Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Belajar dari Terpapar Covid; Menyikapi Sakit dengan Baik

Avatar photo
31
×

Belajar dari Terpapar Covid; Menyikapi Sakit dengan Baik

Share this article

Al-Quran menyebutkan
bahwa Allah mencipta manusia di muka bumi agar ia memakmurkannya. “Dia telah
menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.”
(QS. Hūd
[11]: 61)
[1]

Memakmurkan bumi
berarti melestarikan kebaikan yang telah ada atau menjadikannya lebih baik
lagi, juga berarti mengolahnya agar lebih bermanfaat bagi kehidupan.

Jika semua ini
dilakukan sebagai manifestasi tugas kekhalifahan dan juga demi memudahkan
pengabdian dan peribadatan kepada Gusti Allah maka semua itu adalah bagian dari
ibadah.

Karena itu, ayat ini
tidak bertentangan dengan (QS. Aż-Żāriyyāt [51]: 56). “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Bahkan, keduanya saling menafsiri dan melengkapi. Ibadah dengan demikian tidak
saja bermakna ritual ibadah mahdhah, akan tetapi mencakup segala perilaku yang
disukai dan diridhai Allah SWT.

Akan tetapi, tugas
kekhilafahan ini tidak selamanya berjalan mulus, adakalanya ia harus tunduk
pada takdir yang lain.

Sakit adalah fragmen
penting dalam aktifitas kekhalifahan manusia. Ia adalah penyeimbang dalam
kehidupan ini. Sakit adalah bagian dari kehendak Tuhan dengan hikmah-hikmah di
antaranya agar menjadi kaffarat bagi dosa-dosa manusia; agar manusia mengerti
nikmat sehat; agar ia menghargai sepenuhnya nikmat-nikmat Tuhan; agar ia merasa
betapa tidak berdayanya di hadapan kekuasaan Allah, Penciptanya; agar ia
mengerti bahwa kesehatan dan kemampuan yang ia miliki bukan sifat yang melekat
pada diri; dan agar ia berhenti beberapa saat di halte-halte kehidupan untuk
berfikir dan merenung ulang, untuk selanjutnya menjalakan kembali
kekhilafahannya dengan lebih baik.[3]

Sakit, dalam al-Quran,
disebut sebagai akibat dari ulah tidak perpuji manusia. Itu artinya, sakit
adalah “hukuman” dari Allah atas perbuatan tidak terpuji tersebut.[4] Akan
tetapi, ini bukan berarti sakit selalu bermakna negatif, karena
sakit—sebagaimana disebutkan oleh Nabi Muhammad Saw.—justru merupakan bentuk
kasih sayang Allah SWT. kepada hamba-Nya.

Kata beliau, “Jika
Allah berkehendak baik kepada hamba-Nya maka Ia akan mensegerakan siksaan
kepadanya di dunia, sebaliknya jika Allah berkehendak buruk kepada hamba-Nya
karena dosa (yang dia lakukan) maka Dia akan menahan penyiksaannya sehingga Dia
akan menyiksanya secara penuh di hari kiamat.”
[5]

Nilai positif dari
sakit ini dijelaskan dalam Hadis lain, bahwa sakit merupakan kaffārat atau
pelebur dosa. Kata Nabi Muhammad Saw. dalam riwayat Ibunda Aisyah, “Tidak
ada musibah apapun yang menimpa seorang muslim kecuali dengan itu Allah SWT.
melebur (dosa-dosa)-nya, hingga pun duri yang menusuknya.”
[6]

Lebih jauh, Nabi juga
menjelaskan bahwa sakit merupakan sarana yang diujikan oleh Allah SWT. kepada
hamba-Nya untuk menaikkan derajatnya. Jika dia menyikapinya dengan baik, boleh
jadi sesungguhnya dengan sakitnya ini ia sedang naik derajat spiritual dan
kedekatannya dengan Penciptanya.

Kata Nabi Muhammad
Saw., “Sesungguhnya seorang hamba jika telah ditetapkan oleh Allah kepadanya
sebuah kedudukan, sementara dia tak mampu menggapainya dengan amal baiknya,
maka Allah akan mengujinya (dengan masibah yang menimpa) jasadnya, hartanya,
atau anaknya.”
[7]

Dalam Hadis lain
riwayat Ibunda Aisyah, beliau Saw, mengatakan, “Tidak ada seorang muslim pun
yang tertusuk duri atau yang lebih kecil darinya kecuali dengan itu dianugerahkan
kepadanya satu derajat dan dihilangkan dari dia satu kesalahan.”
[8]

Hikmah demikian ini
dapat menjelaskan kenapa bahkan para nabi pun tak lepas dari tertimpa sakit.
Ibn Mas’ūd meriwayatkan: Saya sowan kepada Rasulullah Saw. saat beliau sakit. Saya
menyentuh beliau dengan tanganku, lalu saya bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau
pun sangat demam?” Beliau menjawab, “Iya, saya demam dengan kadar demamnya dua
orang di antara kamu sekalian. Saya bertanya (lagi), “Apakah itu agar engkau
mendapatkan dua pahala?” Rasul mengatakan, “Iya!”.[9]

Semua ini, kata Imam
An-Nawawi, merupakan berita gembira yang besar bagi umat Islam karena jarang
sekali seseorang terlepas dari sebentuk musibah setip saatnya. Itu artinya
setiap saat seorang muslim punya kesempatan untuk naik derajatnya dan dihapus
dosanya.[10]

Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana kita mengetahui, apakah sakit yang kita derita murni merupakan
hukuman Allah, atau merupakan tanda diampuninya dosa kita, atau bahkan tanda
kita sedang diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Konon, pertanyaan ini pernah
diajukan kepada Imam Al-Junaid Al Baġdādī, dan beliau menjawab:

“Jika engkau marah maka
itu (sakitmu) adalah kemarahan dari Allah, jika engkau sabar maka itu adalah
kaffarah atas dosamu, dan jika engkau bersikap rela dan menerima maka itu tanda
engkau sedang naik derajat.”[11]

Terimakasih untuk para
dokter dan nakes di Sarang, Rembang dan Semarang, yang telah membantu
kesembuhan kami. Juga untuk keluarga dan kawan-kawan semua yang tak bisa saya
sebutkan satu persatu. Mari saling bekerjasama untuk melewati pandemi. Semoga
lekas kembali normal.

[1] هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ
الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

[2] وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

[3] https://www.albayan.ae/economy/2010-03-26-1.232642

[4] Firman Allah dalam
QS. Ar-Rūm [30]: 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia;
Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[4]; dan firman Allah dalam
QS. An-Nisā` [4]: 79:
مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ
ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ
“Kebajikan apa pun
yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu,
itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”

[5] إِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ
اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ
يَوْمَ القِيَامَةِ
. HR. At Turmużī

[6] مَا مِنْ مُصِيبَةٍ
تُصِيبُ المُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ، حَتَّى الشَّوْكَةِ
يُشَاكُهَا
. HR. Al-Bukhārī

[7] إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا
سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ، لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ
اللَّهُ فِي جَسَدِهِ، أَوْ فِي مَالِهِ، أَوْ فِي وَلَدِهِ
. HR. Abū Dāwūd.

[8] مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ،
وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
. HR. Muslim.

[9] قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مَسْعُودٍ: دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ يُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا، فَمَسِسْتُهُ بِيَدِي فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ
مِنْكُمْ» فَقُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَجَلْ
». HR. Al- Bukhārī.

[10] Al-Imām An-Nawawī,
Syarh
aī Muslim, jilid 16, hal. 128.

[11] Belum terlacak
sumbernya.

 

Kontributor

  • Abdul Ghofur Maimoen

    Nama lengkapnya Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, Lc., MA. Setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Al-Azhar Mesir, kini beliau menjadi pengasuh PP. Al-Anwar 3 Sarang-Rembang, Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Anwar, Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.