Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Beberapa kesalahan penulisan biografi Al-Qadhi Abu Syuja’, penulis Matan Taqrib

Avatar photo
45
×

Beberapa kesalahan penulisan biografi Al-Qadhi Abu Syuja’, penulis Matan Taqrib

Share this article

Untuk menguasai sebuah ilmu secara menyeluruh, tidak cukup rasanya hanya dengan menguasai kaidah suatu ilmu. Sebagaimana yang sering diutarakan oleh Syekh Usamah Al-Azhari, untuk menyelami suatu ilmu secara mendalam, kita perlu menyentuh lima sisi dari ilmu tersebut: Kaidah, Ushul, Praktek, Biografi Tokoh, dan Masalah Kontemporer. Jika sudah menguasai lima sisi ini pada suatu bidang, maka menurut Syekh Usamah, kita sudah bisa disebut sebagai ahli dalam bidang tersebut.

Dari lima sisi itu, biografi tokoh bisa dibilang jarang peminatnya. Karena mungkin kitab-kitab biografi yang sulit diakses, atau memang ada beberapa tokoh yang tidak memiliki biografi kecuali hanya beberapa baris.

Kita bisa melihat betapa misteriusnya penulis Matan Baiquniyyah, sebuah kitab yang menjadi buku wajib yang harus dibaca bagi seorang penuntut ilmu hadits. Namun nama penulisnya saja masih belum bisa disepakati siapa (?).

Begitu juga kitab Matan Taqrib, kitab yang menjadi langkah pertama bagi seorang yang ingin memulai mengaji fiqih dalam Mazhab Syafi’i, penulisnya yang dikenal sebagai Al-Qadhi Abu Syuja’, sangat sulit untuk ditemukan biografinya. Selama ini, yang menuliskan sebuah pertemuan dengan beliau adalah kitab adalah Abu Thahir Al-Silafi, seorang ulama ahli hadits tinggal di Alexandria.

Biografi singkat Abu Syuja’ bisa kita lihat pada beberapa kitab, antara lain awal Hasyiah Bajuri, awal Al-Iqna, Thabaqat Syafi’iiyyah karya Al-Subki, dan Mu’jam al-Safar karya Abi Thahir Al-Silafi, namun sekali lagi, biografi tersebut sangatlah singkat jika melihat betapa luasnya dan terkenalnya kitab Matan Taqrib.

Menurut Syekh Usamah Al-Azhari, saat mengomentari betapa misterius penulis Matan Baiquniyyah padahal kitab tersebut sangat terkenal, semua ini terjadi karena ikhlasnya penulis yang begitu hebat, dan ada suatu ibadah rahasia yang dilakukan oleh mereka, sehingga meskipun mereka tidak menonjolkan diri, karya mereka lah yang menonjol dan terlihat, sehingga namanya terkenang.

Syekh Usamah juga menyebutkan, bahwa dulu pernah ada seorang ulama yang disamarkan namanya, berusaha siang malam membaca, membahas masalah, menulis dan berbagai macam cara dilakukan agar memiliki karya yang paten, namun hingga sekarang karyanya tidak terlihat, dan nama ulama tersebut pun hilang ditelan masa.

Kembali ke biografi Abu Syuja’. Waktu awal mengaji Matan Taqrib, Sayyid Abullah bin Ahmad Al-Jufri menyampaikan beberapa point penting seputar biografi Abu Syuja’ yang point ini ditulis oleh Syekh Mahmud Al-Hadidi, muhaqqiq Hasyiah Al-Bajuri cetakan Dar Al-Minhaj Jeddah. Point-point penting ini fokus mengomentari biografi yang tertulis pada Hasyiah Al-Bajuri yang dinukil dari kitab Hasyiah Al-Bujairimi atas Kitab Al-Iqna.

Dalam Hasyiah Al-Bajuri, Imam Ibrahim Al-Bajuri menulis biografi sebagai berikut:

“Abu Syuja’ adalah seorang Imam yang ahli ibadah nan shalih. Terkenal di berbagai penjuru sebagai Qadhi (hakim) dan Wazir (menteri). Beliau memiliki harta yang cukup banyak, sehingga sering berbagi sedekah dan hadiah. Bahkan terkadang beliau pernah membagi 120.000 dinar. Kebaikan beliau begitu tersebut, mencakup berbagai lapisan masyarakat. Meskipun kaya, beliau memilih untuk hidup sederhana dan zuhud.

Hidup di Madinah, dan menghabiskan waktunya dengan membersihkan masjid, menyalakan lampu, dan berkhidmat di makam Rasulullah. Hidup selama 160 tahun. Dan tidak ada satupun anggota badan yang rusak. Saat ditanya apa rahasianya, beliau menjawab: telah kami jaga anggota badan tersebut (dari maksiat) saat kecil, maka Allah jaga kesehatan anggota badan tersebut saat kami tua. Beliau wafat pada tahun 488 H. Beliau wafat di Madinah di masjid yang beliau bangun sendiri dan makamnya tidak jauh dari makam Rasulullah.”

Beberapa baris biografi yang ditulis oleh Imam Baijuri dalam Hasyiahnya ini memiliki beberapa catatan yang diberikan oleh Syekh Mahmud Al-Hadidi.

Pertama ungkapan beliau bahwa Abu Syuja’ penulis matan taqrib dikenal dengan wazir. Bisa jadi ini bukan untuk beliau, tapi seseorang yang bernama Zhahiruddin Muhammad bin Husein yang juga disebut dengan Abu Syuja’. Kesalahan ini diperkuat oleh data yang ditulis oleh Imam Subki dalam thabaqatnya, bahwa Wazir Zhahiruddin ini yang dikenal dengan kunyah Abu Syuja’ lah yang sering membagikan sedekah dan hadiah yang banyaknya mencapai 120000 dinar. Jadi yang terkenal sebagai Wazir dan membagikan sedekah sebanyak itu, bukanlah Abu Syuja’ penulis matan taqrib, tapi Abu Syuja’ Zhahiruddin yang terkenal sebagai Wazir.

Kedua, ungkapan beliau bahwa Abu Syuja’ hidup lebih 160 tahun. Menurut Syekh Mahmud, bisa jadi ini bukan beliau, tapi Abu Al-Thayyib Al-Thabari al-Qadhi (w. 450 H) penulis kitab al-Ta’liqah Al-Kubra fi al-Furu’ dalam Mazhab Syafi’i.

Ibnu Al-Jauzi dalam kitab Sifah Al-Shafwa mengutip kisah dari tulisan tangan Syekh Abi Al-Wafa Ibnu Aqil yang menceritakan bawah dulu Abu Thayyib Al-Thabari saat berumur 110 tahun pernah menaiki sebuah perahu kecil, saat mendekati pantai, beliau loncat turun dari perahu seolah beliau masih begitu muda. Murid-murid yang membersamai beliau mengatakan: “Tuan, janganlah engkau lakukan itu. Bukankah engkau sudah tua, dan badanmu mulai melemah?,” Syekh Abu Thayyib yang merasa dirinya masih bugar mengatakan: “Wahai kamu, anggota badan kami sudah kami jaga dari bermaksiat kepada Allah, maka Allah jaga kesehatan anggota badan itu saat kami tua.”

Dalam sebuah riwayat lain, disebutkan bahwa anggota badan beliau terus sehat seperti muda hingga beliau wafat, tanpa ada yang kurang.

Jadi ulama yang memiliki umur panjang dengan anggota badan yang masih terus sehat bukanlah Abu Syuja’ penulis matan taqrib, tapi Abu Thayyib Al-Thabari. Tercampurnya biografi ini bisa jadi karena Abu Syuja’ juga terkenal dengan sebutan Abu Thayyib.

Ketiga, ungkapan beliau bahwa Abu Syuja’ wafat pada tahun 488 H. Kemungkinan yang mendekati benar, beliau wafat pada abad ke-enam. Sebab satu-satunya ulama yang menuliskan pertemuannya dengan Abu Syuja’ adalah ahli hadits abad ke-enam asal Alexandria yang bernama Abu Thahir al-Silafi (w. 576  H) dalam kitabnya Mu’jam al-Safar.

Beberapa kesalahan dalam biografi Abu Syuja’ penulis matan taqrib ini juga diperkuat dengan sebuah bahts (makalah) tulisan Dr. Abdul Hakim Al-Anis yang berjudul: Man Muallif Kitab Matan Al-Taqrib. (Siapakah Sebenarnya Penulis Kitab Matan Al-Taqrib?).

Di sana beliau menegaskan bahwa biografi Abu Syuja yang tertulis di Hasyiah Al-Bujairimi merupakan potongan-potongan keterangan yang ada pada biografi al-Wazir Muhammad bin Hasan Al-Hamdani yang wafat pada tahun 488 H di Baqi.

Semua kekeliruan ini berujung pada sangat sedikitnya referensi yang menulis biografi Abu Syuja’, sehingga ulama setelahnya banyak yang terpleset dan tercampur aduk dengan ulama-ulama yang memiliki nama atau kunyah yang mirip sebagaimana kasus di atas.

Oleh karena itu, menulis biografi ulama dan mengabadikannya dalam sebuah buku sangatlah penting sebagai warisan bagi umat Islam di masa yang akan mendatang. Demi memberikan mereka info tentang siapa-siapa saja yang berjasa dalam sampainya ilmu pengetahuan di masa mereka.

Pidie, Minggu, 11 September 2022.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.