Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Begini makna puasa menurut tafsir surat Maryam ayat 26

Avatar photo
18
×

Begini makna puasa menurut tafsir surat Maryam ayat 26

Share this article

Marhaban, ahlan wa sahlan Ya Ramadhan”, demikianlah ucapan tahniah penuh riang gembira atas kedatangan bulan suci nan mulia Ramadhan. Hari-hari ini umat Islam berduyun-duyun melaksanakan serangkaian ibadah seperti puasa, shalat tarawih, tadarus al-Quran dan lain sebagainya sebagai rasa syukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada-Nya.

Mengutip Quraish Shihab, bulan Ramadan penuh dengan segala sesuatu yang dapat mengantarkan setiap insan manusia menjadi lebih sempurna (insan kamil). Guna meraih status al-insan al-kamil, manusia hendaknya memanfaatkan momentum ramadhan kali ini untuk memperbaiki kekurangan dan menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak hubungan antar sesama.

Dalam konteks ini, maka orang yang berpuasa hendaknya menjaga lisan dan perkataannya agar tidak menodai dan melukai sesama seperti yang difirmankan-Nya dalam QS. Maryam [19]: 26 di bawah ini,

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka makan, minum dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.’” (QS. Maryam [19]: 26)

Puasa adalah menjaga lisan

Hampir semua mufassir bersepakat bahwa makna shauman dalam ayat di atas adalah diam (menjaga lisan) dan tidak berkata yang buruk kepada orang lain. Seperti penafsiran al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan, bahwa makna shauman adalah shumtan (diam). Al-Thabari juga menukil beberapa riwayat, yakni diceritakan Zakariya bin Yahya bin Abi Zaidah, berkata Hajjaj, kami telah mengabarkan dari Ibn Juraih, mengabarkan kepadaku al-Mughirah bin ‘Ustman, berkata: aku mendengar Anas binn Malik berkata bahwa shauman bermakna shumtan. 

Hal senada juga disampaikan Ibn Abbas, Qatadah dan al-Dhahhak bahwa shauman bermakna menjaga lisannya dari makanan, minuman dan perkataan. Penafsiran yang lebih spesifik tentang makna shauman adalah mencegah lisan dari keluarnya perkataan buruk dijelaskan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adzim. Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud puasa ialah diam atau puasa tidak berbicara. Mereka yang melakukan puasa, maka – menurut syariat – mereka tidak boleh makan dan berbicara seperti yang dinaskan oleh al-Saddi, Qatadah, dan Abdurrahman bin Zaid.

Tidak jauh berbeda, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib dan al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf, keduanya memaknai kata shauman dengan shumtan (berpuasa bicara). Keduanya melandaskan makna ini dengan menukil riwayat Anas bin Malik. Berdasar riwayat Anas bin Malik, bahwa yang dimaksud shumtan adalah mereka berpuasa, tetapi mereka tidak berbicara tentang puasa mereka sehingga orang lain tidak mengetahui (illa annahum kanu la yatakallamuna fi shiyamihim).

Jikalau mayoritas mufassir di atas memaknai puasa dengan menjaga lisan dalam konteks syariat, maka lain halnya dengan mufassir sufistik seperti al-Qusyairi, Ismail Haqqi, Ibn Ajibah, al-Jilani dan sebagainya. Al-Qusyairi, misalnya, dalam Lathaif al-Isyarat-nya ia menafsirinya dengan diamlah bersama ciptaan itu (anak kandung Maryam, Nabi Isa) dan tinggalkanlah perdebatan bersama mereka (baca: Bani Israil) (tarkul mukhatabati ma’ahum). Hal senada juga dituturkan Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Quran, makna shauman adalah menahan diri dari makan dan pembicaraan yang kotor lagi buruk hingga sore hari (al-imsaku ‘an al-tha’am wal kalam hatta yumsa).

Kemudian, makna berdiam atau tidak berbicara ini diperjelas lagi oleh Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid dan Makki bin Abi Thalib dalam Tafsir Hidayah ila Bulugh al-Nihayah dengan wa kana shiyamuhum al-sukut fa kanu yashumuna ‘an al-kalam kama yashumuna an a’-tha’am, yakni puasa mereka adalah diam (tidak berbicara) dan mereka terbiasa berpuasa dari berbicara sebagaimana mereka berpuasa dari makan.

Dari penjelasan mufassir di atas, dapat diketahui bahwa makna shaum (berpuasa) salah satunya adalah berpuasa dari berbicara hal-hal yang buruk dan menyebabkan iri hati dengki sehingga dapat membatalkan pahala puasa. Selain itu, Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada kita jikalau ada orang mengajak makan atau menggunjing, katakanlah “inni sha’im” (Aku sedang puasa). Maqalah para ulama yang lain, seperti Izzuddin bin Abdus Salam dalam Maqashidus Shaum, membolehkan bagi seorang muslim mencari alasan lain agar tidak tergoda dengan ajakan dan rayuan yang berujung pada jurang kemaksiatan dan mereduksi kekhusyukan ibadah berpuasa selama bulan suci Ramadhan.

Semoga momentum puasa kali ini tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, lebih dari itu, puasa sebagai kawah candradimuka guna menggembleng dan melatih diri kita untuk senantiasa memperbaiki keimanan dan ketakwaan serta meningkatkan status menjadi muslim yang rahmatan lil ‘alamin. Aamiin. Wallahu A’lam.

Kontributor

  • Senata Adi Prasetia

    Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Penikmat kajian keislaman, pendidikan Islam, pemikiran dan filsafat Islam, sosiologi dan studi al-Quran.