Mulai tersebar di kalangan awam kalau kita ingin beramal
pastikan dulu ada hadits sahihnya. Kaedah ini sebetulnya keliru, bahkan
berbahaya.
Kaedah ini tidak ditemukan dalam kitab usul fikih
manapun, tidak dikatakan oleh nabi, tidak dikatakan oleh sahabat, tidak pula
tabi’in, tidak pula tabi’ tabi’in, tidak pula para ulama setelahnya. Oleh
karena itu kaedah ini sendiri bid’ah, dan masuk kategori bid’ah dhalalah
(sesat).
Karena sebetulnya banyak sekali hukum dalam Islam yang
tidak diterangkan dalam hadits yang sahih, melainkan diistinbatkan (digali) dari
berbagai sumber hukum lain, yang tidak jarang memerlukan nalar ijtihad dan
proses istinbat yang amat sangat rumit.
Kemudian kalau pun sumber hukumnya adalah hadits, tidak
mesti sahih sebetulnya. Hadits dhaif pun bisa menjadi sumber hukum dalam
kondisi tertentu.
Dan juga kesahihan suatu hadits bukanlah satu-satunya
standar yang membuat hadits itu layak menjadi sumber hukum. Masih ada
syarat-syarat lain. Jadi jangan pula disangka jika seseorang bisa mendatangkan hadits
yang statusnya sahih maka masalah selesai
Detail-detail seperti ini luput dari orang awam. Hanya
orang-orang yang spesialisasinya mengkaji ilmu agamalah yang bisa memahami ini
dengan baik. Itulah sebabnya dalam memahami syariat manusia terbagi menjadi 2
golongan, ulama dan awam.
Kalau seandainya semua hukum dijelaskan dalam hadits
sahih lagi sharih, semua orang akan sama dalam memahami syariat. Tidak butuh
kita pada ulama. Semua orang menjadi ulama. Tapi sunnatullah tidak menghendaki
demikian. Dalil itu ada yang pasti dalalahnya (petunjuk makna), ada yang zahir,
dan ada khafi (tersembunyi). Ada orang yang mampu memahami dalil tersebut dan
ada yang tidak. Ada ulama dan ada orang yang awam. Begitulah adanya.
Kaedah di atas juga berpotensi membuat orang awam
lancang membantah ulama, menyibukkan mereka pada perkara yang di luar kapasitas
mereka, membuat mereka curiga pada ulama mereka sendiri.
Konsisten berpegang pada kaedah tersebut melazimi
seseorang akan menolak banyak hukum syariat yang seharusnya masuk dalam
syariat, hanya karena tidak ada hadits sahihnya, atau dia yang tidak tau haditsnya.
Menuntut hadits sahih lagi sharih di setiap
permasalahan, bahkan sampai ke detail-detail permasalahan, merupakan suatu
kebodohan. Itu menandakan si penanya tidak memahami sama sekali tabiat syariat
seperti apa.
Jadi kalau saya sebagai awam ingin mengetahui suatu
hukum apa yang mesti saya lakukan?
Ulama usul seperti
Imam Ibnu Abdil Bar, Imam Ghazali dan Imam al-Amidi mengisahkan konsensus ulama
(ijmak) bahwa kewajiban awam itu sebetulnya sederhana sekali, yaitu bertanya
dan mengikut fatwa ulama, bukan mengkaji dalil. Cukup tanyakan pendapat ulama
mana itu, dan jika ternyata itu pendapat ulama dari mazhab yang empat maka
ikutilah tanpa ragu. Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.