunggulkan pendapat Imam Asy-Syafi’i merupakan bentuk pengagungan dan pengakuan dari Imam Ahmad bahwa gurunya itu lebih mengetahui suatu hadits sehingga beliau sampai mengeluarkan pendapat atas dasar hadits tersebut.
Rasanya sangat tidak mungkin sekelas Imam Asy-Syafi’i berpendapat tanpa dalil. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad tersebut tidak mengesampingkan ucapan Imam Asy-Syafi’i, “Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyimpang dari sunnah, maka ikutilah sunnah, dan tinggalkan perkataanku.” (Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi’i, karya imam Al-Baihaqi, jilid 1 halaman 473)
Dari kisah di atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa mengambil pendapat dari orang yang ahli dalam memahami hadits, lebih aman dan tepat daripada menyimpulkan hukum dari hadits dengan pemahaman sendiri. Karena, para ulama sudah mencurahkan waktu dan pikiran hanya untuk ilmu, sedangkan kita yang hanya numpang lewat lebih baik mengikuti mereka agar tidak tersesat. Waallahu a’lam.
Kairo, 7 September 2020