Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Batasan Egalitarianisme Dalam Islam

Avatar photo
600
×

Batasan Egalitarianisme Dalam Islam

Share this article
Batasan Egalitarianisme Dalam Islam
Batasan Egalitarianisme Dalam Islam

Islam mengajarkan bahwa semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan di akhirat. Kesetaraan ini ditegaskan dalam firman Allah:

يَـٰۤأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرࣲ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبࣰا وَقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوۤا۟ۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِیمٌ خَبِیرࣱ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Ḥujurāt: 13)

Kesetaraan ini tidak hanya berlaku dalam aspek gender, tetapi juga dalam hal status sosial dan kekayaan. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللهَ تعالى لَا يَنظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ إِنَّمَا يَنظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Dari poin ini banyak yang kemudian berlebihan menganggap semua orang sama dan setara tanpa memandang dia siapa. Tindakan berlebihan ini adalah egalitarianisme ala barat, bukan egalitarianisme yang diajarkan oleh Islam. Akhirnya, banyak yang tidak mengenal adab islami dan minus dalam hal sopan santun sehingga menganggap buruk tradisi cium tangan, menunduk sopan, dan berbicara halus dengan orang tertentu. Semua diperlakukan sama, tidak boleh diperlakukan berbeda ketika bersamalam, berbicara dan bertindak lalu mengira itu ajaran Islam, padahal bukan.

Dalam versi Islam, meskipun semua manusia di depan Allah sama, tapi ternyata tidak dalam relasi antar manusia itu sendiri. Islam sangat mengakui adanya perbedaan derajat dan keutamaan antar manusia. Kesetaraan tidak berarti semua orang harus diperlakukan sama dalam segala hal, tetapi ada konteksnya.
Ada aspek-aspek tertentu yang membuat sebagian manusia lebih utama dari yang lain, yaitu:

1. Keutamaan Ilmu

Salah satu faktor pembeda yang paling jelas adalah ilmu. Allah berfirman:

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتࣲۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرࣱ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujādilah: 11)

Imam Muslim, seorang imam ahli hadis, bahkan menunjukkan penghormatan luar biasa kepada gurunya, Imam Bukharī:

دَعْنِي حَتَّى أُقَبِّلَ رِجْلَيْكَ يَا أُسْتَاذَ الْأُسْتَاذَيْنِ وَسَيِّدَ الْمُحَدِّثِينَ وَطَبِيبَ الْحَدِيثِ فِي عِلَلِهِ

“Biarkan aku mencium dua kakimu wahai mahaguru, pemuka ahli hadis, dan pakar dalam kajian ‘ilal hadits.”

Penghormatan kepada ahli ilmu seperti itu bukanlah ghuluw (berlebihan), tetapi itu adalah adab yang memang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Dalam sebuah riwayat, dua orang Yahudi datang kepada Nabi ﷺ untuk bertanya tentang ayat dalam Taurat. Mereka awalnya enggan menyebut Nabi sebagai “nabi” karena khawatir akan pengaruhnya. Namun setelah mendengar jawaban beliau, mereka mencium tangan dan kaki beliau sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan:

فَقَبَّلَا يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ، وَقَالَا: نَشْهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ

“Mereka mencium tangan dan kaki beliau, lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang nabi.” (HR. Turmudzi, Hakim, Ahmad)

Nabi membiarkan praktek cium tangan dan kaki tersebut yang menjadi bukti bahwa praktek ini bukanlah ghuluw tetapi adab yang diakui dalam Islam. Karena itu, tidak benar bila orang yang berilmu tinggi disamakan dengan orang awam sehingga bersalaman dan berbicara kepada mereka disamakan dengan ketika bersalaman atau berbicara dengan orang awam. Ketika di majelis, orang berilmu juga sepantasnya diberi tempat khusus di depan, dan bahkan di tempat yang lebih tinggi, sebagai penghargaan bagi ilmunya. Tidak seharusnya orang alim dibiarkan duduk sama seperti orang awam sebab mereka telah ditinggikan derajatnya oleh Allah. Hanya hamba Allah yang tidak mengerti adab yang tidak ikut meninggikan derajat mereka.

2. Orang Tua

Islam juga menempatkan orang tua dan yang lebih berumur pada posisi yang harus dihormati:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوۤا۟ إِلَّاۤ إِیَّاهُ وَبِٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ إِحۡسَـٰنًاۚ إِمَّا یَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَاۤ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَاۤ أُفࣲّ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلࣰا كَرِیمࣰا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al-Isrā’: 23)

Ihsan adalah membalas perlakuan buruk dengan kebaikan. Ketika orang tua bersikap kasar, jangan balas dikasari. Ketika mereka membentak, jangan balas dibentak. Seorang anak wajib memperlakukan orang tuanya secara Istimewa sehingga para ulama mengajarkan mencium tangan orang tua setiap salaman dan berkata dengan perkataan halus yang tidak sama dengan ketika menyapa orang lain. Lagi-lagi, ini bukan ghuluw tapi adab Islami.

3. Orang yang Lebih Tua

Tentang orang yang lebih tua, Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. al-Turmudzi)

Sebab itulah tidak benar bila cara berbicara, bersalaman dan memperlakukan orang yang lebih tua disamakan dengan ketika memperlakukan teman sebaya. Orang yang lebih muda seharusnya menghormati yang lebih tua, tidak boleh menyamakan mereka dengan orang sebaya dengan alasan egaliter.

4. Suami

Lelaki dan Perempuan memang setara di depan Allah, tapi dalam konteks keluarga Islam menetapkan peran kepemimpinan kepada suami:

ٱلرِّجَالُ قَوَّ ٰ⁠مُونَ عَلَى ٱلنِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضࣲ وَبِمَاۤ أَنفَقُوا۟ مِنۡ أَمۡوَ ٰ⁠لِهِمۡۚ

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. al-Nisā’: 34)

Di ayat lain Allah secara eksplisit menyatakan bahwa suami mempunyai satu derajat lebih tinggi dari istrinya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِی عَلَیۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَیۡهِنَّ دَرَجَةࣱۗ وَٱللَّهُ عَزِیزٌ حَكِیمࣱ

“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para laki-laki mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 228)

Sebab itulah seorang istri dalam adab Islami diajari menghormati suaminya, mencium tangannya dan berusaha membahagiakannya sebisa mungkin. Bila seorang istri memperlakukan suaminya biasa saja dengan alasan setara dengan dirinya atau manusia adalah egaliter, maka itu bukan adab Islami tapi budaya barat.

5. Para Rasul Pun Tidak Sederajat Satu Sama Lain
Sebagai contoh kongkret bahwa manusia tidak semuanya sederajat bila dibandingkan manusia lainnya, Allah menegaskan bahwa para rasul memiliki derajat yang berbeda-beda:

تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضࣲۘ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُۖ وَرَفَعَ بَعۡضَهُمۡ دَرَجَـٰتࣲۚ

“Itulah para rasul, Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berbicara langsung dengannya, dan sebagian lainnya Allah angkat derajatnya.” (QS. al-Baqarah: 253)

6. Manusia tidak sederajat
Demikian pula manusia secara umum, mereka tidak sederajat satu sama lain sebab amal perbuatan masing-masing manusia memang berbeda. Pencapaian ketakwaan juga tentu berbeda-beda juga. Allah berfirman:

وَلِكُلࣲّ دَرَجَـٰتࣱ مِّمَّا عَمِلُوا۟ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا یَعۡمَلُونَ

“Dan bagi masing-masing mereka ada derajat sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Anʿām: 132)

Berdasarkan itu, orang salih tidak selevel dengan ahli maksiat, orang yang berkontribusi pada umat tidak selevel dengan orang yang tidak berbuat apa-apa, dan demikian seterusnya. Semua amal baik menentukan derajat seseorang di dunia, mau pun di akhirat. Sebab itu bukan pada tempatnya bila semua diperlakukan sama dengan alasan egaliter sebab Islam mengenal reward and punishment.

Dalam ayat lain disebutkan lebih jelas sebagai berikut:

وَهُوَ ٱلَّذِی جَعَلَكُمۡ خَلَـٰۤىِٕفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضࣲ دَرَجَـٰتࣲ لِّیَبۡلُوَكُمۡ فِی
مَاۤ ءَاتَىٰكُمۡۗ

“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk menguji kamu terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu.” (QS. al-Anʿām: 165)

Ayat itu berbicara tentang ujian, jadi konteksnya soal penilaian terhadap sikap orang yang diberi derajat yang lebih tinggi dari orang lainnya dan jelas yang dibahas adalah di dunia, bukan di akhirat seperti ayat pertama di atas. Orang kaya diberi derajat yang lebih tinggi di dunia dari para pegawainya yang lebih miskin, karena itu sikap orang kaya tersebut akan dinilai apakah menggunakan derajatnya untuk memanusiakan orang miskin atau malah bersikap arogan pada mereka. Demikian juga sebagian orang diberi derajat pangkat/jabatan yang lebih tinggi dari orang lain, karena itu sikapnya akan dinilai apakah pangkat/jabatannya akan digunakan untuk membantu yang lemah atau malah mengeksploitasi mereka.

Islam mengakui kesetaraan dalam potensi dan tanggung jawab akhirat, tetapi juga menetapkan keutamaan berdasarkan ilmu, usia, peran sosial, dan amal. Maka, egalitarianisme dalam Islam bukanlah penghapusan hierarki, melainkan pengakuan terhadap keutamaan yang dibarengi dengan keadilan. Tidak semua orang sama, dan tidak seharusnya diperlakukan sama dalam segala hal. Yang mulia harus dimuliakan, yang berilmu harus ditinggikan, orang tua harus dihormati, dan yang lebih tua dihargai.

Tulisan ini ditujukan untuk mereka yang menganggap semua manusia harus diperlakukan sama, tidak boleh ada cium tangan, tidak boleh menundukkan kepala pada orang lain, tidak boleh cium kaki orang shalih dan adab lain yang justru diajarkan oleh Islam. Manusia memang sama di hadapan Allah, tapi tidak sama di hadapan sesama manusianya. Semua harus tahu diri menempatkan dirinya dan orang lain yang lebih utama.
Namun demikian, tulisan ini bukan untuk mereka yang meminta dihormati berlebihan dengan cara membuat anak didiknya berjalan melantai dari jauh, membungkuk hingga sampai pada batas gerakan rukuk, atau bersujud misalnya. Ini semua adalah praktek yang berlebihan. Semua harus proporsional sesuai takarannya.

Semoga bermanfaat

Kontributor

  • Abdul Wahab Ahmad

    Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur. Menulis sejumlah buku di antaranya Kerancuan Akidah Wahabi.